Cerpen: Julio Saputra
SELURUH rakyat Negeri Xiao Zhu berdemo di depan Istana Presiden di samping alun-alun kota. Ratusan ribu pelajar dari berbagai universitas dengan jas almamater warna-warni mengibar bendera. Bapak-bapak ibu-ibu dari berbagai profesi menulis segala caci dan maki di atas ratusan meter lembar kain putih. Anak-anak terlihat membawa poster yang menyala-nyala. Mereka menuntut Presiden Baozhi turun dari jabatannya dan pergi untuk selamanya.
Baozhi dianggap presiden paling buruk dalam sejarah kepemimpinan Negeri Xiao Zhu. Janjinya untuk memperbaiki 20.000 kilometer jalan yang rusak tak ditepati. Anggaran 700 Milliar untuk rencana pembangunan kota entah ke mana. Selama 25 tahun lebih menjabat, Baozhi tidak pernah melakukan apa-apa lagi selain tanda tangan surat ini-itu dan kunjungan dinas serta upacara bendera sana-sini sambil berpidato manis. Tak heran masyarakat terlarut dalam kekecewaan.
Gelombang massa bertambah dalam hitungan menit. Alun-alun kota yang luasnya hampir 10 hektar itu tak ubahnya lautan manusia. Segera, orang-orang berseragam suruhan menteri pertahanan dan keamanan datang membubarkan para demonstran. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba terjadi baku hantam di antara mereka. Banyak yang terluka. Banyak yang berdarah. Seorang petugas menyemprotkan gas air mata, berharap para demonstran bubar dan lari tunggang langgang, namun mereka tetap bertahan. Mereka tak akan menyerah sebelum tuntutan mereka dikabulkan.
“Turun sekarang atau mati!” teriak salah seorang mahasiswa dalam balutan jas merah sambil mengibarkan bendera yang juga berwarna merah.
“Negeri ini merugi karena ulah presiden koruptor penuh janji. Pergi sekarang juga atau menyesal selamanya!” teriak salah seorang pedagang kecil yang merasa rugi membayar pajak secara rutin, berharap dapat membantu perbaikan jalan.
“Bunuh, bunuh saja presiden busuk itu. Basmi tanpa ampun!” Kali ini seorang pendeta yang berteriak lantang tak bisa lagi membendung amarah dan kecewanya dalam hati, tak peduli dengan bekas tinju dan rasa sakit di pipinya.
Di dalam istana, lewat siaran langsung beberapa kamera televisi, Presiden Baozhi menonton kejadian di alun-alun kota bersama Nyonya Chang Ke, istrinya yang cantik itu dengan usia 40 tahun. Ia melihat sendiri wajah-wajah yang menuntutnya mundur dan pergi. Ia mendengar sendiri hujatan, makian, hinaan, dan protes yang terlontar dari mulut para demonstran.
“Sayang, ayo kita temui mereka sekarang!” Presiden Baozhi berkata dengan senyum yang tenang, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Istrinya hanya menggangguk, ikut tersenyum, lalu mengecup pipi kiri Presiden Baozhi. Ia selalu menuruti suami tercinta yang 10 tahun lebih tua darinya. Mereka berjalan menuju balkon istana sambil berpegangan mesra. Kemudian Presiden Baozhi menyapa masyarakatnya, atau lebih tepatnya para demonstran, dengan suara lantang.
“Selamat siang masyarakatku semuanya, bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik, kakak-kakak, yang berdemo di sini. Senang bisa bertemu dengan kalian!”
Masyarakat menoleh ke sumber suara, menengadah, dan melihat Presiden Baozhi berdiri di balkon istana. Segera mereka berbondong-bondong menuju depan istana sambil tetap melontarkan hujatan, makian, dan protes. Pagar betis dari orang-orang berseragam sudah berbaris, menghadang para demonstran yang mencoba menerobos masuk. Lagi-lagi, terjadi baku hantam di antara mereka.
“Dengar, kalian semua tidak perlu berdemo lebih lama lagi. Sesuai yang kalian inginkan, saya dan istri saya akan pergi dari negeri ini dan tidak akan pernah lagi menapak kaki. Terima kasih atas kepercayaannya selama 25 tahun ini. Mohon maaf jika saya dan istri saya mengecewakan kalian semua. Akhir kata, kami undur diri!” kata Presiden Baozhi yang tetap dengan suara lantang
Hujatan, hinaan, makian dan segala protes seketika berubah menjadi sorak sorai dan tepuk tangan. Para demonstran bahagia. Masyarakat gembira.Tak ada yang lebih membahagiakan selain tuntutan yang dikabulkan dengan cepat.
