Cermin itu memantulkan wajahnya dengan sempurna. Tiada yang kurang, semua nyata. Sebuah wajah yang cantik, agung, lembut tetapi juga berwibawa.
Pelan-pelan Sanggrama Wijayattunggadewi melepaskan mahkota yang membebani kepalanya. Lama sekali ia memandangi mahkota itu, sebuah mahkota dari emas murni dengan tatahan permata yang indah. Sebuah mahkota yang secara khusus dibuat untuknya, seorang Mahapati I Hino, seorang Putri Mahkota dari sebuah kerajaan besar dan makmur, Kerajaan Kadiri.
Aku tak meragukan cinta Paduka Raja Airlangga kepadaku sebagai Mahapati I Hino, juga tak meragukan cinta ayahanda kepadaku sebagai anaknya. Aku juga tak pernah menyangsikan kepercayaan raja kepadaku sebagai bawahannya, juga tak menyangsikan kepercayaannya sebagai ayah. Tak pernah, aku tak pernah menyangsikan paduka, sebagai raja dan sebagai ayah. Tetapi lebih dari semuanya, cinta dan hormatku kurasakan begitu besar kepada ayahku, raja, kerajaan, rakyat, masa depan Kadiri dan nilai-nilai kebenaran yang telah ditanamkan padaku sejak kanak.
Diputar-putarnya, kemudian diusap-usapnya bagian demi bagian mahkota itu dengan lembut. Kadang tangannya berhenti pada salah satu bagian.
Sebuah ukiran yang sempurna yang hanya bisa dihasilkan oleh tangan-tangan ahli , penyatuan kekuatan, kesabaran, kelembutan dan kepasrahan. Sebuah permata putih yang bening, keras dan berkilauan, yang lahir dari pemampatan air, api, tanah dan udara selama berabad-abad, yang ditempa panas, dingin, kering, dalam badai, gelombang, petir dan gempa bumi.
Ia tatap lagi mahkota itu dalam-dalam penuh cinta, kekaguman dan rasa hormat. Kemudian diangkatnya lagi mahkota itu, seolah ia hendak sujud di bawahnya. Diputarnya mahkota itu, dan hendak dikenakannya, tapi, ia terhenyak, ia tarik napasnya dalam-dalam, dan dia letakkan mahkota itu dengan pelan di depan cermin. Sanggramawijaya terduduk lemas.
Terbayang percakapannya dengan Mpu Baradah, penasehat raja, maha guru digjaya, yang tidak saja mahir dalam sastra, dan filsafat agama, tetapi juga mumpuni dalam kanuragan dan tata negara.
“Walaupun seorang perempuan, tak ada yang kurang dalam dirimu, anakku. Olah batinmu tegak sempurna, kanuraganmu melambung tinggi, pengetahuan sastra dan filsafat agamamu tak diragukan lagi, sedangkan ilmu tata negaramu akan berkembang mengikuti tugas yang kau sandang.
Semuanya ada padamu, Sanggrama, semua yang kau miliki jauh melebihi milik saudara-saudara lelakimu yang lain. Apalagi yang kau ragukan? Secara darah, darahmulah sebiru-birunya darah Kerajaan Kadiri, yang diturunkan dari ibumu, Mahadewi, sebagai putra raja besar Darmawangsa, sebagai cucu dari Yang Mulia Sendok, pendiri Dinasti Isyana, yang juga kakek ayahmu. Darah yang mulia Mpu Sendok menyatu dalam dirimu dari ayah dan ibumu. Kaulah kini muara kemasyruran Kadiri masa depan, perpaduan pandita ratu, bertemunya kelembutan dan keperkasaan, bersatunya impian dan kenyataan, manunggalnya sorga dan dunia.
Yakinlah kau tak akan pernah terkalahkan,karena tak akan ada senjata yang mampu melukai ketulusan dan kejernihan hatimu, anakku,” kata Mpu Baradah meyakinkannya.
Tapi Sanggrama hanya mampu menunduk, semakin dalam menundukkan wajahnya.
