Aku bercita-cita menjadi lonte. Aku menjalani hidupku dengan tekun dan teguh demi mencapai cita-cita itu. Menginjak usia 20, aku sudah berhasil mencapai cita-citaku dan menjadi salah satu yang paling sukses.
Aku adalah lonte. Mungkin bahasa lembutnya adalah Pelacur atau Tuna Susila. Meski begitu, aku lebih suka menyebut diriku “lonte”. Lebih nakal, kotor, dan tidak berlagak dihalus-haluskan apalagi diindah-indahkan.
Ya, aku tidak bohong. Menjadi lonte adalah impianku. Sejak aku rajin membaca dan jatuh cinta dengan buku tentang seks, aku langsung bermimpi menjadi lonte. Aku ingin menjadi lonte yang bisa bercinta dengan siapa saja dan mendapat bayaran sepadan. Aku ingin bisa memberikan kepuasan seks untuk siapa saja yang membutuhkannya, selagi mendapatkan petualangan beragam judul, pun tanpa harus takut dicemburui. Aku ingin memberikan pengalaman main gila yang berkesan untuk mereka-mereka, para tamu yang selalu merasa ada yang kosong dalam hidupnya.
Masa kecilku adalah masa kecil paling indah. Aku lahir di tengah keluarga yang kaya. Usia sekolah, aku selalu berprestasi karena orang tuaku membiarkan aku menyeimbangkan hidup dengan giat belajar sembari tetap gila bermain. Aku tidak pernah sekalipun stres.
Memasuki usia kuliah, aku menggilai buku. Semua jenis buku kubaca sampai habis. Setiap hari ada saja buku yang menemaniku mengisi hari. Kalau tidak ada buku, perasaanku langsung tidak karuan dan kesepian.
Dari semua topik yang kubaca, yang kusuka adalah soal seks. Aku lupa persisnya berapa banyak buku soal seks yang kubaca. Semakin banyak buku soal seks kubaca, semakin aku penasaran dengan pengaruh seks dalam kehidupan manusia.
Berkat semua ilmu yang kuterima dari buku-bukuku, aku pun langsung menemukan tujuan hidupku sebelum kuliah kuselesaikan. Aku langsung tahu cita-cita yang ingin kucapai.
***
Sejak dulu, bicara soal manusia adalah bicara soal seks. Seks adalah salah satu sumber kesenangan makhluk yang kata Tuhan paling sempurna ini. Seks menjadi salah satu hiburan yang bisa memberikan kesenangan dan ketenangan, walau hanya sesaat, dalam hidup yang banyak masalahnya.
Menjadi lonte membuatku bisa menghibur mereka yang kesepian, mereka yang sedih, mereka yang marah, mereka yang mabuk, mereka yang rindu, mereka yang haus, maupun mereka yang penasaran.
Siapa bilang menjadi lonte harus melulu karena terpaksa atau tekanan ekonomi. Aku rela menjadi lonte. Menjajakan tubuhku dengan profesional. Aku memasang tarif, membuat syarat dan ketentuan mengikat, bahkan aku juga punya dokter pribadi yang mengurus kesehatan dan kebersihan kelaminku dan seisinya secara rutin.
Memangnya soal karir, semua harus di balik meja dan konferensi atau rapat di gedung bertingkat setiap pagi? Aku juga punya kantor bernama hotel. Hotel-hotel mewah yang menjulang tinggi di ibu kota. Setiap hari aku bisa berkantor di tempat berbeda, memberikanku pengalaman yang begitu banyak rasa.
Aku menjadi lonte sejak dulu semua karena mau. Aku ingin dan ikhlas menjadi lonte karena itu memang cita-citaku. Tidak semua orang bisa mencapai cita-cita yang diinginkannya. Harusnya orang bangga melihatku, bukan menghakimi.
