Cerpen: Putu Oka Suardana
KAWAN, suatu hari nanti kuingin kau untuk singgah di kotaku. Kotaku memang kecil, tidak seperti punyamu kawan. Banyak kendaraan, macet, gedung-gedung megah nan mentereng, juga wanita-wanita segar berpakaian menantang. Tapi, kotaku punya yang kotamu tak punya. Kotaku punya pesona luar biasa dan unik. Kotamu tidak.
Kawan, yang ingin aku ceritakan adalah pelabuhan kecil di kotaku. Meskipun kecil, pelabuhan itu punya banyak cerita yang bisa aku ceritakan. Pelabuhan ini terletak di ujung utara Bali, bertemu langsung dengan laut. Berbagi cerita bersama anak sungai tak bernama dan mulai sesak oleh sampah plastik.
Konon, pelabuhan ini dulunya adalah tempat tersibuk di seluruh pulauku ini. Tidak ada tempat lain yang lebih sibuk dari pelabuhan kecilku. Itu cerita dulu. Kini hanya terisisa bekas kejayaannya. Tidak ada lagi kapal. Tidak ada lagi jangkar kokoh yang menghantam tenangnya laut utara.
Tidak ada lagi kompeni berkulit putih seputih susu membentak buruh pribumi malang. Hanya ombak yang malu-malu mencumbu bibir pantai berbatu. Meski sudah tidak ramai lagi jangan kira tidak menarik. Justru sekarang pelabuhan kami adalah tempat menarik untuk menabur cerita. Pelabuhan kami adalah magnet. Bagai gula bagi para semut. Manis dan juga menarik hati.
Pesona pelabuhanku bertambah ketika senja mulai mengintip. Ketika senja tiba, seluruh kehidupan kami terhenti di sana. Seluruh kehidupan tumpah ruah. Banyak cerita yang tertumpah. Awan senja selalu mengapung tenang di atas langit pelabuhanku. Nampaknya dia menampung segala keresahan yang enggan diungkap senja.
Atau ketika malas, awan akan enggan bergelayut manja dan bersembunyi bersama angin yang genit. Main serong bersama angin mungkin. Meninggalkan pelabuhanku tanpa awan. Hanya bersama langit senja. Merana menanti awan datang bercerita. Bercerita tentang angin yang genit dan berembus mesra. Namun senja selalu setia. Menepati setiap janjinya untuk selalu menemani pelabuhanku yang merana. Senja selalu datang. Tak pernah pergi atau main serong.
Senja juga selalu datang bersama rindu yang tiap hari setia mengantar senja pulang. Mereka selalu setia menanti saat langit mulai memeluk kembali matahari pulang. Memeluk kembali matahari yang telah letih berkeliling sejak pagi. Memunculkan perpaduan warna merah dan kuning bercampur pada langit yang biru. Bercampur aduk bersama derap air laut saat mencapai pesisir Utara Bali. Senja juga selalu menyimpan cerita anak manusia tentang rindu yang menggebu dan bermuara di samudera lepas.
“Kau tahu mengapa aku selalu suka senja?” tanya seorang gadis pada kekasihnya di sore yang cerah. Mereka duduk di dermaga berbatu bekas masa kejayaan pelabuhan dulu. Kini sudah usang. Tak terpakai dan terlupakan. Si lelaki hanya diam. Pikirannya tak fokus. Toh sebentar lagi pertanyaan itu akan dijawab sendiri, pikir si lelaki.
“Kau tahu, senja adalah medium. Medium bagi kita selalu ingat ada keajaiban yang tidak direncanakan.” kata si gadis.
Si lelaki masih diam. Hanya menatap kosong pada ikan yang terjebak oleh kail di tepian dermaga di seberangnya.
“Senja juga sebagai medium rindu yang terlanjur menumpuk. Senja menyemainya dan kita tinggal memanen rindu itu. Gratis sepuasnya. Sampai kita mabuk. Mabuk akan rindu yang menggebu. Apa lagi yang bisa lebih mewah dari itu?” jelas si gadis kepada prianya.