“Jika kamu masih tidak yakin dengan kemampuanmu memimpin kerajaan, Pangeran Kerajaan Daha, pangeran terhebat dalam peperangan itu bisa mendampingimu. Ia sudah lama menunggu kesempatan untuk melamarmu, tapi keinginan itu ia pendam karena menyadari diri hanya sebagai pangeran kerajaan bawahan. Jadi sebagai Puteri Mahkota, sebagai Mahapati I Hino kerajaan besar Kadiri, pilihan ada padamu, anakku, apapun dan siapapun yang kau pilih raja pasti merestuinya!” Kembali Mpu Baradah meyakinkannya.
Sanggrama masih diam, bayangan Mpu Baradah menghilang.
Seperti saat ini, saat berhadapan dengan Mpu Baradah pun ia masih diam. Ada yang tak bisa disampaikannya.
Ini bukan tentang kemampuan menjadi raja, bukan pula tentang pendamping, tetapi semata-mata tentang hidupku dan tujuan akhir hidupku, bagaimana aku harus menyampaikannya kepada Mpu Baradah, guru, yang juga sudah seperti orang tua keduaku? Bagiamana juga aku menyampaikannya kepada ayahanda raja? Apakah aku harus mengatakan tentang tujuan akhir hidupku pada orang lain, bukankah setiap orang berhak atas hidup dan tujuan hidupnya? Orang tua, tetaplah orang tua bagi seorang anak, guru tetaplah seorang guru bagi seorang murid. Tetapi tidak bolehkah aku menjadi orang tua bagi diriku sendiri, tidak bisakah aku menjadi guru bagi tujuan akhir hidupku sendiri?
Sanggrama berbisik lirih, seperti pada dirinya sendiri.
Bayangan mahkota di hadapannya semakin buyar. Sebutir air mata menetes di pipi kanannya yang lembut, disentuhnya air mata itu dengan telunjuk kanannya, kemudian telunjuknya dicecapnya. Ia rasakan dengan sungguh-sungguh rasa air matanya yang sedikit asin.
Hanya kita sendiri yang tahu seperti apa rasa air mata kita, kita tak mungkin membaginya pada orang lain, air mataku, biar hanya akulah yang tahu, ayah, guru, aku tak mungkin membaginya kepada mereka. Walaupun aku tahu, kalau mereka berdua merasakan air mataku, mereka akan tahu penyakitku, dan mereka pasti tahu cara mengobatinya. Tapi , ayah, guru, aku tak mau mereka merasakan air mataku, karena kutahu sebelum sempat merasakan air mataku, begitu melihat aku menangis, ayah dan guru akan sakit, aku tak mau mereka sakit karena melihat aku sakit.
Akulah yang harus menjaga perasaan mereka biar tidak sakit. Apapun akan kulakukan untuk itu, akan kusumbat mulutku, akan kutulikan telingaku, akan kubekukan pikiranku, akan kututup indria-indriaku agar tak ada gelombang kesakitan yang dirasakan oleh ayah dan guru. Kalau pun mereka harus sakit, karena pilihanku, aku bersedia menerima segala akibatnya, sepanjang hidupku, sepanjang usia jaman,
Sanggrama tersenyum tipis.
Ia ingat awal kejadian itu, saat ia diam-diam mengunjungi pondok Mbok Kasih, embannya yang setia, di gubuknya yang sederhana, yang tak terlalu jauh letaknya dari taman sari. Saat itu, tak seperti biasanya Mbok Kasih tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Ia berbisik.
“Jangan kemana-mana tuanku, tetaplah bersikap tenang, Tuanku raja dan Dang Guru sedang melakukan pemujaan yang tak bisa diganggu, dua pangeran sedang mengamuk di taman sari, merabas pohon-pohon kesayangan paduka, membakarnya bersama istri , anak-anak dan orang-orang mereka, mereka bersorak-sorai seperti sedang membakar paduka hidup-hidup. Lihatlah asap yang membumbung tinggi di timur itu, itulah hasil kerja mereka.”
