“Bli, tyang rela kalau Bli harus mencari istri baru demi mencari sentana, penerus keluarga ini. Tapi diolas, Bli, ceraikan tyang. Tyang tidak sanggup dimadu, Bli”
Sore itu Gede Adi tengah ngopi di pondok sambil terngiang kata-kata Ni Luh Sekar. Sepanjang malam, setiap hari. Pedih hati Gede mendengar curahan hati istrinya. Tak sanggup ia menjawab kala itu. Matanya sudah lebih dulu membentuk kolam kecil yang siap mengalir apabila diberi celah sedikit saja.
Teringat ketika pertama kali ia jatuh cinta pada Ni Luh Sekar. Istrinya itu adalah anak seorang polisi. Bapaknya sering dipindahtugaskan ke daerah-daerah pelosok seperti Papua dan Sumbawa. Iluh dulu bersekolah dasar yang sama dengan Gede Adi. Mereka berada di desa yang sama tapi lain banjar. Namun ketika kelas 4 SD ibu Ni Luh meninggal dunia karena sakit menahun, yang Ni Luh sendiri tidak paham apa sakitnya.
Beberapa bulan kemudian bapaknya berangkat ke Papua, diajaknya Ni Luh bersamanya. Ni Luh adalah anak satu-satunya. Tanpa ibu dan keluarga lainnya, Ni Luh dan ayahnya tinggal di Papua hingga ia kelas 3 SMP. Lalu Ni Luh melanjutkan SMA di Sumbawa. Ia terpaksa tumbuh besar tanpa adat Bali, ayahnya terlalu sibuk dengan urusan negara hingga lupa memupuk jati diri Ni Luh dengan adat dan budaya Bali. Hanya Puja Tri Sandya yang ia pelajari ketika kelas satu sekolah dasar dan bahasa Bali menjadi pengingat bahwa ia adalah orang Bali, orang Hindu.
Namun ketika akan menginjak kelas tiga SMA, kakek Ni Luh meninggal dunia. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, bapaknya harus kembali ke Bali. Tanah kelahirannya memanggil.
Tujuh tahun sudah Ni Luh dan bapaknya tak pernah pulang. Entah dendam apa pada Bali, hingga bapaknya selalu enggan untuk pulang.
***
Akhirnya Ni Luh pulang. Menghirup aroma Bali. Mengingat kampung halamannya. Ia menikah dengan Gede, lelaki di kampung yang ia cintai.
Dan yang paling membahagiakan adalah kakeknya memiliki pondok, dimana ia bisa berkebun dan menanam banyak tanaman yang ia inginkan. Ia ingin mengabdikan seluruh hidupnya pada rerumputan dan harum tanah setelah hujan. Di Sumbawa Ni Luh banyak bercocok tanam bersama sebuah yayasan pecinta tanaman di sana. Ia kerap menjadi sukarelawan membantu warga berkebun di lahan kering.
Namun saat ini Ni Luh Sekar terpaksa harus menanggalkan ambisinya untuk mengelola kebun yang indah dari tangannya sendiri. Dokter Heryawan, dokter kandungannya berkata bahwa Ni Luh tidak boleh terlalu lelah dan stres karena kondisi badannya yang mudah lelah dan rahimnya yang lemah.
Ni Luh sempat protes dan berkata pada suaminya.
“Justru dengan berkebunlah aku tidak stres. Hanya dengan menyentuh tanah pikiranku menjadi jernih. Bli tahu kan tentang itu?”
“Lalu bagaimana dengan lelahnya? Kau akan pingsan jika di bawah matahari terlalu lama.”
“Aku akan mengenakan topi, Bli”
“Ni Luh sayangku, akuilah jika setiap pulang dari pondok kau akan kelelahan. Belum lagi mengurus rumah kita dan memasak. Kau selalu enggan bercinta!”
“Baiklah, tapi jika tyang tidak ke pondok. Apa yang bisa dikerjakan di rumah selain mencuci dan memasak?”
