ISAK tangis terdengar dari sel A Rumah Sakit Cipta Bakti. Tangisan semakin mendekat melintasi setiap lorong-lorong rumah sakit. Satu persatu papan pengumuman, pamflet tentang hidup sehat, dan kursi tunggu terlewati. Pot bunga dan tulang langit-langit lorong tampak mengejar dan menghitung mundur.
Suara gesekan roda kereta dorong pada lantai menjadi pengiring kesedihan yang bermuara di depan pintu kamar mayat. Jenazah terbaring di atas kereta dorong, berselimut putih yang menutupi sekujur tubuhnya. Tiga orang mengelilingi tiap tepi jenazah dengan raut muka penuh duka.
“Bapak dan Ibu, sementara jenazah saya bersihkan dulu. Jika sudah selesai, pihak rumah sakit akan mengantarkan jenazah langsung ke rumah duka!”
“Kami masih menunggu keluarga yang sedang di luar kota. Prosesi pemakamannya akan dilangsungkan besok,” jawab laki-laki itu lirih.
“Baik, Pak, besok pihak rumah sakit akan menghubungi pihak keluarga sebelum mengantarkan jenazahnya!”
“Terima kasih, Pak, kalau begitu saya dan keluarga akan pulang ke rumah dulu, sekalian memberitahu keluarga dan kerabat yang lain mengenai berita duka ini!”
“Baik, Pak, saya turut berduka cita sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi yang kuasa!”
“Terima kasih, Pak!” jawab laki-laki itu sembari bergegas pergi. Tampak raut wajah ketiga orang tersebut tidak bisa menyembunyikan perasaan kehilangan yang begitu mendalam. Dengan perlahan mereka menjauh dari tempatnya berdiri semula.Langkah kakinya penuh pasrah, bergerak, hingga bentuk tubuhnya tenggelam di kejauhan.
Kini hanya ada Nohan dan jenazah yang terbaring di atas kereta beroda. Nohan adalah seorang yang bertugas untuk memandikan jenazah di rumah sakit ini. Biasanya dia bekerja bertiga, satu perempuan dan satunya lagi laki-laki. Mereka sudah membagi tugas, jika mayatnya laki-laki akan dimandikan oleh laki-laki, begitu pun sebaliknya. Tapi teman wanitanya kebetulan sedang berhalangan untuk hadir, jadi semua pekerjaan di hari itu dilakukannya sendiri.
Dia adalah petugas paling senior di antara teman-temannya. Perawakannya tinggi, dengan kulit sawo matang dan lingkar mata yang sedikit lebam. Di sisi kiri wajahnya ada satu tahi lalat, hal itu membuatnya mudah diingat oleh beberapa dokter di rumah sakit ini.
Dia adalah tipikal orang yang sedikit bicara, tapi banyak bekerja. Dalam dirinya ada ketakutan berhubungan dengan lawan jenis. Meskipun dulu pernah memiliki kekasih, tapi tak sedikit pun dia merasa benar-benar memilikinya, bukan karena perempuan itu tidak cinta, melainkan dirinya yang merasa tidak aman dalam bercinta.
Baginya, bercinta hanyalah berhubungan intim. Selain daripada itu, berarti bukan cinta. Dalam kamus percintaannya, tak ada istilah seks phone, cuman berpegangan tangan, apalagi ‘pacaran sehat’. Yang dia inginkan hanyalah berhubungan intim, titik. Tapi, di situlah letak permasalahannya. Dia memiliki ketakutan jikalau nanti pasangannya menjauh, melawan, dan bahkan menolak ajakannya untuk bersetubuh, walau belum pernah sekali pun itu terjadi.
Hal itulah yang membuatnya hingga saat ini mau menjadi pemandi jenazah. Hanya dengan menjadi pemandi jenazah dia bisa melihat organ intim wanita dan melampiaskan hasrat seksualnya. Persetan dengan gelar kesarjanaan yang pernah ditempelkan pada namanya, yang terpenting kini dia merdeka bereksplorasi dengan fantasinya, meski bersetubuh dengan mayat sekali pun.
