11 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Broken Beach Nusa Penida/ist

Broken Beach Nusa Penida/ist

Legenda Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur

I Ketut Serawan by I Ketut Serawan
September 17, 2019
in Esai
181
SHARES

Berwisata ke Pulau Nusa Penida tidak menjadi lengkap tanpa menikmati objek Pasih Uug (PU). Objek yang berlokasi di belahan barat Pulau Nusa Penida (Sompang) ini memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan objek-objek wisata lainnya. Ia tidak hanya memiliki pesona alam yang eksotis, tetapi juga menyimpan legenda (cerita) visioner, yang tidak dimiliki oleh objek-objek wisata lainnya. Legenda visioner yang tak pernah tidur, karena selalu kontekstual dengan dinamika kehidupan masyarakat Nusa Penida.

___

Bahkan dalam konteks sekarang, ketika kehidupan pariwisata kian melejit di Pulau Nusa Penida, eksistensi legenda Pasih Uug menjadi sangat penting. Legenda ini seolah-olah terjaga dan bangkit. Bangkit menjadi “alarm leluhur” bagi masyarakat Nusa Penida. Alarm agar kita senantiasa menjaga keharmonisan dengan lingkungan (alam).

Pesan harmonisasi itu tercermin dari kasus disharmonisasi dalam peristiwa legenda Pasih Uug. Legenda PU membeberkan tentang kebohongan warga demi kepuasan perut semata. Konon dulu, areal Pasih Uug merupakan sebuah perkampungan. Suatu hari, masyarakat setempat mendapat berkah yaitu seekor ular besar yang terjebak dalam perkampungan. Kemudian, ular itu ditangkap dan dibunuh beramai-ramai. Dagingnya, dimasak dengan berbagai olahan. Kenikmatan daging ular itulah yang membingkai warga dalam sebuah pesta. Anak-anak, remaja, dewasa hingga kakek-nenek berkumpul dalam satu tempat. Berpesta pora untuk melampiaskan syahwat perutnya.

Namun, pesta syahwat perut itu tidak berlangsung lama. Kerumunan pesta pora mendadak terganggu oleh kehadiran seorang kakek. Ia menanyakan jejak seekor ular raksasa di kampung itu. Namun, tak satu pun warga menjawab dengan jujur keberadan ular yang dimaksud. Padahal, ular sudah disantap secara massal oleh para warga.

Karena merasa sangsi, sang kakek pun menguji kejujuran warga dengan sebatang lidi. Ia menancapkan sebatang lidi di atas permukaan tanah. Selanjutnya, para warga diminta untuk mencabuti lidi itu. Sebuah tantangan yang dianggap remeh oleh para warga. Mereka berebutan mencabuti lidi itu, tetapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya, sang kakek mencabuti lidi tersebut seorang diri dengan mudah. Bersamaan dengan itu, lubang bekas tancapan lidi mengeluarkan air. Para warga menjadi panik dan kaget, karena semakin lama, kian deras dan besar, hingga menenggelamkan perkampungan itu.

Relevansi Legenda Pasih Uug

Legenda Pasih Uug mengajarkan kita tiga hal penting yang berkolerasi erat. Pertama, soal eksploitasi alam yang berorientasi kepada perut. Kasus (korban) eksploitasi ini melekat pada ular besar. Ular merupakan representasi dari alam, yang mesti dijaga kelangsungan hidupnya. Namun, warga tidak menyadari hal itu. Mereka lebih memilih mengeksploitasi ular (alam) secara masif untuk perut generasi pada zamannya. Mereka tidak memikirkan kelangsungan hidup regenerasi berikutnya. Karena itu, mereka memilih membunuh ular itu, lalu mengolah dan menghidangkannya untuk memanjakan perut.

Kedua, soal religiusitas manusia yang rendah. Pada masyarakat yang “perut-isme” (orientasi perut), nilai relegi cenderung diabaikan. Rasa empati, rasa cinta, welas asih dan kejujuran menjadi kurang penting. Sebaliknya, kepuasan duniawi (orientasi perut) merupakan kebutuhan prioritas yang segera dan harus terlampiaskan, meskipun pemenuhannya sering berlawanan dengan moral (berbohong). Tindakan inilah yang tergambar dalam legenda PU. Ujian daging ular adalah pembuktian betapa nilai relegiusitas warga sangat rendah. Mereka tergoda untuk menikmati dagingnya secara membabi buta. Daging yang sebetulnya bukan menjadi haknya (bukan peliharaan warga). Parahnya, para warga tidak pernah mengakui tindakannya. “Perut-isme” membuat warga khilaf, gelap, dan kehilangan kebijaksanaan. Mereka hanya mampu melihat secara terang soal “lapar” dan “kenyang”.