“Cukup kerjakan pekerjaan rumah yang sederhana saja, biarkan Meme membantu yang lainnya”
“Dan membiarkan orang-orang bergunjing tentang tyang yang malas dan tidak berguna?”
“Ni Luh, apa yang kau katakan? Semua orang tahu kau bukan pemalas dan berhentilah berkata dirimu tidak berguna!”
“Aku memang tidak berguna, Bli, tak pernah ada yang mengandalkanku di rumah ini. Aku hanya dianggap milu-milu bawang di sini. Aku adalah orang paling tidak tahu apa-apa di sini!”
“Siapa berkata begitu?”
“Siapapun bisa melihat semua itu, Bli. Mereka selalu mengacuhkanku hanya karena tyang tidak bisa mejejahitan dan tidak mengerti tentang adat di sini!”
Gede ingin menepis ucapan Ni Luh tapi ia sadar bahwa itu benar. Ia mengerti betapa pedihnya kehidupan Ni Luh semenjak mereka menikah. Apalagi ketika sudah dua tahun berlalu dan buah hati yang diharapkan tidak segera mengunjungi rahimnya. Sudah berapa balian ia kunjungi, entah berapa kali ia dan Ni Luh melukat, akupuntur, pijit perut, semi bayi tabung, ah apalah itu yang orang katakan supaya memiliki anak ia lakukan bahkan diminta minum darah lindung pun ia lakoni asalkan buah hati itu segera ada di dekapannya. Namun apa daya, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha tapi keputusan tetap di tangan Tuhan.
Ni Luh memalingkan wajahnya, ia menangis dalam diam. Ni Luh memang begitu. Menangis diam-diam adalah keahliannya. Tak pernah Gede memergokinya menangis meraung-raung layaknya wanita lain. Ia lebih senang bersembunyi bersama kesedihannya. Gede menenangkan hati kecilnya dan juga air matanya yang siap merebak kapan saja. Ia mendekap istrinya dari belakang. Ia tak sanggup berkata-kata tapi pelukannya dan gemuruh di dadanya telah berkata banyak betapa ia tak kalah kalutnya seperti Ni Luh.
***
Malam selalu menyimpan rahasia. Ia akan memeluk mimpi-mimpimu dan membiarkan langit membingkai indah di dindingnya bersama bintang-bintang. Berbeda dengan pagi yang ajaib ini. Ni Luh terbangun dengan hati yang lapang dan membiarkan ciumannya mendarat manis di dagu Gede yang berjambang. Ia mulai memasak sarapan dengan sedikit bersenandung. Aroma magis serbuk kopi utara yang diseduh air panas menggoda hidung Gede untuk beranjak ke dapur. Di meja dapur yang hanya bisa memuat dua orang itu sudah tersaji ayam ungkep dan telur orak-arik toge kesukaan Gede, tak lupa secangkir kopi yang Gede duga akan semanis senyuman Ni Luh pagi ini.
Gede tidak bertanya banyak tentang perasaan Ni Luh pagi ini setelah kemarin malam. Ia ingin membiarkannya menjadi semacam misteri. Ia merasa berhak mendapatkan pelangi setelah diamuk badai semalam.
“Bli De. Minggu lalu tyang bertemu Men Della. Ia mengajak tyang untuk ikut pijit saraf di dekat rumahnya. Mungkin bisa membantu menaikkan imun sistem tyange, Bli!” Mata Ni Luh berbinar.
Gede kerap terpesona tiap cara Ni Luh menyampaikan sesuatu. Raut apapun yang Ni Luh gunakan akan membuat Gede jatuh cinta berkali-kali.
“Jika Iluh menginginkan begitu, Bli akan manut saja. Asalkan Iluh sesemangat dan sebahagia ini!”