Dia mendorong masuk ranjang beroda. Grrkk .. Grrkk .. Grrkk, gesekan ranjang beroda terdengar.
Pintu terbuka. Aroma kapur barus menyeruak memenuhi seisi ruangan. Di depannya kini berjejeran beberapa ranjang kosongdan lemari pendingin mayat. Suasana tampak sepi, tak satu pun orang melintasi ruang ini. Bagi sebagian pekerja, tempat ini memang angker. Kejadian demi kejadian pernah terjadi. Bahkan pernah seorang pemandi jenazah dulu lari tunggang langgang setelah mendengar mayat bernyanyi di balik selimutnya. Hingga membuatnya harus berhenti dari tempat itu.
Dibukanya kain yang menutupi jenazah. Seorang perempuan berambut panjang sebahu dengan lekuk alis yang begitu sempurna tampak dari balik selimut. Wajahnya masih halus, tak ada bekas luka, murni dia mati karena sakit, bukan kecelakaan. Tentu, jenazah model begini yang dia suka. Karena tak ada perasaan jijik saat memandikannya.
Berbeda dengan korban kecelakaan, korban tabrak lari atau pun korban amuk masa pelaku pencurian atau kriminal lainnya; sudah pasti hancur lebur. Kadang dengan usus terburai, badan terputus, kepala bolong, tulang rusuk patah dan masih banyak lagi. Tapi meskipun begitu, dia harus tetap memandikannya. Suka atau tidak dengan bentuknya, mayat harus tetap dimandikan, didoakan, dengan harapan ketika kelak dia hidup kembali, tidak terlahir menjadi seekor kecoa pincang atau kambing tanpa titit.
Semakin diturunkannya kain itu, semakin terpesona dia dibuatnya. Seketika matanya melebar, terpana akan paras cantik mayat itu. Tangannya tak berhenti mengusap tubuh si mayat. “Perfect body!” katanya. Jantungnya terasa berjingkrak riang melihat bentuk tubuh dan kaki yang tampak begitu halus dan bersih. Parasnya anggun, berpadu padan dengan tingginya.
Dia mengangkat dan memindahkan mayat tersebut ke ranjang pemandian. Di atas meja sudah ada peralatan lengkap; gunting, pisau tajam, sarung tangan, kapur barus, minyak wangi, kain, dan juga beberapa kotak kapas halus. Tiap sisi ranjang itu dikelilingi gorden cokelat. Selain sebagai penutup, juga sebagai sekat dari ranjang pemandian satu dengan yang lain.
Dia memasang sarung tangan karet dan mengambil gunting yang terletak di atas meja. Diguntingnya satu persatu pakaian yang masih melekat pada tubuh perempuan itu. Tak lebih dari dua menit, kini yang tertinggal hanyalah celana dalamnya. Ketika hendak mengambil kain, dia berhenti dan berpikir tentang pantangan aurat si mayit. Dia ingat bahwa ajaran agamanya melarang untuk melihat aurat, meskipun sudah menjadi mayat.
Tapi, tak ada istilah aurat si mayit baginya. Segala sesuatu yang menjadi sumber kenikmatan harus dinikmati, bukan ditutup-tutupi. Begitu pun soal aurat, ia sudah selayaknya dirayakan, bukan malah disembunyikan. Dia pun mengurungkan niat untuk mengambil kain sebagai penutup aurat si mayat. Tangannya mulai menjamah setiap bagian tubuh si mayat, dari bawah menjalar ke bagian dada.
“Betapa beruntungnya suamimu. Kini aku pun juga berkesempatan merasakan keberuntungan itu.”
Dibukanya sarung tangan yang masih melekat, kini tak ada sekat yang membatasi sentuhannya dengan si mayat. Dia menikmati setiap remasan yang dilakukan, bergerak acak tanpa pola. Dia kembali mengambil gunting dan seketika memotong celana dalam si mayat. Digenggamnya celana dalam itu dan ditempelkan di hidungnya. Matanya terpejam menghadap langit-langit dan menikmati aroma yang disuguhkan. Dia menggenggamnya lebih erat, dan seketika membantingnya ke lantai. Potongan celana dalam bergelimangan.