***
Aku bekerja setiap hari. Dalam satu hari, aku terbiasa melayani lima sampai tujuh tamu saja. Kadang sepuluh masih boleh, tapi dengan catatan ada dua sesi yang diisi dua sampai tiga tamu sekaligus. Kalau istilah kerennya, sesi itu adalah threesome atau foursome.
Tamuku bermacam-macam. Aku tidak pilih kasih terhadap tamu, sepanjang mereka bisa membayar penuh dan mengikuti syarat dan ketentuan yang kuberikan. Aku pernah melayani seorang pria kesepian, anak sekolah yang pusing ujian, penjudi yang kalah taruhan, tukang ojek yang kejar setoran, nelayan yang kehabisan ikan, petani yang panennya hancur-hancuran, bahkan perempuan yang penasaran.
Gaya mereka beraneka ragam. Ada yang malu-malu, sok galak, elegan, penuh perhatian, banyak aturan, banyak pertanyaan, banyak takutnya, ingin menguasai, lembut, kasar, banyak bicara, banyak gaya, banyak coba-coba, pun ada yang tidak tahu harus berbuat apa.
Pernah suatu kali, aku mendapatkan tamu yang usianya kutebak sudah lebih dari kepala empat. Dia mengontakku via telepon dan mengatakan ingin main di penginapan murah yang cukup jauh dari kampungnya. Aku pun mengiyakan dan langsung memintanya menuju ke penginapan murah milik kenalanku yang letaknya dekat apartemenku sendiri.
Penginapan itu murah tetapi bebas dari penggerebekan, sebab kenalanku sendirilah yang biasanya memimpin operasi penggerebekan di wilayahku. Karena aku sering memberinya jatah gratis, jadilah teman ini ikhlas memberikan salah satu kamarnya untukku bekerja sekali waktu, tanpa rasa khawatir.
Kembali soal tamu. Tamu itu akhirnya sampai di depan pintu kamar. Ia mengetuk pintu pelan-pelan. Aku mendengar suara keresek.. keresek, seperti ia sedang merapikan plastik. Ketika kubuka pintu, benar saja tamu itu membawa kantong kresek cukup besar. Tanpa ingin menyinggungnya sama sekali, aku tidak menanyakan apa yang ia bawa. Aku langsung menyilakan dia masuk.
“Selamat malam, Mbak. Saya petani dari kampung. Saya tidak punya uang untuk bayar Mbak karena panen saya dihargai murah oleh para tengkulak. Saya tidak ikhlas jual panen terlalu murah melulu. Jadi saya ke sini membawa hasil panen saya sebagai bayaran untuk Mbak saja. Saya lebih ikhlas memberikan hasil panen ini secara cuma-cuma untuk Mbak. Semoga Mbak mau menerimanya sebagai pengganti biaya kerjaan Mbak. Uang saya juga hanya cukup untuk ongkos pergi pulang dari kampung ke sini.”
Aku menyadari, petani ini punya masalah yang ingin dia lupakan sejenak di sini. Aku pun sama sekali tidak keberatan menerima bayaran berupa hasil panen tersebut. Aku juga tidak menolak bayaran itu sama sekali. Sebab, jika aku menolaknya, betapa petani itu akan merasa harga dirinya tak kupandang.
Malam itu, petani dan aku tidak banyak bermain kelamin. Kami lebih banyak kelonan sembari aku mendengarkan umpatan-umpatan petani itu tentang ketidakadilan dalam hidupnya.
Selesai menceritakan itu semua, petani itu pamit pulang, sekira-kiranya pukul 3 dini hari. Aku sempat menawarinya untuk menginap saja dan siangan saja baru pulang. Ia keberatan dan menolak. Alasannya karena ia butuh sampai kampung sebelum subuh agar tidak ada yang curiga dan dia bisa langsung bertani lagi di lahan warisan ayahnya.
Esok paginya, aku membaca koran dan mendapati petani itu mati di tepi jalan karena kelelahan. Apa boleh buat. Salah sendiri dia tidak sisihkan uangnya untuk beli obat kuat. [T]