AWALNYA saya hanya mendengar cerita orang tua jika ‘leluhur’ dahulu seorang pembaca dan penulis yang suntuk. Penilaian ini sangat sederhana. Puluhan cakep lontar dan buku-buku lawas masih banyak tersimpan, meskipun beberapa sudah hancur—alias dekdek.
Dua kotak besar hanya nongol saat hari Saraswati saja—itupun tak lebih dari satu jam. Setelah dua ikat dupa habis terbakar, stok mantra sudah habis diucapkan, kotak kayu megah itu ditutup rapat-rapat. Tikus pun dilarang masuk!
Bukan Bali namanya jika tidak ada “bumbu mistik” di dalamnya. Cerita serem lebih sering saya dengar daripada tentang “isi” dari koleksi peradaban intelektual dan kebathinan Bali ini. Karena terlalu banyak cerita serem, akhirnya “sari” pemikiran warisan leluhur tak pernah dirasakan. Jangankan dirasakan, dibaca pun tidak. Jangankan dibaca dilihat pun tidak. Begitulah.
Biasanya, kita hanya mewarisi “ketakutan” yang tidak jelas asal usulnya. Kecuali dari cerita serem yang awet dari generasi ke generasi. Warisan ketakutan ini nyata di dalam diri generasi Bali—bahkan telah menubuh. Jadi yang menubuh bukan “ilmu” warisan leluhur, tetapi ketakutan. Singkatnya: menubuhkan ketakutan!
Padahal tidak banyak yang sadar bahwa warisan ketakutan ini hanyalah bentuk lain dari upaya merawat “kebutaan” ilmu. Ini tidak terjadi di satu tempat, tapi juga ditempat yang lain. Pertanyaannya, siapa biang kerok dari warisan ketakutan ini? Sabar, nanti akan terjawab.
Mungkin benar, ilmu dan pengetahuan itu berbahaya. Apalagi yang berhubungan dengan pengetahuan agama, pesan moral dan ketuhanan di dalamnya. Banyak fakta seseorang yang membaca tak lebih dari satu kitab suci—terlebih hanya beberapa kutipan wacana—sudah berlagak seperti orang yang paling suci—lalu wara wiri jadi hakim moral. Merasa paling benar dan paling tahu Tuhan. Jika diuji isi kepalanya, ia pasti bilang: kembali ke kitab! Model begini banyak terlihat sekarang. Para “moralis” karbitan. Cepat matang, cepat pula busuknya.
Tapi ada juga sisi lain: bahwa pengetahuan selalu berhubungan dengan kekuasaan. Siapa yang menguasai pengetahuan dan isi lontar saat itu, ia yang menguasai dunia. Tak dipungkiri ada monopoli pengetahuan saat itu. Monopoli inilah kelak melahirkan “sistem” yang memproduksi sejarah ketakutan.
Saya sering mendengar cerita orang tua, jika seseorang enggan jika lontar miliknya dibaca orang lain. Karena isi lontar digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, misalnya saja disalin dengan mengubah isinya, lalu memberi intensi pada dirinya sendiri. Apalagi lontar yang berhubungan dengan babad dan pemancangah.
Selain itu, ada kebiasaanya buruk: lontar dipinjam lalu tak kembali. Padahal isi lontar itu adalah sejarah keluarga si pemilik lontar. Karena dipinjam orang lain, akhirnya itu seolah menjadi sejarah keluarga si peminjam.
Saya sering dengar cerita bahwa satu keluarga berdebat panas soal jati dirinya: yang satu mengaku warih ini, yang satunya lagi mengaku warih itu berdasarkan koleksi lontar miliknya yang selama ini dikeramatkan. Padahal mereka tak tahu jika lontar itu “pinjaman” yang tak kembali. Bayangkan, kasus pinjam meminjam lontar di masa lalu berbuah persoalan yang rumit soal warih di masa depan.
Tak salah jika seorang peneliti asing menyebut bahwa tiga air paling sakral di Bali: air suci atau tirtha, air subak untuk pengairan sawah, dan air “mani” atau warih. Ketiga air ini bisa menjadi sumber konflik, tak hanya di masa lalu, tetapi juga di masa depan.
Ada juga fakta lain: pengkeramatan pengetahuan juga dipengaruhi oleh mistifikasi dalam kebudayaan Bali. Memang banyak terdapat pengetahuan tradisional untuk kesaktian, kawisesan. Orang Bali menyebutnya lontar pangiwa. Pokoknya yang berbau ‘kiwa” selalu dicurigai. Saya nggak paham asal usul “kecurigaan’ ini, apakah warisan dari tragedi pasca 65? Tidak juga. Sebelum itu stigma “kiwa” ini sudah negatif. Ini bisa dilacak dari cerita Calonarang.