Kini tak ada sehelai kain pun yang menutupi mayat itu. Dia mengambil selang dan memutar keran ke kanan. Selang bergeliat. Air mulai mengucur. Dia mengarahkan ujung selang tersebut ke kaki si mayat, menjalar naik ke bagian paha, pusar, payudara dan wajah manisnya. Setelah semua basah, dia menuangkan sabun cair ke tangannya dan mulai menggosok hingga ribuan gelembung kini menutupi tangannya.
Gelembung diusapkan dari badan bagian kanan, ke paha kanan. Kemudian membalikannya ke arah kiri. Dia mengusap bagian punggung, membalikkan lagi ke arah kanan. Dia mulai lagi mengusapkan di badan bagian kiri, pindah ke paha bagian kiri, hingga sekujur tubuhnya diselimuti sabun. Wangi harum menyeruak dari tubuh si mayat. Sambil bersiul dia mengulang-ngulang gerakan yang sama, meremasnya, menggosokkannya dan sesekali menyentuh bagian esensial perempuan itu dengan telunjuknya.
“Iya sebentar lagi sayang,” katanya sembari menatap wajah si perempuan. Diambilnya pisau dari atas meja. Satu persatu kuku si mayat mulai dicalak. Setelah ke sepuluh jarinya bersih, diambilnya selang yang tadi digeletakkan. Satu persatu sisa busa mulai hanyut, hingga tak satu pun yang masih tertinggal. Dia mengarah ke posisi keran air semula, memutarnya ke arah kiri, dan dengan cepatberbalik mendekati si mayat.
Ini adalah kali ke-99 dia melakukan hal yang sama semenjak bekerja sebagai pemandi jenazah. Tak ada yang menyadari bahwa yang selama ini dia lakukan di ruangan ini adalah menyalurkan nafsunya, bukan bekerja. Tapi apa boleh dikata, baginya, menyalurkan nafsu dan bekerja itu sama saja. Tujuan akhirnya adalah untuk mencari kenikmatan. Titik.
Kejantanannya sudah berdiri dan mengangguk. Ditutupnya gorden yang mengelilingi ranjang, dan dia bergegas membuka bajunya.
Tok .. tok .. tok. Terdengar seseorang mengetok pintu ruangan.
Menyadari ada orang yang akan datang, dengan segera dia mengurungkan niatnya. Bajunya kembali dia kenakan, dan berpura-pura menyeka setiap butir air yang masih tersisa.
Tok .. tok .. tok. Kepala Arvin mendongok dari luar. Satu tangannya masih memegang daun pintu. Dan memastikan kiri kanan ada seseorang yang dia tanyai.
“Ada orang?”
“Iya aku, ini lagi mandiin.”
“Kamu perlu bantuan nggak?”
“Nggak, ini sudah mau beres!”
“Wow wow wow! very well done hardworker!” dia tertawa terkekeh kekeh. “Ya kalau begitu aku ke kantin dulu ya, rokokku habis.” Tanpa bertatapan langsung dengan kawan kerjanya, dia pun berbalik arah, dan menutup kembali pintunya.
Menyadari Arvin telah pergi, kembali dia melepaskan satu persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya. Seragam berwarna biru, celana panjang dan sepatu anti air telah dilepaskannya. Semua yang melekat pada tubuhnya kini telah berserakan di sekitaran ranjang.
Dia mulai meraba tubuh dan menjilat setiap jari kaki si mayat. Satu tangannya kini memegang kaki kiri si mayat, mengangkatnya dan betapa senyumnya yang lebar menggambarkan ada kepuasan yang ditunggu-tunggu. Lidahnya mulai menjalar dari bagian paha.
Matanya mengarah ke bagian gelap alat vital si mayat. Tanpa menunggu lama, dia mendekatkan lidahnya ke bagian itu. Lidahnya menari-nari dan sekali memberinya gigitan. Satu tangannya lagi mengangkat kaki kanan si mayat. Kini kedua kaki si mayat mengarah ke atas. Persis tangan kepiting! Matanya dipejamkan, tampak hidungnya sekali dua kali menyentuh bagian vital si mayat.