Ketiga, melanggar kearifan lokal Bali yakni tri hita karana (parhyangan-hubungan manusia dengan Tuhan, pawongan-hubungan sesama manusia, dan palemahan-hubungan manusia dengan lingkungan/ alam). Eksploitasi ular (simbol alam) merupakan kegagalan manusia dalam menjaga keharmonisan dengan alam. Kegagalan ini berimbas kepada kearifan lokal Bali lain yaitu karmaphala (hukum sebab-akibat). Perbuatan (karma) yang kurang baik, pasti mendapat hasil (pahala) yang kurang baik. Sebaliknya, perbuatan yang baik, pasti mendapatkan hasil (dampak) yang baik pula.

Aspek lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal dalam legenda PU merupakan cermin masa lampau. Cermin yang pantas dipakai masuluh oleh masyarakat Nusa Penida sekarang agar dapat menjaga harmonisasi dengan parhyangan, pawongan, dan terutama palemahan–dengan cara meningkatkan kepedulian lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal ke-Bali-an kita. Nilai-nilai kehidupan ini harus dijadikan fondasi mengingat “ular pariwisata” sudah berada di tengah perkampungan Pulau Nusa Penida.

Lalu, bagaimana kita menyikapi “daging ular pariwisata” itu? Apakah kita akan membunuh dan menyantap dagingnya secara masif untuk memenuhi nafsu liar perut kita (“pariwisata perut”). Atau kita jaga, pelihara, dan nikmati seperlunya agar berkembang secara berkelanjutan dengan konsep “pariwisata otak”? Terserah. Masing-masing akan memiliki konsekuensi. “Pariwisata perut” akan membuat masyarakat berebut secara masif daging pariwisata untuk kepentingan (kenyang) sesaat. Kita akan berpesta dan mabuk mengeksploitasi alam. Lalu, tibalah sang kakek (simbol waktu) akan mencabut lidi itu dan menenggelamkan semuanya.

Sebaliknya, “pariwisata otak” akan membuat kita bijak dan visioner  menikmati seperlunya, sambil tetap menjaga perkembangan dan kelangsungan hidupnya. Inilah pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh para leluhur kita lewat legenda PU. Pesan ini menandakan bahwa para leluhur kita (dulu) hidup dari tatanan masyarakat yang visioner. Mereka sudah memiliki wawasan lingkungan jauh sebelum pakar lingkungan dan LSM-LSM lingkungan berjamuran seperti sekarang. Bahkan, mungkin jauh sebelum konsep tri hita karana membumi di Bali.

Artinya, legenda PU diciptakan dengan penuh pertimbangan dan kematangan. Ia merupakan alarm, yang bunyinya akhir-akhir ini semakin terdengar kencang. Sangat kencang di tengah serbuan pariwisata yang sporadis (belum tertata rapi) di Pulau Nusa Penida.  Apalagi mengingat pariwisata Nusa Penida mengandalkan basis alam yaitu pantai, laut, dan perbukitan.

Sumber-sumber potensial tersebut harus dijaga dengan kesadaran lingkungan, relegiusitas, dan kearifan lokal. Dalam konteks inilah, gagasan legenda PU menjadi penting untuk terus diinterpretasikan dari perspektif zamannya (sekarang). Mungkin dalam tren sekarang, dapat menjadi cikal bakal konsep ekowisata.

Konsep ekowisata tidak hanya mementingkan tentang kelestarian alam (konservasi alam), termasuk memberdayakan masyarakat setempat dan melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan. Konservasi alam adalah pelestarian alam agar memiliki nilai guna yang tinggi di masyarakat. Nilai guna pada konservasi alam dapat menjadikan lingkungan tersebut sebagai penghasil devisa bagi suatu daerah. Pemberdayaan masyarakat lokal berkaitan dengan keharusanmasyarakat setempat (yang tinggal di sekitar kawasan lingkungan tempat wisata) mendapatkan pekerjaan yang merupakan dampak bagi lingkungan tempat wisata tersebut. Sementara itu, kesadaran lingkungan hidup bermakna

memperhatikan ulah masyarakat setempat dan ulah pengunjung. Keduanya harus sama-sama memperhatikan keindahan lingkungan tempat wisata (https://dosengeografi.com/pengertian-ekowisata/).

