Film Rurouni Kenshin: The Beginning yang tayang pada pertengahan tahun 2021 adalah film laga adaptasi dari manga Jepang dengan judul Samurai X. Film tersebut menceritakan tokoh utama bernama Kenshin Himura–seorang samurai berdarah dingin–yang ikut andil dalam menumbangkan rezim Tokugawa. Sebagai seorang samurai, Kenshin sangat ditakuti karena keahliannya dalam membantai para musuh: membunuh tanpa ampun, tak terkalahkan, dan dengan tatapan mata dingin yang minim ekspresi.
Walaupun demikian, Kenshin ternyata tidak sedingin itu. Dibalik tampilan luar yang minim ekspresi, narasi cerita menggambarkan bahwa ia melakukan isolasi–mekanisme pembelaan ego dengan ciri memberi jarak antara emosi dan realita yang ada–dan mengalami depresi yang sangat besar karena telah banyak membunuh manusia. Sebagai seorang samurai, tentu saja tidak ada jalan kembali. Kenshin harus terus membunuh sampai tujuan akhir dari perjuangan rampung: tumbangnya rezim Tokugawa dan lahirnya rezim baru. Bahkan, sampai istrinya–secara tidak sengaja–mati terkena tebasan pedangnya.
Di luar narasi, pembangunan karakter yang kuat, dan aksi baku – pukul dengan sinematik yang dahsyat–menurut saya, sifat dari tokoh utama adalah hal yang paling menarik. Dalam penokohan yang dibangun, tokoh utama dapat merepresentasikan sifat dasar manusia yang benar-benar baik walaupun dididik dan berada dalam idealisme yang mengharuskannya haus akan darah. Dari sini, terlihat bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Benar-benar baik.
Apakah kalimat “manusia pada dasarnya baik” terdengar familiar? Jika jawabannya adalah “ya”, maka telaah berikut ini perlu dipertimbangkan kembali.
Dalam sejarah, manusia sering dilukiskan sebagai subjek yang sama dengan binatang. Buku Psychologie des foules atau ‘psikologi masa’ karangan Gustave Le Bon, misalnya, menjelaskan bahwa manusia akan menjadi anarki saat keadaan makin kritis: kepanikan berubah menjadi kekerasan; manusia kembali menjadi binatang.
Bagaimana dengan teori kapitalisme dari Adams Smith yang menjelaskan bahwa manusia itu liar dan saling mengekang satu sama lain sehingga perlu adanya kebebasan yang sebebas – bebasnya dengan batasan hak orang lain? Ujung – ujungnya, kebebasan tersebut berkibar dengan semangat kapitalisme di mana semua orang berhak untuk mencari kesejahteraan. Tetapi, manusia tetap berakhir dengan perbudakan modern yang lebih halus untuk menguasai manusia lain: kuasa kapital terhadap para buruh.
Atau, teori Sigmund Freud dan turunannya yang–salah satunya–menggunakan landasan berpikir adanya Id, Superego, dan Ego sebagai komponen dasar mental manusia. Id adalah dorongan dari dalam diri–bersifat liar; Superego adalah batasan norma yang terbentuk dari realita dan kepentingan manusia lain; sedangkan Ego adalah kemampuan untuk mendamaikan konflik atas polaritas keliaran Id melawan kontrol dari Superego.
Dalam perjalanannya, Id muncul terlebih dahulu, kemudian Superego datang dari arah berlawanan–berupa norma yang ditanamkan orang tua dan lingkungan. Akhirnya, Ego hadir untuk menengahi. Dari proses perkembangannya–di mana Id muncul terlebih dahulu, terlihat jelas bahwa pada dasarnya manusia itu suram. Sangat suram dan kelam.
Pandangan serupa dapat dilihat pada teori perkembangan moral yang disodorkan Kohlberg. Dalam teori tersebut–logika yang sama dengan perkembangan Id, Superego, dan Ego masih digunakan–disebutkan bahwa manusia mengenali norma sebagai sesuatu yang harus dipatuhi untuk menjauhi hukuman tanpa tahu alasannya. Kemudian, pemahaman berkembang dengan pandangan bahwa norma memang dibentuk agar berbagai kepentingan manusia yang berbeda tidak saling berbenturan.