Puas membuat permukaanya basah, dia melompat ke atas ranjang. Merasakan kenikmatan kini telah menyusup penuh di dalam darahnya. Bunyi goyangan ranjang terdengar samar-samar. Dia menari dengan waktu, memeluk perempuan itu dan membalikkan tubuhnya. Kedua tubuh kini bertalian. Kepala si perempuan terkulai menahan nikmat yang disuguhkan. Rambutnya tak menentu arah. Hembus nafasnya kini tak teratur, satu-satu, lebih cepat, dan semakin cepat berpacu dengan waktu. Detik ke menit berlalu, kini titik puncak telah digapainya. Yang ada kini hanya sperma kental yang berceceran.
Sedikit pun tak ada rasa sesal yang terlintas. Yang ada hanyalah rasa syukur dan bahagia. Setiap kecintaan harus dirayakan. Tidak dikekang apalagi ditahan hingga mati menjelang, katanya. Dia senang hanya dengan bekerja sebagai pemandi jenazah, dia mendapatkan semua yang dia cari. Hanya dengan mayatlah dia bisa meluapkan semuanya. Manusia, adalah daging hidup yang menjaga kemunafikan. Mayatlah yang mencintainya dengan tulus, tanpa kepura-puraan dan banyak persyaratan.
Dikenakannya kembali pakaian yang telah dia lepaskan, sembari tersenyum mengenang kenang apa yang telah dia lakukan. Dia memindahkan si mayat ke ranjang sebelumnya. Dia mengambil dua lembar kapas, mengusapkannya pada tubuh si mayat, dan memberi beberapa semprotan minyak wangi sembari meluruskan posisinya agar tampak tidur dengan sempurna.
*
“Aku hanya bisa berdoa, semoga amal baik adik Megan diterima di sisi sang pencipta.”
“Terima kasih, Mas. Aku tidak habis pikir, keponakanku pergi secepat ini. Padahal bulan depan adalah hari ulang tahunnya, dan dia sudah memintaku membelikan boneka. Tapi, rencana yang di atas memang kita tak pernah tahu.”
“Iya, Mas, mungkin sudah jalannya begitu. Kita sebagai hambanya tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Aku harap Mas yang sabar dan mengiklaskan kepergian Megan. Sedih memang, Mas, saya juga merasakan apa yang Mas rasakan!”
“Aku merasakan 10 hari ke belakang adalah cobaan terberat dalam hidupku, harus kehilangan keponakan yang sudah aku ajak bertahun-tahun. Ya meskipun berat, aku sudah mengiklaskannya, mungkin memang sudah begitu jalannya.”
“Aku turut berduka cita sedalam-dalamnya ya, Mas. Kalau boleh tahu, kapan akan dimakamkan?”
“Besok sore, Mas, sekarang aku akan sampaikan hal ini kepada guru walinya di sekolah. Mungkin besok teman-temannya ingin melihat Megan untuk terakhir kali. Beberapa menit lagi dokter dan petugas akan datang untuk memandikan keponakanku, pihak rumah sakit besok pagi baru akan mengantarkannya ke rumah!”
Tak lama setelah percakapan tersebut, dokter datang dan mengantarkan jenazah ke kamar mayat. Seorang anak berumur dua belas tahun kini telah meninggal dan itu juga berarti ada objek kenikmatan baru bagi Nohan. Setelah mayat perempuan muda yang mengobati hasrat seksualnya, kini giliran mayat anak sekolah dasar yang menjadi temannya ke 100 di ruang ini. Tentu, belum ada yang bisa membuatnya berhenti untuk melakukan hal itu. Memang susah, apalagi dengan orang yang menganggap bercinta dengan arwah adalah percintaan paling puncak dari semua strata pencintaan yang pernah ada. Hingga bisa disimpulkan, dia sudah bersetubuh dengan 100 mayat.
*
“Eh, kok Mas Nohan setiap pulang lesu amat ya? Kayak nggak ada tenaga gitu. Padahal ni ya, istri nggak punya, anak nggak punya, tanggungan juga nggak punya, kerjaannya pun segitu-segitu aja! Apa jangan-jangan dia punya kerja tambahan ya? Jadi gigolo mungkin ya?”