Sanggrama menarik napas panjang. Wajahnya tak menunjukkan perubahan. Ia memang mencintai pohon-pohon itu . Sanggrama merasa beruntung tidak sedang berada di taman sari. Padahal salah seorang gurunya mengajaknya bertemu di taman sari, untuk mengajarinya mengenali jiwa dari setiap pohon-pohon, melanjutkan pelajaran minggu lalu yang sangat ia sukai. Tapi entah mengapa, ia merasa harus mengunjungi Mbok Kasih, pelayan tua yang setia menjaga dan mengajarinya sedari kecil. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, kapanpun bayangan Mbok Kasih melintas di depannya, ia akan segera mengunjunginya sendiri, di pondoknya yang sederhana, dan sepi itu.
Malam sebelumnya, bayangan Mbok Kasih tiba-tiba melintas. Makanya ia batalkan pertemuan dengan salah seorang gurunya di taman sari. Setelah melakukan pemujaan, ia diam-diam pergi ke pondok Mbok Kasih yang menyambutnya dengan suka cita.
Di rumah Mbok Kasih, ia bisa melihat dengan jelas asap pengap yang menyebar dari pembakaran daun dan batang-batang pohon yang basah.
Mbok Kasih memandang tepat di titik bola matanya.
“Jangan sedih ya, kecewa boleh, hamba juga kecewa, karena pohon-pohon langka yang kita kumpulkan dengan susah payah, yang kita tanam dan pelihara dengan kesabaran dan penuh perasaan, kini musnah dalam sekejap. Tetapi berjanjilah bahwa baginda tidak akan sedih, bahwa baginda tidak akan marah, karena kesedihan dan kemarahan padukalah yang diharapkan dengan memusnahkan pohon-pohon itu, jadi jangan penuhi harapan jahat mereka,” pinta Mbok Kasih bijak.
Sanggrama tersenyum, tatapan teduh Mbok Kasih-lah yang telah banyak mengajarinya untuk bersabar, untuk mengendalikan indria-indrianya, seperti harapan ayahandanya yang memberinya nama Sanggrama Wijaya. Sanggrama mengangguk pelan, pelan sekali. Itu cukup untuk membuat Mbok Kasih mengerti. Mungkin karena pengertiannya yang dalam, dalam diam itu pulalah yang akhirnya membawa Mbok Kasih untuk kembali tingggal di istana menemani Sanggramawijaya.
Ketuaannya, yang diidentikan dengan kepikunan, membuat Mbok Kasih bisa menyerap segala berita tanpa dicurigai. Dan ketuaannyalah yang selalu berusaha menyadarakan Sanggrama saat dilanda kebimbangan.
Setelah pembakaran pohon-pohon di taman sari, yang dilakukan dua adik tirinya dengan keluarga dan orang-orangnya, berbagai berita buruk tentang prilaku kedua saudara tirinya itu sampai ke telinga Mbok Kasih dan telinganya. Suatu ketika, seorang abdi, datang tergopoh-gopoh, hendak menghadap Baginda Raja Airlangga.
Mbok Kasih bertemu dengan abdi yang agak ketakutan itu. “Saya harus bertemu raja, saya harus menyampaikan berita ini kepada beliau, tapi saya takut jika beliau tak berkenan, atau ada orang lain yang tahu,” kata abdi itu dengan gemetar.
Abdi itu terdiam sekilas.
“Ini tentang putri mahkota, kedua pangeran berniat untuk membunuh putri mahkota,” kata abdi itu akhirnya.
Mbok Kasih berterima kasih, dan ia mengatakan pada abdi itu ialah yang akan menyampaikan berita buruk itu kepada baginda raja. Abdi itu setuju dan cepat-cepat pergi. Mbok Kasih memandang sosok abdi itu sampai menghilang di tikungan jalan. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada abdi itu dan abdi yang lain yang dengan caranya masing-masing menunjukkan kecintaannya kepada Putri Mahkota.
