— Catatan Harian Sugi Lanus, 22 Maret 2022.
Hindu India mengalami perubahan secara radikal dalam mentuhankan Sri Krisna karena salah satu sebab terpentingnya adalah kemunculan kitab BRAHMA-SAṀHITĀ, yang baru ditulis sekitar tahun 1300 Masehi. Inilah yang menjadi salah satu rujukan atau babon terpenting dari “pentuhanan Sri Krishna” yang berkembang di India secara luas. Kitab tersebut tidak menyebar di Jawa dan Bali.
Kitab BRAHMA-SAṀHITĀ adalah sebuah teks Pancharatra berbahasa Sanskekerta yang terdiri dari syair-syair doa yang diucapkan oleh Dewa Brahma yang memuliakan atau mentuhankan Krishna atau Govinda pada awal penciptaan. Dalam kitab inilah disebutkan bagaimana Dewa Brahma menyembah Sri Krishna. Demikian juga di sini disusun cerita bahwa Gayatri dan ayat Weda bersumber dari Sri Krishna. Kitab-kitab Weda tidak menyebutkan demikian. Kitab ini berkembang dan dikembangkan menjadi dihormati dan menjadi pedoman dalam Gaudiya Vaishnavisme, yang didirikan abad ke-16 oleh Chaitanya Mahaprabhu (1486-1534), yang menemukan kembali sebagian dari karya tersebut, 62 ayat dari bab lima, yang sebelumnya telah hilang selama beberapa abad, di Kuil Adikesava Perumal, Kanyakumari di India Selatan. BRAHMA-SAṀHITĀ mempengaruhi munculnya tradisi pikir dan berbagai teks yang “MENTUHANKAN-KRISHNA”.
Seorang pakar peneliti khusus kitab ini, Mitsunori Matsubara, dalam bukunya ‘Pañcarātra Saṁhitās and Early Vaisṇava Theology’ menyebutkan bahwa kitab BRAHMA-SAṀHITĀ ditulis sekitar tahun 1300 M. Dalam teks inilah tersebut berisi deskripsi yang sangat esoteris tentang Krishna bertempat tinggal di Goloka.
PENTUHANAN KRISHNA dari fragmen atau kutipan BRAHMA-SAṀHITĀ, pada bab kelima, syair pertamanya dengan jelas MENTUHANKAN Sri Krishna, sebagai berikut:
īśvaraḥ paramaḥ kṛṣṇaḥ sac-cid-ānanda-vigrahaḥ
anādir ādir govindaḥ sarva kāraṇa kāraṇam
Terjemahannya:
“Krishna, yang dikenal sebagai Govinda , adalah Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dia memiliki tubuh spiritual bahagia yang abadi. Dia adalah asal dari segalanya. Dia tidak memiliki asal lain dan Dia adalah penyebab utama dari semua penyebab.”
Teks tersebut pertama kali diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris oleh Bhaktisiddhanta Saraswati pada tahun 1932 dan sering dinyanyikan atau dibacakan baik sebagai teks renungan maupun filosofis, dengan terjemahan Inggeris sebagai berikut:
“Krishna, who is known as Govinda, is the Supreme Personality of Godhead. He has an eternal blissful spiritual body. He is the origin of all. He has no other origin and He is the prime cause of all causes.”