Dan akhirnya, paham betul akan hakikat bahwa tidak ada benar salah yang absolut: dua orang yang berkonflik pada dasarnya sama – sama benar jika dilihat dari sudut pandang masing – masing. Walaupun pada dasarnya berakhir dengan kebaikan, tetap saja, teori Kohlberg dan juga Freud beranjak dari pemahaman bahwa manusia pada dasarnya liar; subjek yang tidak bisa dikontrol; entitas yang memiliki otak hanya untuk menelaah perlunya kesepakatan bersama agar tercipta keuntungan untuk diri sendiri.
Tetapi, bagaimana jika ada kemungkinan lain? Bahwa pada dasarnya, manusia itu baik dan perkembangan peradabanlah yang membuat manusia semakin suram? Kemungkinan tersebut juga disodorkan oleh Rutger Bregman dalam bukunya yang berjudul “Humankind: A Hopeful History.
Bregman menjelaskan bahwa terdapat beberapa fakta sejarah yang menunjukkan kebaikan manusia sudah ada sejak dahulu dan baru diikuti oleh kekelaman seiring berubahnya jaman. Misalkan saja, beberapa bukti arkeologi menunjukkan adanya kekerasan yang baru muncul pada sesama homo sapines saat era bercocok tanam. Kekerasan terjadi karena homo sapiens saling serang untuk memperluas wilayah. Lambat laun, penyerangan koloni lain terus dilakukan pada kebudayaan yang makin maju. Ketidakpuasan akan sesuatu yang dimiliki saat ini adalah ujung pangkalnya. Hal tersebut tidak berlaku pada era berburu, di mana homo sapiens belum memikirkan “hak milik” terhadap sesuatu.
Di era modern, hal yang sejalan terjadi pada wawancara yang dilakukan oleh Kolonel Marshall kepada para prajurit di era perang dunia II di Pasifik dan Eropa. Hasilnya: terdapat 15% sampai 25% serdadu saja yang menembakkan senjatanya walau dalam keadaan kritis. Atau, kisah enam anak kecil yang terdampar di Pulau ‘Ata–sebuah pulau kecil di Samudera Pasifik–yang saling membantu satu sama lain untuk bertahan hidup. Hal yang berkebalikan dari prediksi, di mana saat kondisi kritis, setiap manusia akan mementingkan diri sendiri. Dan realita yang sama juga terjadi pada era pandemi covid di mana terdapat banyak relawan yang menyumbang tenaga dan hartanya untuk membantu sesama. Jelas sekali bukan untuk mementingkan diri sendiri, kan?
Dengan sudut pandang pemikiran kritis penulis: jika manusia pada dasarnya kejam dan hanya mementingkan dirinya sendiri, lalu, bagaimana menjelaskan terjadinya empati? Bagaimana menjelaskan dorongan untuk menolong orang lain walaupun bantuan tersebut tidak memiliki efek positif terhadap diri sendiri? Atau, bagaimana menjelaskan ketidaktegaan yang datang dari diri sendiri saat menyembelih binatang? Dorongan tersebut tentu tidak berasal dari norma dan etika yang merupakan kesepakatan umum.
Untuk memperkuat argumen tersebut–tanpa berniat untuk melakukan argumentum ad hominem, cara pandang manusia terhadap realita–termasuk dalam memandang orang lain–sangat dipengaruhi oleh latar belakang dari subjek tersebut. Fenomenologi tidak bisa bebas dari subjektivitas sang subjek. Itulah yang membuat penjabaran latar belakang dari para pemikir adalah hal pertama yang disampaikan dalam berbagai diskursus sebelum ide dari pemikir tersebut diuraikan.
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana latar belakang pemikir yang memersepsikan manusia sebagai makhluk yang kelam? Jangan – jangan, pandangan tersebut sebenarnya adalah pandangan terhadap dirinya sendiri? Lalu, bagaimanakah pandangan kita terhadap manusia lain? Kelam atau penuh harapan? Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja tidak lepas dari pandangan kita terhadap diri sendiri. [T]
- Baca artikel lain dr. Krisna Aji, SpKJ.