Apa yang disampikan oleh abdi itu, sudah mereka duga. Ia dan Sanggramawijaya sudah lama melihat tanda-tanda itu , tetapi kini laporan abdi itu membuktikannya.
“Tolong jangan sampaikan apapun kepada baginda raja yang bisa membuat baginda tidak tenang,” pinta Sanggramawijaya kepada Mbok Kasih.
Mbok Kasih mengangguk. “Tetapi, tuanku harus selalu waspada,” pinta Mbok Kasih.
“Ya, kita harus tetap waspada, tetapi tetap tenang dan jangan sampai kehilangan semangat dan kegembiraan dalam hidup. Kita harus bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini”, tegas Sanggrama.
Peristiwa demi peristiwa terjadi bertubi-tubi. Tetapi Sanggrama merasa beruntung karena Sang Hyang Parama Kawi senantiasa melindunginya. Kemanapun ia pergi, Mbok Kasih selalu memperingatkannya.
Berhati-hatilah, sepertinya ia menginginkan dirimu mati dalam perjalanan, waspadalah, pesan Mbok Kasih saat dia berkunjung ke sebuah desa untuk membawa pesan dari baginda raja. Pesan Mbok Kasih selalu terngiang dalam benaknya, membuatnya selalu berdoa. Tetapi, saat hendak melintasi hutan, sebuah pohon besar yang tumbang menghadang laju pasukannya, sehingga ia terlambat sampai di tujuan. Dan ia merasa kaget, karena desa yang ia kunjungi sudah terbakar habis beserta orang-orangnya.
Sanggrama Wijaya tercekat, tenggorokannya terasa kering.
Di depan Mbok Kasih ia menangis, menangisi desa yang terbakar, dan orang-orang tak berdosa yang mati. Ia cium bau-bau daging manusia yang terbakar. Ia tahu siapa yang melakukannya, tapi ia hanya bisa bungkam. Peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi yang sesungguhnya ditujukkan untuknya kini semakin sering terjadi, seiring makin dekatnya wacana keinginan ayahnya untuk menobatkannya menjadi raja.
Seminggu lalu lima dayang-dayangnya yang bertugas di dapur meninggal mendadak karena keracunan. Dari Lati, seorang dayang yang masih hidup ia mendapat informasi bahwa dayang-dayang tukang masak itu diperintahkan oleh pangeran yang tua untuk membubuhi racun pada makanannya. Kamu harus membubuhi makanan tuan putri dengan racun-racun ini, kalau kamu berhasil aku akan beri kamu uang 100 masaka dan kalian kujadikan selir-selirku, tidak berhasil kepala kalian akan kupenggal, ancam pangeran tua yang didengar oleh Lati.
Pelayan-pelayan dapur itu menurut, membubuhi racun pada setiap masakan, dan pangeran tua memandangnya dengan puas. Tetapi begitu pangeran tua itu pergi mereka memakan makanan-makanan itu sampai habis, cerita Lati diiringi sedu sedan.
Sanggrama berusaha untuk tidak menangis, Mbok Kasih juga tertegun.
Belum hilang dari ingatan Sanggrama tentang 5 dayang-dayang dapurnya yang mati karena makanan beracun. Kini ia kembali dikagetkan dengan peristiwa keji lainnya. Dari bilik sebelah, ia dengar tangis seorang gadis kecil, Diah keponakan Sanggrama tiba-tiba menangis kesakitan. Gadis kecil berumur 7 tahun itu bersama teman-temanya yang lain memang kerapkali bermain ke tempat Sanggrama. Ada saja hal yang membuatnya betah di sana. Kini tiba-tiba ia sakit, tak bisa berjalan. Tabib yang segera datang mengobatinya mengatakan bahwa anak itu terkena vibrasi racun segala jenis ular yang disebar di sana.
“Untung ia hanya kena vibrasinya saja, kalau sampai kena racunnya pasti ia meninggal seketika,” jelas Tabib itu.
