KATA-KATAKU
Kata-kataku adalah angin luka di dinding-dinding bukit
Jeritan burung-burung patah sayap terjerat musim di lembah-lembah
Kata-kataku derap kaki-kaki kuda pemburu
Atau risau sungai tak putus-putus mengejar muara
Kata-kataku adalah bait-bait lagu
Nyanyian pejalan yang tersesat di negeri asing
Lagu rindu kepada tanah asal
KUTULIS PUISI
Kutulis puisi seperti benih ikan di paruh burung laut
Yang terbang mencari sarangnya di pulau sunyi.
Aku tak yakin apa yang akan sampai padamu
Jeritan burung-burung kelaparan ataukah benih suara rinduku?:
Benih yang tumbuh jadi matahari pagi yang selalu membangunkan perahu-perahu di pantai agar segera bangkit dari mimpi dan selekasnya berlayar memburu rindunya yang bertebaran di horizon namun nasibnya sepenuhnya bergantung pada selembar layar yang hidupnya telah ditentukan hanya untuk mengikuti arah angin.
Benih yang tumbuh jadi angin laut yang bertugas menyemangati ombak agar tak pernah putus asa memburu rindunya di pantai namun nasibnya sepenuhnya ditentukan pasir yang ditakdirkan selalu menghisap habis segala yang sampai padanya hingga semuanya kembali sunyi.
SUARA PEDALAMAN
kau dengarkah suara-suara pedalaman itu?
dalam puisi suara-suara itu tumbuh
menjadi pohon-pohon keheningan
pohon dengan daun-daun melambai
selembut sungai mengalir menuju senja
kau dengarkah erangan angin
di puncak musim badai
atau tangisan binatang malam memenuhi kegelapan rimba?
tapi adakah kau dengar suara-suara di belakangnya
sehalus kabut merayap dari pohon ke pohon?
di pedalaman kata-kata, pohon-pohon sedang merayakan puisi
setiap kata bergerak dengan suara keheningan
di jalan tak berujung kita melacak jejak keindahan tanpa akhir
dan kita di sini merayakan puisi
seperti pohon-pohon mencintai sungai
dan kita mencintai pohon-pohon puisi
ketika keheningannya menggubah suara-suara
menjadi sungai senja di pedalaman hatimu
DI KAFE TEBING SUNGAI
Malam menciptakan kenangan melalui kerlip bintang di aliran sungai
dalam nada samar suara gitar dan bayang-bayang lampu yang berayun
Inikah waktunya mengingat kembali rumah ibu?
Rumah yang terlupakan di desa sunyi?
Di sudut bar, seseorang menyanyikan syair memuja negeri asing
Di dahan tanpa daun, burung-burung terisak, meratapi cuaca yang berubah cepat.
Warna-warni lampu tak dapat menghapus bayangan muram lantai
Ketika orang-orang menatap hampa ke dalam gelas yang kosong
Setiap orang seperti menunggui nisannya sendiri
Busa wiski terakhir pecah di sudut bibir
Jadi tiruan gapura puri yang runtuh dalam bayangan gelap arca Dewi Padi
Mengingatkan pada kisah tanah leluhur yang telah menjadi arang
dibakar di punggung lembu pada upacara pengantar ke alam kematian
Musik kafe terus menyamarkan kabut dingin yang datang ke halaman
Menyamarkan hening malam dengan menirukan kerumunan siang hari
Tapi itu tidak juga membuat rasa kesepian pergi
Di tengah hilir-mudik para pelancong
Di antara kehangatan alkohol dan lagu-lagu asing
Patung-patung batu menjadi monumen kemurungan
Lagu anak-anak desa menjadi suara kebisuan
Lukisan dinding adalah masa lalu yang hilang
Tetapi seluruh kata-kata tak kuasa menerjemahkan tanda-tanda ini
Di jendela, angin bergerak menjauh dengan sisa gerimis dan hawa pegunungan
Lalu sebuah kenangan tersampaikan lewat segelas minuman
namun tak jua menghangatkan perasaan hampa
serta sebait puisi tak kuasa merangkum kegelisahan ini
Di tebing ini entah berapa waktu dibutuhkan
musim untuk mampir dan berlalu
Seperti hidup dan kematian yang datang berulang
dengan meninggalkan jejak retakan di dinding cadas
Seperti wajah ibu. Batu-batu ini perlahan-lahan lapuk menjadi serbuk
lalu hanyut bersama sungai yang mengering
ABSTRAKSI MATA
Tiba di ujung teluk ia berpendar di tiang dermaga
Jadi penanda bagi kapal berlabuh di malam hari
Dia berkedip seperti rambu lalu lintas
Dari hijau ke kuning lalu pindah ke merah
Memberi waktu pada sekelompok pemabuk
Menyeberang di jalan ramai
Lalu menjelma lampu merkuri
Membawa kota keluar dari kegelapan
Menyalakan cahaya di kepala mereka
Yang tersesat dalam bayangan muram gedung-gedung
Mata itu menggerakkan tanganku
Menggali sumur kata-kata di kedalaman hati
Menimba bahasa rindu yang tak mampu diucapkan oleh suaraku
Mata itu juga yang meredupkan senja
Memanggil burung-burung pulang ke sarang
Bernyanyi riang untuk jiwa-jiwa
yang terperangkap kabut kesedihan
Sekali waktu ia menderas bersama sungai
Membawaku berziarah kembali ke masa silam
Lalu hanyut memburu batas samudera terjauh
Bila gunung menaburkan letusannya di lembah
Mata itu jadi batu pertapa di dasar kali
Mengajariku bertahan dengan rasa perih
Yang menjalar sepanas lahar di aliran darah
Seperti sayap burung, mata itu selalu terbuka
Melayang dan berjaga-jaga di antara rasi bintang
Bersinar meliputi sudut-sudut paling gelap di langit sunyimu
BAYANG-BAYANG
Bayang-bayang itu
Datang serupa lintasan cuaca
Dan pasang surut sungai
Tapi sungguh dia sangat samar
Sesamar suara di pedalaman hutan gema
Di belakang derai yang bergerak perlahan
Dia menjauh lalu menghilang
ke dalam bayangan langit muram
Seluruh kata-katamu tak kuasa mengenalinya
Tak dapat menyentuh dan mencatatnya
Sampai engkau merasakan
Sesaat ia tiba-tiba mendekat selembut warna senja
Bergerak sehalus kabut mengikuti irama mantra
di puncak hening puisimu