“Tyang yakin Liang akan datang, Bli, Ratu Betare akan mesurya. Tyang akan menanti tapi tidak dengan berdiam diri. Tyang akan berusaha semasih bisa. Semalam tyang berpikir, bagaimana cara Tuhan membantu hambanya yang tidak berusaha!”
Ceramah Ni Luh membuat Gede ingin menitikkan air matanya haru. Ia lantas memeluk istri terkasihnya itu.
“Astungkara Luh, astungkara!”
“Tuhan akan mengabulkan permintaan kita kan nggih, Bli?”
“Iya Luh, tidak cepat, tidak lambat tapi tepat waktu Luh!”
“Bli. tyang juga tidak akan ke pondok lagi. Tyang akan berkebun di rumah saja. Sebelum lelah, tyang akan berhenti dan beristirahat!”
“Bli akan membantu Iluh tiap hari Sabtu dan Minggu. Ayo kita membuat kebun mungil yang cantik di sini, Luh!”
“Ayo, Bli”
Lesung pipit Ni Luh yang menempel manis di pipinya membuat Gede ingin menangis di dalam hatinya.
“Maafkan Bli, Luh”
Gede merasa Ni Luh paling bahagia dan paling cantik ketika ia bergelut dengan tanah dan tanaman. Wajahnya selalu cerah dan berbinar ketika bibit yang ia tanam mulai menampakkan tunas. Ia akan langsung berseru, “Bli lihat, kangkungku mulai tumbuh”. Atau “Bli, lihat! Timunku sudah berbuah!” Bahkan terkadang, “Bli, lihat! Bayamku dimakan ulat”
Hal-hal kecil semacam itu saja sudah bisa membahagiakan Iluh. Ni Luh orang yang mudah bersyukur dalam hidupnya. Namun sejak menjalani perjalanan suci untuk mendapatkan buah hati, jiwanya mudah kacau dan sensitif. Gede sangat menyesal Iluh harus melalui semua ini.
***
Ni Luh, jika anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan dalam sebuah pernikahan, lalu perasaan apa yang kurasakan ini ketika kulihat kau di pelukan di saat malam yang dingin? Kemudian kau sebut apa rasa ketika sore yang melelahkan ini, kau usap keringatku dengan senyum manismu? Perasaan apa ini ketika ku begitu ingin segera pulang dan mencumbumu hanya agar kau tahu betapa besar cintaku padamu.
Jujur saja, tanpa memiliki anak kandung pun rasanya aku sudah sangat bahagia, Luh. Asalkan hidup bersamamu, Luh. Mungkin ini kesannya berlebihan, tapi bahkan ke neraka sekalipun tak mengapa, jika itu berarti bersamamu. Aku ikut.
Terkadang ingin aku mengajak Ni Luh untuk mengadopsi anak di panti asuhan, jika memiliki anak hanya untuk meneruskan silsilah keluarga ini. Tapi kuurungkan niatku untuk menyampaikannya kepadamu, Luh. Karena aku tahu persis bagaimana dirimu sangat mendambakan buah hati yang wajahnya seperti dirimu dengan perangai semacam diriku, begitu juga sebaliknya.
Jika memiliki seorang anak adalah sebuah anugerah, namun kenapa ketika kita tidak memilikinya masyarakat seakan mengubahnya menjadi kutukan? Ini sungguh tidak adil bukan. Karena bukan kita yang menentukan tentang punya atau tidak punya. Jika ingin menghina dan menghujat kenapa tidak pada Tuhan saja? Bukankah semua ini terjadi atas campur tangan Nya?
***
Ni Luh Sekar menggelung rapi rambut pekatnya. Ia memulas tipis pemerah bibir dan seharusnya siap berangkat metulung ke rumah Pan Darna yang istrinya meninggal tiga hari yang lalu. Tapi ia malah menghela nafas enggan beranjak dari hadapan cermin. Lama ia memandang bayangnya di cermin. Matanya menyiratkan betapa ia merasa lelah berada di masyarakat yang tidak pernah berhenti berbicara seenaknya. Terkadang ia letih harus berdusta di depan suaminya bahwa ia baik-baik saja ketika mereka berkata yang tidak-tidak. Terkadang ia ingin melarikan diri dari semua ini. Rasanya semua ini takkan kunjung selesai.
