“Kapan kau akan kembali, Stev?” tanya wanita itu dengan muka masam.
“Entah. Tunggu saja sampai aku kembali, Ann!”
“Jika tidak kembali?” tanya wanita itu kembali.
“Jangan tunggu aku lagi!”
Anna meneteskan air matanya. Ia memeluk erat Stev untuk pertemuan terakhir mereka. Stasiun kala itu sangat ramai. Orang lalu-lalang melewati kedua pasangan itu. Mereka tidak peduli, karena ada yang lebih penting daripada menyaksikan roman picisan anak muda.
Anna menatap wajah kekasihnya dengan linangan air mata. Berbeda dengan Stev, ia bersikap sangat dingin sekali.
Waktu sudah tiba, kereta kekasihnya datang. Pelukan Ann semakin erat. Tak ingin melepas sedikitpun. Tapi kekasihnya itu harus bergegas berangkat. Ia lantas memegang pundak Ann dan mendorongnya sedikit demi sedikit. Ann melawan. Tidak ia lepaskan sedikitpun, tapi apalah arti tenaga Ann untuk bisa selalu memeluk kekasihnya.
Akhirnya pelukan itu terlepas. Tangis Ann semakin menjadi ketika pelukan itu terlepas.
“Aku akan kembali, Ann. Tapi entah kapan!”
“Aku akan menunggumu. Selamanya!” jawab wanita itu.
“Jangan. Pun jika aku kemari lagi, kita tidak akan bisa menyatu!” ucap kekasihnya itu sembari mebalikkan badannya.
“Aku akan selalu menunggu, Stev!”
“Aku pergi, Ann. Jaga dirimu. Aku akan kembali pada waktunya tiba!”
Sejak itu, Ann selalu menunggu di stasiun. Setiap hari. Ia berdiri sedemikian rupa dan memandang setiap laki-laki yang turun dari kereta.
Ann mengenal Stev pada suatu hari yang kacau. Malam hari di kota Koln, Ann sedang berjalan di lorong kecil, di antara dua buah gedung. Ia membawa barang belanjaan yang banyak sekali saat itu. Tetapi mendadak, di ujung lorong itu sebuah truk berhenti. Ann terkejut dan untungnya langsung dapat bersembunyi di sela gedung saat itu.
Dentuman peluru membabi buta malam hari itu. Ann masih bersembunyi di lorong gelap itu dengan ketakutan yang luar biasa. Ledakan di mana-mana. Gedung di depannya mulai hancur karena sebuah ledakan. Ann semakin ketakutan kala ada tapak kaki yang mulai berlarian dari ujung lorong ke ujung lainnya. Sangat banyak. Mereka berteriak, suara dentuman dan peluru masih sangat terdengar jelas. Ann semakin ketakutan. Ia memeluk erat barang belanjaannya dan meringkuk di celah gedung itu agar tidak ada yang tahu bahwa ia ada di sana.
Beberapa saat kemudian, Ann sudah tak sanggup lagi untuk bertahan di sana. Wajahnya pucat layu, nafasnya mulai pendek dan tenaganya sudah mulai habis untuk bertahan di sana. Tak lama, seorang pria bersenjata melihat Ann yang sudah lemas di celah gedung itu. Saat itu juga Anna ditolong dan dibawa ke tempat yang lebih aman untuk bersembunyi saat itu.
Keesokan harinya, Ann terbangun. Ia sangat terkejut ketika baru terbangun ada di tempat yang sama sekali tak ia kenal. Ia lantas melihat seseorang pria tertidur sembari memeluk senjata. Ann terkejut dan berteriak keras. Akhirnya, pria itu bangun dan menutup mulut Ann. Mereka berdua sama-sama panik.
“Dimana aku? Dan kau siapa?” tanya Ann.
“Hela napasmu dulu. Akan aku katakan siapa aku saat kau sudah tenang,” ucap pria itu dengan berbisik.
Pria itu lantas beranjak dari tempat tidur Ann, membuat secangkir teh dan memberikannya pada Ann. Ia saat itu sangat ketakutan. Tapi dengan melihat gelagat pria itu sepertinya Ann mulai terbiasa.
“Kau sudah tenang?” tanya pria itu.
“Sudah lebih baik. Jadi, siapa kau sebenarnya dan ada di mana aku saat ini?” tanya Ann kembali
“Pertama, aku Stev. Kedua, kau berada di kota kecil bernama Laix. Pertanyaanmu sudah semua aku jawab. Jadi, aku akan membuat sarapan!”