Kali ini, senyumnya juga mengembang bersamaan dengan angin yang menyentuh pelan rambutnya. Menerbangkan sedikit bagian dari rambut panjang sepunggung miliknya agar angin dapat pula merasakan lembutnya rambut itu. Si pria masih terdiam. Namun kali ini dia benar-benar telah memerhatikan gadisnya. Pikirannya sekarang telah tertambat penuh pada lekukan lesung pipi sebelah milik gadisnya. Dia selalu bertanya-tanya, bagaimana Tuhan bisa menciptakan keindahan semacam itu? Lesung pipi sebelah. Hanya sebelah. Tak lebih tak kurang.
“Kurasa ada kemewahan lebih dari senja ini.”
“Apa itu? Apakah jauh lebih mewah?”
“Jauh lebih mewah,” ujar si lelaki. “Dan juga tak terhitung nilainya,” lanjutnya dalam hati.
“Apa itu?”
Si lelaki hanya tersenyum. Kemudian kesunyian merambat dengan cepat. Kedua kekasih ini terjabak di dalamnya. Mereka terdiam. Laut ikut terdiam. Waktu bagi si lelaki seakan berhenti di dalam pelukan lesung pipi sebelah milik gadisnya. Semua waktu dan semua kerinduannya bersemayam dalam senja kecil berbentuk bulan sabit itu. Burung-burung kecil telah kembali ke sarangnya di tepi jembatan dekat dengan pelabuhan. Usianya kira-kira sama tuanya. Hanya sedikit lebih terlantar. Dan lebih kusam.
Senja belum akan datang sore itu. Sudah pukul lima padahal. Agak terlambat. Pikir si gadis. Tidak seperti biasanya. Mereka berdua telah hapal kapan seharusnya senja datang. Biasanya senja sudah nampak pada saat seperti ini, walau masih malu-malu.
Dia akan datang dan segera memeluk patung lelaki besar pembawa bendera di pelabuhanku dengan hangat. Patung besar dan pasangan ini sama. Mereka sama-sama menunggu senja datang tiap hari. Tiap minggu. Tiap bulan. Tiap tahun. Kurasa tak ada yang mengalahkan patung ini dalam hal kesetiaan. Saat senja datang, seketika patung itu dipenuhi oleh suka cita. Senja akan memboyong bayangan patung itu pergi menjauh. Menjauh menikmati laut lepas di Pantai Buleleng dan hilang dalam pelukan senja.
Sore itu memang sedikit beda, selain senja yang tak kunjung datang, si gadis resah menungguh penjual kembang gula langganannya. Bahkan hari itu tak satu pun penjual kembang gula yang nampak. Kembang gula bagi si gadis adalah kewajiban saat senja menyambut. Sama seperti kewajiban seorang siswa untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Atau sama seperti kewajiban seorang pria untuk berpura-pura kuat bagi gadis idamannya. Kembang gula dan senja adalah ritual bagi pasangan ini. Pantang untuk dilanggar. Pantang untuk dilewatkan. Entah mengapa kembang gula mulai menjadi sebuah obsesi bagi si gadis. Pernah suatu waktu, mereka tidak mendapatkan kembang gula, senja tak datang sama sekali. Tiba-tiba saja sudah gelap dan tanpa senja. Tanpa kembang gula, senja hanya mengintip lalu kabur begitu saja. Tanpa jejak. Persis maling profesional.
“Senja takkan datang kalau tak ada kembang gula,” si gadis tampak cemberut.
“Mengapa?”
“Dia menyukai semua yang manis.”
“Benarkah?”
“Benar. Dia selalu menyukai hal yang manis. Anak-anak kecil bermain sepak bola di sana contohnya. Meski tanpa sepatu. Bola palstik rusak, tapi mereka bermain dengan riang. Itu manis bukan? Senja akan datang kepada mereka. Memeluk mereka dengan hangat dan melantunkan lagu merdu untuk mereka,” ujar si gadis sambil menatap laut yang kosong menanti senja bulat di ujung barat.
“Senja juga pasti menyukai sajak-sajakmu,” kata si gadis tiba-tiba.
“Aku tak yakin,”
“Pasti dia menyukainya. Sajak-sajakmu selalu menemani hari-hariku selama ini. Kata-kata yang kau pilih juga menghanyutkan perasaan saat dibaca. Atau kalau Kau ragu, bulir-bulir kembang gula ini boleh jadi Kau sisipkan dalam larik sajak-sajakmu. Pasti tambah manis. Dan senja akan tergila-gila pada sajakmu. Sama sepertiku yang tergila-gila pada sajakmu,” kali ini senyuman si gadis mendarat tepat di ulu hati kekasihnya.