PENTUHANAN SRI KRISHNA makin berkembang semenjak dalam terjemahan pengikutnya secara sistematis memakai sebutan istilah bahasa Inggeris “GODHEAD” (Tuhan Tertinggi) untuk Sri Krishna, sementara dewa lainnya adalah “DEMIGODS” atau ‘setengah-dewa’ atau di bawah ‘Godhead’ (Tuhan Tertinggi). Terjemahan dengan istilah Inggeris ‘Godhead’, dipakai dalam terjemahan buku-buku sekte keagamaan Hare Krishna dan mendudukkan bahwa Sri Krisna yang Tuhan Tinggi, dan secara konsisten dan sistematis menempatkan dewa-dewa lain diterjemahkan sebagai ‘demigods’ atau ‘setengah-dewa’ sebagai bawahan ‘Godhead’ (Krishna). AC Bhaktivedanta Swami Prabhupada, pendiri International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) menerjemahkan kata Sansekerta “dewa” sebagai ‘demigods’ (“setengah dewa”) dalam terjemahan-terjemahannya, dan mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Esa yaitu Sri Krishna sebagai “GODHEAD” (Tuhan Tertinggi) dan semua dewa-dewi yang lain hanyalah hamba Krishna. Namun, terjadi pengecualian ketika menterjemahkan kata “deva”, setidaknya ada tiga kejadian dalam bab kesebelas Bhagavad-Gita di mana muncul kata “deva”, yang digunakan untuk merujuk kepada Dewa Krishna, diterjemahkan sebagai “Tuhan”. Gelar “deva” diterjemahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa atau “GODHEAD” kalau diikuti nama Krishna, sementara kalau gelar “deva” diikuti oleh nama lain, maka diterjemahkan sebagai “DEMIGODS” atau hanyalah hamba Dewa Krishna.
Kitab BRAHMA-SAṀHITĀ dan isinya tidak pernah ditemukan jejaknya secara jelas dalam peninggalan lontar-lontar keagamaan di Bali.
Ketika BRAHMA-SAṀHITĀ yang menjadi “PENDOMAN PENTUHANAN KRISHNA” disusun di India sekitar tahun 1300-an Masehi, Hindu di Jawa dan Bali telah berkembang pesat di Kerajaan Singasari dan kemudian dilanjutkan Kerajaan Majapahit. Di era ini di Jawa dan Bali telah mengembangkan kitab-kitab Hindu-Buddha dalam versi Jawa Kuno yang diserap dari kitab-kitab yang lebih kuno lain, yang merujuk pada teks-teks Weda. Sementara itu, era kerajaan Majapahit hubungan Hinduisme di Jawa dan Bali bisa dikatakan terputus dengan tanah Bharata Warsa (premodern India), sehingga secara hubungan tekstual atau intertektualitas di antara keduanya semakin jauh. Barangkali karena keterputusan hubungan Jawa-Bali dengan India di sekitar abad 14-15 menjadi penyebab kitab BRAHMA-SAṀHITĀ atau teks-teks sejenis yang “MENTUHANKAN-KRISHNA” yang berkembang di India di abad ke 14 tidak pernah populer di Nusantara.
Lontar-lontar Stava-Puja dan Widhi-sastra banyak mengandung jejak Weda kuno. Lontar-lontar Itihasa mengandung banyak jejak Purana. Lontar-lontar Tatwa banyak mengandung jejak berbagai teks Upanisad. Tetapi tidak ditemukan secara gamblang teks-teks yang punya paham seperti kitab BRAHMA-SAṀHITĀ dalam lontar-lontar Bali. BRAHMA-SAṀHITĀ terhitung kitab baru jika dibandingkankan isi lontar-lontar Jawa Kuno era yang berisi teks dari era Medang dan Kediri. Kitab Brahma-saṁhitā di India tersebut terhitung sebaya dengan lontar-lontar yang ditulis di akhir kejayaan Singasari dan awal Majapahit, seperti Kakawin Nāgarakṛtâgama (atau Deśawarnana), Kakawin Sutasoma, Kakawin Śiwarātrikalpa, yang isinya bernuansa Śaiwa-Baudhha dan tidak ditemukan adanya jejak teks-teks yang “mentuhankan Bhatara Kresna” di era ini.
Apakah tidak ada pemuliaan Sri Krishna dalam tradisi lontar ‘puja-stawa’ di Bali?
Ada. Tetapi, secara umum sosok Sri Krishna berkedudukan sebagai Awatara dari Wisnu, seperti dalam Kakawin Bhisma Parwa versi Jawa Kuno, yang berisi percakapan Krishna dan Arjuna tentang keabadian. Dalam kakawin ini Krishna disebut sebagai Bhatara Krishna. Sementara itu dalam puja-stava, seperti contoh dalam lontar mantra RAMA-KAVACA yang diwarisi di Bali sebagai puja perlindungan diri (KAVACA), Sri Krishna disebut sebagai salah satu dewa di antara dewa-dewa yang lainnya, tanpa pernah disebut sebagai Tuhan Tertinggi dan tidak ditemukan ada jejak meletakkan dewa-dewa yang lainnya sebagai bawahan Sri Krishna.