Sebelum pergi, Tabib itu, mengingatkan Sanggrama. “Mohon maaf, hamba harus mengatakan ini, racun ular itu ditujukan untuk paduka, bagianda beruntung karena racun ular itu tampaknya tidak mempan untuk baginda, tetapi mohon baginda lebih berhati-hati, karena bisa-bisa mengenai orang-orang di sekitar baginda,” kata Tabib itu.
Sanggrama memandang Mbok Kasih yang juga tampak sedih dan khawatir. Sanggrama tahu, kini embannya yang sabar dan bijaksana itu juga merasa khawatir atas keselamatan dirinya. Tetapi ia tahu Mbok Kasih tidak akan mengungkapkannya. Ia sangat tahu itu. Ia merasa tak sanggup untuk menatap mata Mbok Kasih, ia alihkan pandangannya kepada Diah, gadis kecil itu yang kini sudah mulai bisa berjalan. Terlihat tanda hitam legam yang melingkar di pergelangan kakinya, seperti terbakar. Sanggrama ke biliknya mengambil selop indah masa kecilnya yang ia simpan rapi, pasti pas untuk kaki Diah.
“Kaki Diah sudah kuat sekarang ya, karena kuat dan ada tanda hitamnya, nanti bisa jadi penari ya, ini hadiah untuk kaki Diah yang kuat ya.” Sanggrama memasangkan selop itu pada Kaki Diah.
Gadis kecil itu tampak bahagia, ia mulai berjalan berlenggak-lenggok dengan selop indah pemberian Sanggrama. Hupp, jantung Sanggrama berdegup kencang, gadis kecil itu hampir terjatuh.
“Ha ha ha, kaget ya, kan jatuhnya cuma pura-pura,” katanya dengan mimik lucu melanjutkan jalannya yang berlenggak-lenggok.
Sanggrama tersenyum melihat ulah Diah yang lucu, ia merasa terhibur. Perlahan-lahan, bayangan dan senyum lucu Diah yang berlenggak lenggok dengan selop barunya mengabur. Berganti dengan mahkota emas yang kini ada di hadapannya.
Menjelang tiga hari sebelum penobatannya menjadi raja, Sanggrama belum menyatakan kesediannya untuk dinobatkan menjadi raja. Kini, dengan berbagai peristiwa yang dialaminya, ia merasa yakin atas sikapnya. Tak ada yang bisa diperjuangakannya di sini dengan mengorbankan orang-orang yang tak berdosa. Ia mungkin bisa menjaga diri dan menjaga Mbok Kasih, tetapi ia tak yakin bisa menjaga pohon-pohonnya, abdi-abdinya yang setia, sanak saudara yang menyayanginya .
Yang paling ia yakini adalah ia tak bisa menjaga hatinya untuk tidak sedih dan merasa teriris melihat penderitaan mahluk lain, akibat ulah dari adik-adiknya yang menginginkan singasana Kerajaaan Kadiri. Sekarang dia belum menjadi raja, korban sudah begitu banyak, bagaimana kalau dia sudah menjadi raja? Betapa sulit untuk berperang dengan musuh dalam keluarga sendiri, yang telah mabuk keserakahan.
Semua energi akan sia-sia. Energi cinta kasih tidak akan mempan bagi mereka yang dibutakan kekuasaan duniawi, sedangkan kekuatan fisik hanya akan mempercepat kehancuran. Sekarang ia menjadi musuh bersama bagi kedua adik-adiknya, dan jika dia sudah tak ada, kedua adiknya akan saling tikam. Lantas apa gunanya ia mengorbankan waktu, tenaga dan kebajikan untuk sampai kepada perang saudara habis-habisan yang sudah dia tahu ujungnya.
Benar Sanggrama sangat mencintai Kadiri, kerajaan yang memberinya kesempatan hidup sebagai puteri raja dan putri mahkota dengan segala fasilitasnya. Yang membuatnya bisa belajar kebijaksanaan dan alam kasunyataan dengan guru-guru agung yang tak bisa didapatkan oleh gadis-gadis lain. Sungguh ia sangat ingin berterima kasih, ia sangat ingin menjaga Kadiri, kerajaan ia dibesarkan oleh Airlanggga yang juga ayahnya, kebaikan-kebaikan Kadiri dan keturunan-keturuannnya.