Dada si lelaki tiba-tiba sesak dipenuhi senyum kekasihnya. Tak pernah dia merasakan sesesak ini. Tapi dia mengakui sesak ini sangat menyenangkan. Membayangkan kekasih berlesung pipi sebelahnya bermandikan cahaya senja. Kemudian tersenyum sambil memakan kembang gula favoritnya sungguh membuat dadanya sesak. Membayangkannya saja sudah membuat sesak.
Maka sejak saat itu pula kembang gula menjadi ritual wajib bagi mereka. Ritual untuk merayu senja. Sementara bagi si lelaki sekaligus menjadi ritual untuk menghisap puas keindahan lesung pipi kekasihnya yang sangat indah dan menggoda.
Pelabuhan Buleleng. Nama ini adalah nama dari pelabuhanku, Kawan. Ada banyak cerita sesungguhnya di pelabuhanku. Bukan hanya cerita tentang sepasang kekasih tadi. Anak-anak pantai yang riang bermain bola. Meski bola mereka telah usang. Seorang lelaki tua mengayuh odong-odongnya sambil menyeka keringat yang berlomba turun dari ubun-ubunya. Pedagang kembang gula keliling. Patung besar yang menanti gadisnya kembali dari terjangan laut utara Bali. Sampai ibu-ibu muda yang tiap sore berkumpul mengajak anak-anaknya dan bergosip sekenanya soal segalanya. Sampai kehidupan malam mereka pun menjadi gosip. Gosip paling heboh malah. Atau pohon-pohon ketapang yang berbaris rapi sampai batas mata memandang.
Itu semua adalah cerita. Cerita menarik. Tetapi cerita soal pasangan yang selalu menanti senja. Membawa kembang gula untuk merayu senja datang punya pesona berbeda. Aku yakin kau setuju kawan. Pelabuhan, senja, dan sepasang kekasih. Bukankah kata-kata itu terdengar cukup romantis?
Kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Seperti kita tidak tahu apa yang akan dikenakan presiden besok. Apa yang sedang dipikirkan seorang artis saat ketahuan pakai narkoba. Atau kapan kekasih idaman hati akan menampakkan batang hidungnya. Kita tak pernah tahu. Tapi paling tidak ada kerinduan yang dapat ditanam. Ada kerinduan saat kembali menatap senja di pelabuhanku kawan.
Kita juga tidak pernah tahu, pasangan ini bisa saja bubar esok. Atau akan bertahan cukup. Paling tidak senja mampu menghimpun rindu yang pernah mereka rasakan saat itu. Saat-saat merayu senja. Saat memandang burung-burung kecil yang terbang rendah di atas mereka. Saat-saat ketapang mulai gemulai diterjang angin. Senja selalu membawa rindu itu pada mereka.
Atau mungkin saja senja bisa membuat mereka takut. Takut untuk merasakan perasaan yang sama lagi. Takut tiba-tiba masa lalu yang manis datang mengganggu. Mungkin saja mereka takut senja dan rindu bisa datang mengganggu.
Pada akhirnya kita memang tidak pernah tahu segalanya. Kehidupan punya rahasia kecilnya sendiri. Senja, pelabuhan, laut, pohon ketapang, burung kecil, tak pernah tahu rahasia itu. Disimpannya rapat-rapat tak boleh bocor, macam rahasia negara yang negara lain tak boleh tahu.
Kini aku sering melihat lelaki yang dulu selalu membeli kembang gula untuk gadisnya duduk sendiri. Duduk sendiri menghitung buih-buih air laut yang tak ada habisnya. Hanya terdiam. Sendirian. Hingga senja merah pucat memeluk tubuhnya sepenuhnya, dia masih terdiam. Kadang membiarkan senja melahapnya bulat-bulat. Dia telah pasrah.
Si lelaki pembuat sajak itu pasrah. Sajak-sajaknya telah minggat bersaamaan dengan kisahnya yang kandas. Kata-kata manisnya telah meleleh bersama kembang gula di tangannya. Tak ada yang tersisa. Hanya dia dan senja. Sampai dia menyadari hanya akan menemukan rindunya terjepit oleh nada-nada lagu yang mulai kusut. (T)