Kebahagian mereka masih terasa sampai keesokan harinya, saat kamera televisi menyorot kepergian Baozhi dan istrinya ke negeri seberang. Mereka hanya berbekal tas kecil dan telepon seluler kecil untuk menelepon kerabatnya. Seluruh kekayaannya di Negeri Xiao Zhu disita aparat tertentu atas desakan masyarakat. Masyarakat bahagia melihat Baozhi, sumber kepahitan mereka, berada dalam ambang penderitaan.
***
SEBULAN setelah kepergian Baozhi, masyarakat Negeri Xiao Zhu sibuk membicarakan calon presiden selanjutnya. Sebuah konferensi besar diadakan di auditorium paling megah di sebuah hotel yang juga paling megah di negeri itu. Banyak tokoh hadir di sana, mulai dari pejabat-pejabat tinggi, menteri-menteri, para konglomerat, para pemuka agama, politisi, akedemisi, aktivis, pengamat, mahasiswa dan lain-lain.
Satu per satu mulai memberi pilihan. Ada yang merekomendasikan orang lain. Ada juga yang mengajukan diri sendiri, seperti yang dilakukan seorang mantan jenderal militer bintang 5, namun tak ada yang percaya karena masa lalunya yang pernah membantai masyarakat sipil secara kejam dengan alasan reformasi.
Ada juga seorang tokoh agama mencalonkan dirinya, tapi semua ragu karena ia dikenal rasis dan ingin membuat Negeri Xiao Zhu menjadi negeri mono agama. Ada juga seorang pengusaha kaya merekomendasikan dirinya, tapi semua seperti tidak sudi dengannya karena beredar kabar bahwa karyawan perusahaannya sudah tidak digaji selama 6 bulan. Selanjutnya, satu-satu peserta mengajukan diri, namun ada saja alasan yang membuat mereka dijatuhkan.
Di tengah-tengah diskusi yang alot dan perdebatan yang sengit, mendadak Yi Hua, seorang wanita muda dan cantik, dengan rambut pendek sebahu dan bulu mata yang lentik, juga kulit yang putih dan tubuh yang ramping, mengangkat tangannya, meminta semua peserta konferensi untuk memilihnya menjadi presiden selanjutnya. Semua peserta konferensi kaget. Tak pernah ada wanita yang berani mengajukan diri menjadi seorang presiden.
Wanita muda berusia 25 tahun itu menyebut dirinya seorang aktivis lingkungan. Ia baru saja resmi menjadi warga negeri Xiao Zhu sebulan yang lalu, setelah kepergian Baozhi dan istrinya. Ia juga menyebut segala prestasi tentang perencanaan dan pembangunan kota yang pernah diraihnya dulu, saat masih menjadi mahasiswa jurusan teknik sipil dan perencanaan, merangkap arsitektur pertamanan di sebuah universitas ternama di luar negeri. Semua peserta konferensi semakin kaget.
Tak hanya itu, ia juga menceritakan pengalamannya memimpin dan berpolitik di negara asalnya sebelum menjadi warga Negeri Xiao Zhu, mulai dari menjadi ketua organisasi kemahasiswaan, tokoh oposisi, sekretaris partai, ketua tim sukses sampai wakil ketua partai.
Semua peserta konferensi kagum. Semuanya terkesima. Semuanya juga langsung jatuh hati dan sepakat untuk menjadikannya presiden negeri Xiao Zhu selanjutnya. Mereka percaya Yi Hua mampu mengatasi kerusakan jalan raya yang menjadi masalah utama negeri Xiao Zhu. Surat persetujuan pun segera ditandatangani. Yi Hua adalah presiden wanita pertama dalam sejarah kepemimpinan negeri Xiao Zhu
***
ALUN-ALUN kota yang luasnya 10 hektar itu kembali menjadi lautan manusia. Kali ini, saat malam hari. Sebuah pesta meriah diadakan untuk menyambut Nyonya Yi Hua, Presiden Negeri Xiao Zhu yang baru. Baliho-baliho besar berisi gambar wajah Presiden Yi Hua yang cantik itu dipasang di sepanjang ruas jalan menuju alun-alun. Lampu kerlap-kerlip digantung di setiap batang pohon yang tumbuh. Sebuah konser musik juga disiapkan. Pengisi acaranya pun bukan seniman abal-abal. Mereka adalah penyanyi dengan suara paling emas. Pemusik paling mumpuni. Komposer paling terkenal, dan masih banyak lagi. Semua masyarakat terlarut dalam kemeriahan acara.
