Cerpen: Ni Luh Puspa Pratiwi
“Aku adalah perempuan terkutuk!”
“Kita adalah kesalahan!”
Perempuan itu masih termenung, memikirkan ke mana arah nasibnya kini. Matanya terus membendung deras air yang hendak mengucur di pipi . Tangannya gemetar memegang secangkir kopi yang menemani malam. Beberapa tegukan kopi ia nikmati, tapi belum juga sirna rasa gelisah di lubuk hatinya.
Teleponnya terus berdering, namun tak kunjung ia gubris. Pikirannya masih dan masih melekat pada nasibnya. Hatinya masih tergerus, mengingat betapa besar pengorbanan yang ia lakukan demi mencapai titik ini. Kini hatinya mulai goyah memilih.
***
“Ibu, kapan Ayah kembali pulang?” suara itu mengangetkanku.
“Ayahmu sedang bekerja, tentu dia akan pulang nanti!” jawabku.
Rena terus merengek memikirkan betapa rindunya sudah tidak bisa dibendung lagi pada ayahnya. Aku hanya bisa memberinya sepatah dua patah kata yang mungkin bisa menenangkannya.
Brukkkkk! Suara pintu terbuka. Aku segera menghampiri,
“Dasar anak yang tak tahu malu! Keluar kamu! Apa yang akan kamu lakukan kali ini, hah?“
Suara itu membuat duniaku seakan runtuh.
“Apakah lelaki itu sudah tahu?” suara itu melanjutkan. “Di mana Si Brengsekitu? Sudah cukup kamu menderita, cepat tinggalkan lelaki itu atau semua orang akan tahu kebenarannya!”
Itu suara ibuku. Ia marah, tapi air matanya menetes.
“Ibu tidakkah kau sadar keberadaan Rena? Bagaimana ia nantinya?” sahutku.
Aku tertunduk. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku malu dengan hidupku, bahkan aku malu dengan keberadaanku.
“Sudahlah, aku sudah muak denganmu! Terserah denganmu saja, hidupmu sepenuhnya milikmu!” Ibu pergi meninggalkanku.
Aku segera menghampiri Rena yang tertunduk lesu di sofa. Melihat wajahnya yang begitu lugu, hatiku seakan teriris mengingat kebenaran ini.
***
“Aku sudah di depan rumah!” suara Hendra di telepon.
Aku berlari tanpa memperhitungkan apapun. Berlari tanpa memakai alas kaki, dibalut daster yang kebesaran semua itu tidak penting. Aku akan bertemu suamiku setelah sekian lama.
Beberapa langkah darinya aku berhenti. Hendra menatapku aneh. Aku tak sanggup mengatakannya sekarang. Tapi kebenaran ini haruslah tersampaikan.
Aku menghampirinya memegang tangannya, menatap penuh makna.
“Tidakkah kau perbolehkan masuk suamimu ini?”
Aku menuntunnya masuk ke dalam rumah, tanganku tetap memegang erat tangannya. Kami duduk bersama sambil saling menatap. Hendra begitu kebingungan menatapku. Aku tertunduk.
“Kita adalah kutukan!” Aku memulainya.
Dia masih tetap diam.
“Hidup kita memang sudah dikutuk, mengapa kita masih tetap hidup?”
Aku menangis sejadi-jadinya.
“Apa yang kau bicarakan? Dikutuk?” tanyanya.
“Sudahkah kau temukan siapa orang tuamu? Dimana dia tinggal? Bagaimana keadaanya?”
Aku menatapnya dengan sinis.
“Belum. Kau tahu kan aku masih sibuk bekerja mana sempat aku memikirkan itu.”
“Bodoh, kau memang bodoh!”
Aku mengambil vas bunga dan melemparnya. Aku benar-benar kacau. Semua benda di meja aku lempar ke tembok. Hendra masih tetap diam. Aku menghampirinya.
“Tidakkah kau sadar hubungan kita? Hah?” Aku menatapnya.
“Kita adalah suami istri. Apa yang harus dipermasalahkan?” Ia menjawab dengan tenang.
“Bodoh! Percuma pendidikanmu tinggi. Kita saudara. Kau kakakku yang hilang saat diriku berumur dua tahun. Tanyakan sendiri pada ibu. Lelaki macam mana yang menikahi saudara kandungnya sendiri?”
Hendra tetap diam, tak bicara satu patah kata pun. Aku masih menangis. Dia tertunduk.
“Sudahlah semua sudah terlambat, kita memang hidup untuk dikutuk!”
“Yei, Ayah pulang!” Tiba-tiba suara Rena terdengar mengejutkan. Ia mendekati Hendra.
Tanpa sepatah katapun aku meninggalkan Rena dan Hendra di ruang tamu. Aku mengunci diri dalam kamar. Aku tak ingin Rena melihat diriku seperti ini.
“Ayo, Nak, kita tidur!” ucap Hendra pada Rena.
Mereka pun menuju kamar.
***
“Apa yang harus diperjuangkan?”
Kali ini aku pergi meninggalkan rumah sejenak. Memikirkan hidupku kini. Sampai saat ini aku belum menemui Hendra. Walau di rumah yang sama tetapi kami belum sempat bertegur sapa. Aku hanya belum siap menatap raut wajahnya.
Aku memutuskan pergi ke salah satu kafe, menikmati hangatnya secangkir kopi. Aku hanya ingin sendiri, memikirkan nasibku kini. Nasibku dan mereka.
“Apa yang harus diputuskan?”
Aku tahu apa yang harus dilakukan.
***
Angin bertiup dengan kencang, hujan masih menari-nari dengan riang, petirpun melengkapi suasana malam itu. Hendra dan Rena sudah pergi, pergi meninggalkan dunia ini. Aku yang membuat mereka pergi selamanya. Aku istrinya. Aku ibunya. Kini tinggal aku menunggu gilirannya menyusul mereka.
Tak ada yang harus diperjuangkan. Kami tiada. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.
____
Ni Luh Puspa Pratiwi, biasa dipanggil Puspa. Lahir di Sukasada, 27 Mei 2002 dan kini menempuh pendidikan di SMAN 1 Sukasada