Ia merasa hidupnya berharga karena Kadiri, maka ia tak akan berhenti untuk berusaha menyayangi dan mencintai rakayat Kadiri dan keturunan-keturunannya. Ia ingin bersikap welas asih kepada semua mahluk, bahkan kepada mereka yang jahat kepadanya sekalipun, sepanjang hidupnya, bahkan sepanjang usia bumi. Ia ingin melakukan semuanya untuk Kadiri.
Seperti namanya Sanggramawijaya, ia yang telah menang dari nafsu-nafsunya, ia ingin menjadi Raja Kadiri atas nafsu-nafsunya. Dirinya tak lagi penting, karena ia hanya ingin bersikap welas asih kepada semua mahluk. Itu yang selalu diperjuangkannya. Bukankah itu salah satu ciri sikap welas asih seperti yang selalu diajarkan oleh paduka raja dan Dang Guru Baradah? Apakah kini karena alasan pengorbanan untuk Negara mereka akan menampiknya?
Apakah kini karena alasan untuk kebesaran kerajaan Kadiri mereka akan mengabaikannya dan memaksaku untuk membunuh bahkan bila perlu membunuh adik-adikku? Sanggrama benar-benar tak menemukan jawabannya. Mbok Kasih juga tak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaannya ini. Mungkin ia tak akan pernah tahu jawabannya, walaupun sudah bertemu dengan kedua orang yang sangat dimuliakannya itu, seperti saat ini.
Tanpa pengawalan tiba-tiba Baginda Raja dan Dang Guru Baradah mengunjunginya ke bilik kaputren.
“Ampun, Baginda Raja, ampun Dang Guru, adalah salah hamba yang membuat baginda berdua untuk datang ke tempat ini, mohon maaf atas kesalahan hamba.” Sanggrama bersimpuh memberi hormat.
“Bangunlah Sanggrama, aku datang ke sini sebagai ayah, Baradah datang ke sini sebagai guru, apakah menurutmu salah, seorang ayah dan seorang guru mengunjungi putri dan muridnya? Bangunlah dan peluklah aku sebagai ayahmu, agar aku bisa membagi beban yang kau rasakan walaupun tidak ingin kau katakana!” Airlangga berkata bijak.
Sanggrama memeluk ayahandanya sambil menangis. Semua beban yang selama ini menggelayut, yang bercokol di sudut-sidut hatinya yang tak bisa dia usir dengan kata-kata bijaksana seakan sirna.
Beberapa lama Sanggrama melepaskan pelukannya, wajahnya terlihat tenang.
“Maafkan ananda yang tidak bisa mewarisi kebesaran ayahanda, cinta kasih ayahanda, maha guru dan rakyat Kadiri selalu mengalir memenuhi jiwa ananda, tetapi jiwa ananda hanya cukup untuk menampung tujuan hidup diri ananda sendiri. Ananda memilih mencintai dan menjaga Kadiri dengan cinta dan kasih yang ananda miliki sepanjang hidup, sepanjang usia jaman. Maafkan ananda hanya welas asih yang bisa ananda persembahkan,” kata Sanggrama pelan tetapi penuh keyakinan.
Dang Guru Baradah tidak terlalu kaget mendengarnya. Raja Airlangga demikian juga. Memang ada gurat kesedihan di keningnya, tetapi sejumnya kecilnya menandakan kebijaksanaan hatinya.
Raja Airlangga bersabda.
“Bangkitlah Dewi Kili Suci, kubuatkan pertapaan di Pucangan untukmu, raihlah keinginanmu, lakukanlah tugasmu, sesuai dengan kemampuan dan pilihanmu. Sang Hyang Parama Kawi merestuimu, welas asihmu akan membimbing rakyat Kadiri dan keturunan-keturunannya, setialah pada janjimu wahai Dewi Angin-Angin, kau akan tetap dipuja dan dimuliakan!” [T]