Saat itu juga, Presiden Yi Hua berkesempatan memberikan pidato perdananya.
“Terima kasih banyak atas cinta dan kasih yang nyata saya rasakan dari kalian semua. Kalian adalah kekuatan bagi saya. Saya akan berusaha keras menjadi pemimpin terbaik bangsa. Anggaran ntuk pembangunan negeri yang lebih baik sudah disiapkan. Mari bersama-sama wujudkan Negeri Xiao Zhu yang sejahtera dan makmur.” katanya dengan senyum manis yang merekah dari kedua bibir merahnya. Tepuk tangan dan sorak sorai yang meriah dari masyarakat menutup pidatonya.
Setahun memimpin, Presiden Yi Hua menorehkan prestasi gemilang. Untuk pertama kalinya negeri Xiao Zhu meraih penghargaan perencanaan tata kota terbaik tingkat internasional. Presiden Yi Hua pun diundang ke Amerika untuk menjadi pembicara dalam seminar internasional tentang kepemimpinan dan pembangunan negara.
Masyarakat Negeri Xiao Zhu terkagum-kagum dibuatnya. Beberapa dari mereka menulis status di facebook, seperti “Presidenku Kebanggaanku.”. Ada juga yang menulis menggunakan bahasa Inggris “You did a great job, president.”.Ada pula yang sedikit berlebihan “Satu-satunya presiden terbaik di dunia adalah presidenku. Maju terus.”
Tahun kedua, ketiga dan keempat, Presiden Yi Hua lagi-lagi membuat banyak prestasi. Mulai dari menjadi presiden inovatif se-Asia, sampai masuk daftar 10 besar presiden terbaik dunia. Kabar tentangnya dimuat di seluruh media kabar.
Namanya diukir di sebuah prasasti milik negara. Beberapa maestro terkenal melukis wajahnya, kemudian memamerkan karyanya dalam hall of fame istana negara. Masyarakat juga semakin bangga, semakin terkesima, namun mereka mempertanyakan kapan pembangunan akan dijalankan, terutama kerusakan jalan yang terasa semakin parah.
“Tahun kelima, di tahun terakhir saya memimpin, semua pembangunan sesuai perencanaan tata kota yang saya buat akan dituntaskan,” jawabnya tegas dalam sebuah konferensi pers. Masyarakat hanya mengangguk percaya. Mereka berpikir bahwa pembangunan yang tepat memang butuh perencanaan dan persiapan yang matang.
***
PADA suatu hari, saban pagi, Presiden Yi Hua ditemani seorang ajudan pribadi dan pengawalnya yang setia melesat menuju negeri seberang menggunakan jet pribadi. Ia mengaku berencana untuk berdiskusi dengan seorang investor di kawasan Citra Land, tempat orang-orang kaya di negara tersebut bermukim. Presiden Yi Hua segera masuk ke dalam rumah mewah itu, sementara ajudan dan pengawalnya diminta menunggu di luar.
Di tengah ruang tamu, seorang laki-laki paruh baya yang sedikit tambun sudah menunggu. Ia duduk di atas sofa yang sangat empuk dan nyaman. Presiden Yi Hua juga duduk di sana, berhadapan dengan laki-laki paruh baya itu. Kemudian mereka saling berpelukan.
“Selamat datang di rumah, Presiden,” ucap laki-laki itu lirih sambil tersenyum
“Ah, tidak usah seformal ini, Tuan Baozhi”
“Hahaha, kau seharusnya memanggilku Papa”
“Aku hanya bercanda, Pa. Di mana Mama?”
“Mama sedang arisan. Bagaimana keadaan Negeri Xiao Zhu?”
“Baik-baik saja. Tidak ada masalah. Tidak ada yang tahu bahwa aku adalah putri tunggalmu. Dunia ini memang panggung sandiwara.”