Konsep ekowisata akan membangun kesadaran lingkunganwarga sekitar dan pengunjung agar memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi sehingga kelestarian lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Apabila masyarakat sekitar dan pengunjung tidak memperhatikan lingkungan sekitar tempat wisata maka yang terjadi adalah ketidakmampuan lingkungan dalam beradaptasi secara fisik. Kedua, membentuk pengalaman positif bagi pengunjung dan tuan rumah sehingga menciptakan hasrat untuk berkunjung kembali. Ketiga, menghargai keyakinan spiritual daerah tempat wisata sehingga pengunjung dapat menjaga sopan santun dan tata krama dalam bertamu sebagai bentuk menghargai keyakinan spiritual daerah sekitar tempat wisata.

Mengingat basis daya tarik Pulau Nusa Penida pada pesona alam, barangkali sangat cocok dikembangkan menjadi pariwisata berkarakter ekowisata, sambil mengedukasi warga setempat secara bertahap. Edukasi ini dimaksudkan agar rata-rata kualitas SDM dan kesadaran lingkungan warga setempat dapat terus meningkat signifikan.

Di samping itu, Pulau Nusa Penida tampaknya juga memenuhi kriteria sebagai pengembangan ekowisata. Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun dalam negeri ialah (1) daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut, (2) daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor, Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya, dan (3) daerah pemanfaatan untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan (https://studipariwisata.com/analisis/ecotourism-pariwisata-berwawasan-lingkungan/).

Jadi, ekowisata merupakan pariwisata yang “ber-periketuhanan”, berperikemanusiaan, dan “ber-perikelingkungan”. Konsep idealis ini sebetulnya sudah lama membiru bersama laut legenda Pasih Uug. Dan bersama debur ombak, legenda PU selalu membawa pesan perdamaian lingkungan. Kalau kita tidak bisa menangkap filosofis pesan itu, dan malah mengeksploitasi alam secara tak bermoral, maka sang kakek (tokoh legenda PU) sebagai simbol waktu akan siap mencabut lidi karmaphala itu. [T]


BACA JUGA

  • Broken Beach, Legenda Ular Raksasa dan Lemahnya Nilai Integritas serta Nilai Religius
  • Pariwisata Nusa Penida: Antara Broken Beach dan “Broken-Broken” Lainnya



Tags: baliBroken BeachlegendaNusa PenidaPariwisata
I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Sumber foto: Google
Opini

Rumor Demo 4 November – Provokasi Media dan Jurnalisme Damai

KEMARIN banyak yang bertanya, “Benar akan ada demonstrasi besar-besaran 4 November nanti?” “Demo penistaan agama di Jakarta?” “Isu yang diseret-seret ...

February 2, 2018
OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Khas

Lempar “Bom” Benih, Mempraktikkan Cara Hidup Ekologis di Nusa Penida

Sudah lebih satu bulan jenis virus corona baru (Covid-29) menyebar sampai diputuskan sebagai pandemi global. Pengusaha wisata dan pekerjanya di ...

March 28, 2020
Pameran seni rupa bertajuk "Move On" di Bidadari Art Space, Mas, Ubud, Gianyar.
Acara

27 Perupa “Move On” di Bidadari Art Space, Mas, Ubud

Sebanyak 27 perupa menggelar pameran bertajuk ‘’Move On’’ di Bidadari Art Space, Mas-Ubud yang berkolaborasi dengan Lepud Art Management. Pameran ...

February 15, 2021
Karya Ida Bagus Tugur yang tersimpan di rumah I Gusti Made Deblog
Arsip Komunitas Gurat Institute
Esai

Lukisan Kacang Goreng || Mengenang Ida Bagus Tugur melalui I Gusti Made Deblog

Awal dekade 70-an, sebuah proyek ambisius mulai dikerjakan di Taman Werdhi Budaya Art Centre yang berlokasi di Jalan Nusa Indah, ...

December 22, 2020
Esai

Musik Pop Gamelan – Musik yang Sudah “Terkunyah Habis”

MUSIK pop gamelan yang sudah distandarkan sampai mencapai “terkunyah habis” -- penonton semua sudah biasa mendengarkannya. Maka, tidak memerlukan usaha ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Suasana upacara ngusaba kadasa di Desa Kedisan, kintamani, Bangli
Khas

“Ngusaba Kadasa” ala Desa Kedisan | Dimulai Yang Muda, Diselesaikan Yang Muda

by IG Mardi Yasa
April 10, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gde Suardana
Opini

Tatkala Pandemi, (Bali) Jangan Berhenti Menggelar Ritual Seni dan Budaya

by Gde Suardana
April 10, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1455) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (342)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In