“Kenapa jauh sekali? Ada apa dengan tempatku?” tanya Ann kembali kebingungan.
Stev belum menjawab. Ia menuju dapur dan mulai memasak. Sembari menghela napas untuk menjawab pertanyaan Ann.
“Ini adalah tempat yang lumayan aman saat ini. Tempatmu sudah rata dengan tanah. Hanya sedikit gedung yang ada di sana. Jika kau ingin kembali, aku persilakan. Tapi, di sana ada banyak orang bersenjata yang siap menembak tubuhmu kapan saja,” jawab dingin Stev.
Anna termanggu mendengar jawaban Stev. Ia juga menghela napas dan bergegas mencuci mukanya.
“Oh ya. Aku Ann, tidak sopan rasanya saat berada di rumah orang lain aku tidak meperkenalkan diri!”
“Ya. Kamar mandi ada di selatan sana!”
Setelah kejadian dan perkenalan itu, Ann mendapatkan tempat untuk tinggal sementara waktu. Ia juga semakin erat menjalin hubungan dengan Stev. Ann menjalani harinya seperti biasa. Tapi, masih ada saja kenangan-kenangan buruk saat kejadian hari itu. Ia terus memikirkan keluarga dan teman-temannya. Padahal, sekutu tidak akan berani untuk menyerang kotanya. Ini aneh. Dan Ann masih terbawa kekhawatiran jika Stev kembali ke medan pertempuran lagi.
Tahun berikutnya, ada surat yang ditujukan untuk Stev. Setelah Stev tahu tentang isi surat itu ia bergegas mengemas beberapa pakaiannya dan menitipkan surat pada Ann. Ia cepat-cepat menuju stasiun saat itu.
Di tengah perjalanan menuju stasiun, Stev tak sengaja bertemu dengan Ann. Ia panik, karena kepergiannya sebenarnya harus disembunyikan dari Ann. Tapi, ia tak bisa mengelak lagi. Untuk beberapa saat tatapan Stev dan Ann mulai erat kala itu.
“Mau kemana?” tanya Ann kebingungan.
“Pergi jauh. Tidak tahu akan ke mana!” jawab Stev dingin.
“Tapi kenapa terburu-buru?”
“Hanya tidak ingin kau khawatir!”
Ann menitikkan air mata pada pertemuan itu. Hal yang ia khawatirkan sejak dulu akhirnya terjadi. Ia harus ditinggalkan oleh kekasihnya tidak tau dalam waktu berapa lama dan ia pun tak tahu kekasihnya itu akan pulang atau tidak.
Stev lantas memeluk Ann. Pelukan perpisahan untuk sementara waktu. Ia sangat berat untuk meninggalkan Ann sendiri. Tak tahu juga akan selamat atau tidak nantinya.
“Sudahlah, aku akan kembali. Kembali memelukmu dan menikmati sore di halaman depan seperti biasa,” ucap Stev di tengah pelukan erat itu.
“Tapi aku takut kau tidak akan kembali memenuhi janjimu,” ucap Ann sembari terisak dalam pelukan Stev.
“Aku akan kembali. Aku buat sepucuk surat. Ingat Ann, surat itu kau buka setelah aku kembali!”
“Jika kau tidak kembali?”
“Aku akan pulang. Kita berdua berharap tidak ada lagi peperangan di masa depan. Dan sudah tugasku untuk menjadikan dunia ini damai kembali.”
“Aku akan menunggu. Sampai kapanpun, Stev”
“Ya, tunggu aku. Aku mencintaimu Ann!”
Mereka berdua melepaskan pelukan itu. Meluapkan ciuman perpisahan untuk terakhir kalinya. Ann masih terisak dan Stev harus dengan langkah yang berat meniggalkan Ann.
Stev pergi, beranjak dari pelukan Ann menuju stasiun. Di sana, semua prajurit sudah menunggu untuk berangkat memenuhi tugasnya. Meninggalkan kekasih, istri dan keluarganya.
Beberapa tahun kemudian, Stev tak juga kembali. Ann selalu menunggu. Hingga akhirnya ia tak bisa lagi menghiraukan surat itu. Penggalan kata dari surat yang paling diingat Ann adalah “Saat aku tidak juga kembali, tunggu aku di stasiun”.[T]