26 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Omong Kutang Kutang

Kadek Sonia Piscayanti by Kadek Sonia Piscayanti
December 14, 2019
in Esai
133
SHARES

Dalam sebuah percakapan dengan ibu mertua ketika saya baru-baru menikah, saya tertegun dengan sebuah idiom yang digunakan ibu mertua saya. Omong kutang-kutang. Dilanjutkan dengan isi ceritanya.

Saya tidak sepenuhnya tahu, paham atau mengerti dengan istilah omong kutang-kutang. Kutang itu bahasa Bali, artinya buang. Jadi, omong kutang-kutang adalah semacam pembicaraan yang dibuang-buang.

Apakah begitu? Mungkin. Kembali pada omong kutang-kutang. Beberapa kali sejak saya bicara dengan ibu mertua yang didahului dengan omong kutang-kutang, maka saya sesungguhnya sedang menyimak serius sekali. Saya tahu ibu mertua tidak mungkin bercerita jika hanya untuk di-kutang atau dibuang-buang.

Salah satu ceritanya begini. Syahdan ada seorang perempuan yang sangat baik hatinya dan selalu menolong sesama namun dia hanya memiliki satu anak laki-laki dan ketika dewasa tiba waktu si anak laki-laki menikah. Muncul persoalan klasik. Perempuan ini sering bertengkar dengan menantunya atau istri dari anak lelakinya. Dan tak bisa didamaikan.

Menilik situasi rumah yang makin lama makin panas, si perempuan baik hati ini memilih meninggalkan rumahnya dan membangun rumah baru, menepi di pinggir kampung, membuat warung sederhana untuk membiayai dirinya dan dengan  demikian tak lagi minta pada anak menantunya. Nah lalu dimana letak omong kutang-kutang-nya?

Begini. Omong kutang-kutangnya adalah: Seandainya perempuan baik hati ini meninggal, bukankah semua hartanya akan jatuh ke tangan anak laki-laki dan mantunya? Lalu mengapa tidak dijadikan pertimbangan untuk menjaga perempuan baik itu sebab toh semua akan kembali untuk anaknya?

Nah. Bukankah tidak ada yang perlu dibuang dalam cerita itu? Mana yang sebenarnya omong kutang-kutang? Tidak jelas. Yang lebih jelas bagi saya, mungkin itu adalah semuanya adalah cerita utuh.

Kali lain ibu mertua bercerita tentang seorang janda tua yang mati gantung diri.

Omong kutang-kutang katanya janda itu sangat kesepian sehingga tidak tahu lagi caranya menjalani hidup yang memang tidak bisa diharapkan. Tidak ada suami, anak, apalagi cucu, untuk menghiburnya. Lalu dimana omong kutang-kutangnya? Katanya begitulah perempuan tua kesepian yang bisa saja bunuh diri untuk sekaligus membunuh kesepiannya.

Lalu sekali lagi dimana omong kutang-kutangnya? Semua cerita itu bagi saya adalah intinya.

Lalu saya mendengar sekali lagi omong kutang-kutang yang lain. Tentang seorang perempuan doduga selingkuh, disiksa suamin dan diusir lalu diceraikan. Padahal si perempuan ini rajin dan sangat berbakti pada keluarga. Omong kutang-kutangnya, kalau tidak ada perempuan ini, sekeluarga itu bisa kelaparan karena dialah yang satu satunya yang bekerja di keluarga itu.

Saya tidak mengerti. Tapi jikapun benar itu omong kutang-kutang, tapi tetap bagi saya itu bukan omong kutang-kutang. Saya tetap menyerapnya sebagai cerita utuh.

Barangkali karena saya selalu menyimak semua omong kutang-kutang itu dengan serius, ibu mertua selalu bercerita banyak sekali omong kutang-kutang yang lain.

Saya selalu berpikir setelah menyimaknya. Mengapa ada istilah omong kutang-kutang? Dalam dunia literasi yang sangat maju saat ini, dimana semua pesan harus disampaikan dengan efektif maka saya tidak mengenal omong kutang-kutang. Dalam bahasa Indonesia ini tidak ada padanannya. Apakah terjemahannya menjadi omong yang dibuang, pesan kosong, atau bualan semu (sudah bualan, semu pula)?.