Lebih jauh ke belakang, jika kita lihat dalam jejak teks-teks dalam berbagai lontar dari abad ke 9 dan 10 masehi, seperti KAKAWIN RAMAYAN dan AGASTYA PARWA, tidak ditemukan PENTUHANAN KRISNA. Bisa dikatakan tidak pernah ditemukan temuan ke arah sana di era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa dan Bali. Dalam era Kerajaan Gelgel, yang punya tradisi kesenian wayang yang sangat kuat, memang ada sosok wayang Krishna, yang perannya sebagaimana sosok Sang Krishna dalam Kakawin Bhisma Parwa, sebagai awatara yang membantu dalam perang Mahabhatara, tapi tidak ada “pentuhanan Krishna”. Sekalipun Kakawin Bhisma Parwa menyebutkan Krishna sebagai Bhatara Kresna, tidak sekalipun ada disebutkan bahwa Bhatara Krishna sebagai jalan satu-satunya untuk memahami hakikat tertinggi ketuhanan Hindu. Dalam era Kerajaan Gelgel, jejak Hindu Majapahit sangat kuat, hakikat KEDEWATAAN yang terdapat ajaram dalam DEWATA-NAWASANGA yang dipakai secara luas dalam Yadnya di Kerajaan Gelgel. DEWATA-NAWASANGA sebagai HAKIKAT HYANG MAHA TUNGGAL yang mengejawantah dalam berbagai ritual untuk KEDEWATAAN NAWASANGA. HAKIKAT MAHATUNGGAL dari DEWATA NAWASANGA inilah yang menjiwai berbagai lontar-lontar kepanditaan Hindu Bali, yang bersumber dari Weda-Puja-Stawa dengan pengantar bahasa Jawa Kuno. HAKIKAT MAHATUNGGAL dari DEWATA NAWASANGA disebut dengan gelar WIDHI, BHATARA WIDHI, WIDHIWASA, HYANG WIDHI, IDA HYANG WIDHI. Dan inilah, ketika terbentuk PHDB (Parisada Hindu Dharma Bali) penyebutan Tuhan Tertinggi untuk Hindu di Bali secara aklamasi disebut sebagai IDA SANG HYANG WIDHI WASA — gelar untuk Brahman atau Tuhan Tertinggi bagi Hindu di Nusantara yang memuliakan tradisi Catur Weda.
PENTUHANAN KRISHNA di Bali baru muncul semenjak terbitnya terjemahan buku-buku berbahasa Inggeris yang menterjemahkan Dewa Krishna atau Sri Krishna sebagai “GODHEAD” — dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Tuhan Tinggi atau Tuhan Yang Maha Esa; sementara “deva” lainnya adalah disebut dalam bahasa Inggeris sebagai “DEMIGODS” — yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘setengah-dewa’ atau dewa bawahan dari dari ‘Godhead’ (Krishna). Ini tidak terjadi dalam buku-buku terjemahan Bhagavad Gita yang dikerjakan oleh tokoh-tokoh Hindu, seperti Prof Ida Bagus Mantra, Nyoman S. Pendit, Made Menaka (yang menterjemahkan Bhagavad Gita ke dalam bahasa Bali). Mereka secara konsisten memberikan penjelasan bahwa sosok Sri Krishna dalam Bhagavad Gita adalah salah satu dari awatara Wisnu. Para tokoh Hindu di Bali tidak pernah menyebut Krishna sebagai ‘Godhead’, karena istilah ini tidak dijumpai dalam naskah Bhagavad Gita aslinya dalam bahasa Sansekerta. Istilah dan pemisahan antara “Godhead” dan “demigods” juga tidak dikenal dalam cara pikir para penulis kitab-kitab lontar Hindu Jawa Kuno dan Bali. [T]