Meskipun stigma “kiwa” ini negatif, tetapi kegandrungan orang Bali dengan pengetahuan yang dikategorikan “kiwa” ini malah besar. Orang lebih bangga disebut sebagai ahli “kiwa” daripada ahli “tengen”. Salah satu kampus Hindu di Bali pernah menggelar seminar pengliakan, ternyata pesertanya berjejal.
Mereka sangat antusias. Bahkan lontar-lontar berbau pengiwa diburu. Pentas Calonarang juga selalu menjadi ikon dalam pementasan seni tradisional Bali. Satu lagi: buku berbau leyak, kiwa, apalagi tantra selalu laris dipasaran. Ini fakta lain, memang.
Kembali soal ketakutan itu, bisa jadi pengetahuan yang dianggap berbau “kiwa” ini dilarang untuk dibaca karena persoalan konflik keluarga. Mereka khawatir, jika keluarga yang jadi musuhnya membaca ilmu “kiwa” ini akan berdampak pada dirinya. Lebih baik pengetahuan pengiwa ini tidak dibaca oleh siapapun. Lontar-lontar yang judulnya pengiwa pun dikeramatkan saja, bila perlu dibakar. Ketakutan ini turut menyebabkan upaya mistifikasi pengetahuan tradisional Bali.
Apakah ketakutan ini ikut saya warisi? Semoga tidak. Toh akhirnya, saya bisa mengakses puluhan cakep lontar dan buku-buku lawas milik leluhur dahulu. Setelah saya buka, ternyata isinya sangat luar biasa. Bikin saya tersenyum tipis.
Saya menemukan buku-buku lama di sana yang justru sedang saya cari: misalnya saja Glosarium Kawi-Balineesch-Nederlandsch oleh Dr. H.H Juynboll yang diterbitkan pada tahun 1902. Ada juga buku Wetboek Agama: Hoog-Balisch En Maleisch Vertaald. Karya-karya cendekiawan Hindu yang diterbitkan tahun 1950-an juga tersimpan, saat dimana upaya reformasi Hindu Bali dilakukan untuk pengakuan Negara. Seperti misalnya buku Darma Sastra Agama Hindu Bali oleh I Gusti Ananda Kusuma.
Dalam buku ini, Ananda Kusuma mempertegas bahwa kitab yang digunakan rujukan yakni Dwijendra, Tegesing Agama, Tegesing Sastra, Eka Pratama, Kandapat, Tirtha dan lain sebagainya. Ada juga Sedjarah Agama Hindu yang ditulis secara kolaboratif oleh cendekiawan India dan Bali yakni Narendra Dev Pandit Sastri dan I Gusti Made Tamba yang terbit tahun 1955. Pada tahun itu, buku ini dijual seharga Rp. 3.50.
Tidak hanya itu, ternyata ada beberapa buku terjemahan cendekiawan Bali I Gusti Bagus Sugriwa, seperti misalnya Babad Pasek, Pelajaran Kidung-Kakawin jilid satu dan dua yang isinya kutipan beberapa teks seperti Arjuna Wiwaha, Bhargawa Ciksa, dan Ramayana. Buku ini dibuat sangat sederhana, berisi aksara Bali, terjemahan Jawa Kuna dan Basaha Indonesia. Ada juga Sanghyang Kamahayanikan.
Selain itu, dikoleksi juga buku Sarwa Sastra; kitab pelajaran Bahasa Jawa Kuna jilid satu dan dua yang disiapkan oleh Ki Hadiwidjana R.D.S. Ada juga Kuntji Wariga yang disusun I Kt Bangbang Gde Rawi yang terbit tahun 1967. Ada banyak lagi buku berbahasa Belanda, termasuk empat puluhan cakep lontar, dan sisa-sisa lontar yang hancur. Termasuk Tika baik dalam bentuk kayu dan ditulis di atas kain putih sepanjang dua meter.
Di depan orang tua dan kakek, saya jelaskan buku-buku dan puluhan cakep lontar yang ada di rumah. Meskipun hanya judul-judulnya saja. Untuk mengerjakan semua, saya perlu waktu dan mengundang ahlinya-ahli. Meskipun hanya paham sedikit, saya bisa memetakan orientasi intelektual leluhur dahulu. Benar kata nak lingsir; sekonden melajah ke sisi, telahang malu enjek natahe jumah.
Saya terlalu banyak belajar di luar, sekarang ingin ke dalam agar tak menjadi bagian pewaris ketakutan itu. Yang sudah ‘terperangkap’ di dalam, sesekali perlu keluar untuk memperluas pandangan ketika akan masuk lagi ke dalam. [T]
Jero Munggu Tegalcangkring Jembrana
15/11/2020