“Sssttttt! jangan ngawur ah! kita nggak boleh berspekulasi begitu. Mas-nya takut sama cewek, buktinya dia sampai umur segitu masih nggak punya pacar, jadi nggak mungkin dia jadi gigolo, ya gigolo untuk cowok-cowok mungkin aja.”
Entah mengerti atau tidak istilah berspekulasi, para tetangga Nohan pun tertawa terkekeh-kekeh. Semua orang di lingkungan rumah kontrakannya sibuk menjadikan dirinya sebagai topik pembicaraan. Saat menunggu nasi matang, saat mencari kutu, saat saling pinjam meminjam beras, bahkan saat menjemur pakaian pun tetap Nohan dijadikan topik pembicaraan. Bagai sambal tanpa terasi, hari-hari tetangga Nohan kurang bergairah tanpa membicarakannya.
Begitulah kini para tetangga mulai menaruh curiga padanya. Kenapa setiap pulang kerja dia tampak begitu lemas dan tak sanggup melakukan apa-apa, padahal jika dilihat, pekerjaannya tidaklah berat, hanya memandikan jenazah. Itu pun tidak setiap jam dan setiap hari ada orang yang mati.
Satu dari tetangganya pun mencari informasi. Dia juga meminta bantuan Arvin untuk menyelidiki kegiatan-kegiatan Nohan. Tentu dengan bayaran. Arvin dibayar besar hanya untuk mendapatkan informasi soal Nohan, setiap informasi yang didapatkan, akan disebarluaskan ke semua ponsel para tetangga, sehingga gosip tentang Nohan masih terus dilanjutkan, bergulir, dan diperbincangkan.
Para tetangga sudah sibuk mengumpulkan uang patungan agar uang menjadi lebih banyak, sehingga Arvin mendapat upah yang lebih besar. Dengan begitu, Arvin akan lebih bersemangat dalam menggali informasi, dan berita-berita panas akan lebih banyak didapatkan para tetangga. Tiga hari telah berlalu, Arvin pun belum mendapatkan kabar yang pasti soal Nohan. Entah di mana saat ini, dia tidak mengetahui dengan pasti. Dia tidak melihat Nohan piket di sore hari begitu pun di pagi hari. Karena selama tiga hari kebetulan tidak ada orang mati, dia pun berpikir kalau Nohan di rumah kontrakannya. Dia coba ke sana dan tetap saja, tanpa ada berita yang diterimanya.
*
“Dokter, tolong nekropsi jenazah anak kami. Kami ingin tahu apa sakit yang dideritanya!” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jambang tipis pada pipinya meminta dokter untuk mengetahui lebih pasti asal muasal penyebab meninggalnya salah satu keluarga mereka. Dengan sorot mata penuh pengharapan lelaki itu memegang tangan dokter, berharap permintaanya dituruti segera.
“Sama sekali dari pihak keluarga tidak meragukan kredibilitas rumah sakit ini. Kami percaya dengan pelayanan rumah sakit ini yang begitu baik, ramah, dan sangat terjamin keamanannya. Tapi penyakit yang menimpa keluarga kami begitu misterius. Sehingga kami harus melakukan ini,” imbuhnya.
“Baik, Pak, segera kami akan melakukannya. Tapi kami mohon dari pihak keluarga untuk bersabar menunggu hasilnya. Pihak kami akan bekerja sebaik-baiknya. Saya dan tim juga perlu waktu melakukannya, agar hasilnya akurat dan bisa dipercaya.”
Setelah mengiyakan permintaan pihak keluarga, dokter beserta tim medis pun mulai bekerja. Dua orang menjemput mayat yang akan dinekropsi. Tampak semua terlihat normal; ruangan harum, tidak ada darah yang tercecer, begitu pun peralatan medis yang tampak bersih dan rapi. Seketika kedua orang itu mengarah ke lemari pendingin penyimpanan mayat. Sesuai buku catatan kamar mayat dan data orang meninggal, jenazah yang akan dinekropsi berada di loker nomer 32. Dibukanya loker itu dan ada dua mayat di sana.
Berpelukan, telanjang dan membeku. (T)