Dalam ilmu bahasa yang saya pelajari ada sebuah istilah peyorasi atau penurunan makna. Contohnya tai adalah peyorasi dari kotoran. Dia merendahkan makna. Tapi kan memang tai itu kotoran. Bagaimana bisa dia disebut mengalami penurunan makna. Ini cukup bisa diperdebatkan.

Sebagai lawan peyorasi adalah ameliorasi. Peninggian derajat makna. Misalnya buta menjadi tunanetra. Ini juga bagi saya cukup aneh. Makna ditinggikan, padahal niatnya sama. Begitulah bahasa. Terlalu banyak istilah sesuai keinginan pemakainya. Namun kembali ke omong kutang-kutang, dia bukan peyorasi dan bukan juga ameliorasi. Bukan juga apapun.

Apakah sejenis metafor? Untuk pengandaian?

Jadi saya tidak tahu apakah istilah ini memang ada untuk memetaforakan sesuatu yang memang sudah metafor. Kenyataan memang sangat metafor tanpa perlu dimetaforkan. Kadang kenyataan lebih metafor dari metafor itu sendiri. Sehingga metafor tak begitu banyak fungsinya. Jadi apakah ibu mertua ingin mengajarkan metafor pada saya? Atau kenyataan? Atau dua-duanya? Metafor yang nyata atau nyata yang metafor. Saya mengimaninya sebagai dua duanya. Bagi saya apapun itu, baik yang metafor maupun yang nyata, ada satu omong kutang-kutang dari ibu mertua saya yang akhirnya paling saya ingat.

Omong kutang-kutang itu adalah: “Nah, omong kutang-kutang, jika saya pergi, kamu harus siap”. Dia berkata tapi dia tidak menatap saya. Saya juga tidak menatapnya. Omong kutang-kutangnya adalah, kami berdua tidak pernah siap.

Itulah yang terjadi. Dia pergi. Meninggalkan saya yang belum siap. Barangkali tak pernah siap. Tapi juga memang kalau ditunggu saya tidak akan pernah siap. [T]

Tags: BahasaBahasa BaliBahasa Indonesiakata-katakomunikasi
Kadek Sonia Piscayanti

Kadek Sonia Piscayanti

Penulis buku “Perempuan Tanpa Nama” dan “Burning Hair”. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Petani menggarap sawah di antara bangunan di Desa Kediri, Kecamatan Kediri Tabanan. #Foto; koleksi penulis
Opini

Sawah di Tabanan Hilang 200 Ha per Tahun – Bali dalam Involusi Pertanian

ANTROPOLOG kebangsaan Amerika Serikat, Clifford Geertz dalam bukunya Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia mengupas tentang proses pertanian di Pulau ...

February 2, 2018
Foto: Yogi Sancaya
Esai

Rindu yang Datang Tidak untuk Dibenci – Percakapan dengan Diri

PAGI tadi aku duduk di sebuah kursi taman di belakang gedung kampusku yang baru. Sudah tiga hari aktivitas ini aku ...

February 2, 2018
Made Taro mengajar orang tau mendongeng di Penggak Men Mersi, Denpasar, Minggu, 9 Februari 2020
Kilas

Pekak Taro Mengajar Orang Tua Mendongeng

Selalu menarik materi aguron-guron (workshop) yang diberikan Made Taro atau yang akrab disapa Pekak Taro. Lihat saja materi workshop yang ...

February 9, 2020
Taaruf Al Hikmah Undiksha 2015. /Foto: Mursal Buyung
Opini

PMM-Al-Hikmah Undiksha adalah Sebuah Persatuan

  DUNIA ini adalah sebuah panggung atau pa­sar yang disinggahi para musafir dalam perjalanan mereka ke tempat lain. Di sinilah ...

February 2, 2018
Ulasan

Belajar dari Perempuan – Ulasan Dua Buku Cerpen Made Suarsa

BELAJAR dari figur dan tokoh perempuan, itulah barangkali pesan utama dari buku kumpulan cerpen berbahasa Bali terbaru I Made Suarsa, ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Sayang Kukiss/Diah Cintya
Esai

7 Jurus Memperbaiki Diri untuk Melangkah pada Rencana Panjang | tatkalamuda

by Sayang Kukiss
January 25, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1360) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In