Tuan Baozhi tersenyum “Baguslah kalau begitu. Ini benar-benar sesuai rencana. Ada untungnya juga aku menyembunyikan kehamilanmu dulu dan mengirimmu ke luar negeri segera setelah kau dilahirkan. Papa bisa mewariskan Negeri Xiao Zhu padamu. Papa berterima kasih atas milliaran yuan uang yang sudah kau kirimkan. Jika bukan karenamu, Papa tidak akan bisa hidup seperti sekarang ini.”
“Ah, tidak usah berterima kasih. Lalu, bagaimana dengan Papa sendiri? Tidak ada yang tahu?”
“Tentu saja tidak ada. Segala identitas tentang Papa dan Mama sudah diubah. Nanti, setelah kau selesai menjabat, kau juga harus operasi plastik, sama seperti kita. Tak ada yang mengenali kita sama sekali. Bahkan, dengan operasi plastik, kau bisa membuat wajahmu tambah cantik dan tambah sempurna.”
“Pasti akan kulakukan. Tapi, aku sedang bingung, tahun depan adalah tahun terakhirku menjabat, aku sudah berjanji akan menuntaskan pembangunan, terutama kerusakan jalan.”
“Kau memang pintar mengambil hati rakyat. Tapi tak usah kau ambil pusing. Di mana-mana yang namanya pemimpin memang harus menebar janji. Ditepati atau tidak, bukan masalah penting, dan yang harus kau ingat, rakyat memang sudah wajibnya dibohongi. Sekarang Papa tanya satu hal, kau masih putri kecilku, bukan?”
Kali in, Presiden Yi Hua yang tersenyum. “Tentu saja Papa. Memangnya kenapa?”
“Bagus, kalau begitu sekarang kau ikuti saranku!” Tuan Baozhi mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Presiden Yi Hua. Ia membisikkan sesuatu. Presiden Yi Hua hanya mengangguk pelan.
***
SELURUH rakyat Negeri Xiao Zhu lagi-lagi berdemo di depan istana presiden di samping alun-alun kota. Ratusan ribu mahasiswa yang sama dari berbagai universitas yang sama dengan jas almamater warna-warni yang sama mengibar bendera yang sama. Bapak-bapak ibu-ibu dari berbagai profesi menulis segala caci dan maki yang sama di atas ratusan meter lembar kain putih. Anak-anak terlihat membawa poster menyala-nyala yang juga sama. Mereka menuntut Presiden Yi Hua turun dari jabatannya dan pergi untuk selamanya.
Yi Hua dianggap presiden yang gagal membenahi negara dengan segala perencanaan tata kota yang dibuatnya. Sama seperti Baozhi, janjinya untuk memperbaiki 20.000 kilometer jalan rusak di tahun terkahir kepemimpinan tak ditepati. Anggaran 700 Milliar lebih untuk rencana pembangunan kota entah ke mana. Selama 5 tahun menjabat, Yi Hua tidak pernah melakukan apa-apa lagi, selain penorehan prestasi di sana-sini. Tak heran masyarakat terlarut dalam kekecewaan. Mereka juga kecewa karena pernah mengangumi sosok Yi Hua.
Di tengah-tengah demo tersebut, seorang laki-laki tampan, berumur sekitar 35 tahun, berbadan kekar dengan hidung mancung dan kulit sawo matang, terlihat berorasi lantang menggunakan pengeras suara.“Kita tidak butuh prestasi, kita butuh aksi nyata. Kita butuh makan, hidup yang sejahtera, hidup yang bahagia. Kita tidak butuh pemimpin koruptor. Kita butuh pemimpin yang jujur dan adil. Kita tidak butuh Yi Hua yang cantik tapi busuk saatnya warga negari Xaio Zhu yang asli memimpin. Saatnya pribumi bertindak!”
Masyarakat tertegun dengan pernyataannya. Mereka sadar memang bukan pemimpin pintar yang diperlukan, melainkan pemimpin yang berani jujur, dan cara laki-laki itu berorasi merupakan cikal bakal keberanian sesungguhnya. Segera, mereka setuju menjadikan laki-laki itu presiden selanjutnya. Sayangnya, tak ada yang tahu, laki-laki itu adalah calon suami Yi Hua. Tentu saja, sesuai saran Tuan Baozhi, pernikahannya akan dirahasiakan. (T)