Andai saja cintanya pada Gede tidak sebesar ini, mungkin sudah lama ia ingin bercerai. Sejak menikah, ia tak pernah berani menggoda teman-temannya untuk segera menikah. Pernikahan itu berat. Apalagi kalau bersama pasangan yang salah. Sebaiknya tidak usah menikah. Membujang seumur hidup lebih baik daripada harus menderita di pelaminan.
“Kenapa Luh? Kenapa belum berangkat?”
“Tidak apa-apa, Bli, ini sudah akan berangkat!” Senyum simpulnya membuat ia sedih, ia sangat benci berbohong pada suaminya.
Jika pagi adalah milik para istri maka malam hari adalah waktunya para suami berkumpul an megebagan di rumah Pan Darna.
“Gede, kau lengeh sekali. Kenapa tidak kau hamili saja Ni Luh terlebih dahulu, baru kau nikahi dia. Kan takkan lama menunggu buah hati!”
Merahlah telinga Gede Adi mendengar kata-kata orang seperti itu.
“Benar kata Pan Surya, bukankah hal semacam itu sudah biasa di jaman ini?”
“Andai Men Ratni tidak hamil waktu itu, tentu aku tidak akan menikahinya. Padahal saat itu aku baru saja metunangan dengan Luh Tari, kembang banjar sebelah.” Itu kata Pan Ratni tanpa malu-malu sambil menyesap kopinya.
“Aku menikahi Ni Luh Sekar karena cinta, tidak seperti kalian!” Gede Adi setengah geram, ia menjaga kepalannya tetap di tempatnya.
“Dengar itu Pan Surya dan Pan Wati, haha ha. Apa itu cinta Gede?!” Pan Ratni tertawa terbahak-bahak dibarengi dengan yang lainnya
Sudah kuduga, berbicara tentang cinta di sini terdengar omong kosong.
Malam itu, Ni Luh Sekar tiba-tiba tersentak dari tidurnya yang pulas. Ia dibangunkan oleh kepalanya yang berputar-putar hebat lalu ia merasakan mual yang luar biasa. Gede Adi belum pulang juga. Ni Luh pelan-pelan memaksakan badannya yang tiba-tiba lemah dan ia ambruk di depan pintu kamarnya. Malam itu ia tak sengaja telah menelan sebuah jiwa.
Ni Luh Sekar terbangun di tempat tidur yang tak asing. Rupanya malam itu ia dilarikan ke dokter Wayan, dokter desa ini. Rasa mual masih terasa di bibirnya tapi pusing kepalanya tidak sehebat tadi malam. Gede Adi tengah tertidur pulas di tangan kanannya. Ia mempelajari wajah suaminya. Wajah yang sangat ingin ia pandang seumur hidupnya. Ia tidak mengerti mengapa rasa cintanya selalu membuncah dan membesar di tiap harinya. Apakah semua orang merasakan hal ini ketika menjumpai kekasih mereka?
Ayam berkokok nyaring sekali, merobek mimpi Gede Adi dan ia mendapati istrinya tengah memandanginya.
“Ni Luh…” Gede Adi tersenyum, tak kuasa menahan rasa syukurnya bahwa makhluk yang selalu ia puja setelah Tuhan masih bersamanya.
“Bli Gede…Tyang kenapa, Bli?”
“Iluh, sayangku, kamu akan segera menjadi ibu. Ibunya Liang,” kata Gede sambil ia mengelus pelan perut istrinya. “Sudah tiga minggu Luh!”
“Bli!” Ni Luh menangis haru campur bahagia
“Iya Luh, dan Bli adalah bapaknya. Kita akan menjadi orang tua Putu Liang, Luh!” [T]
___