Cerpen: Komang Astiari
SUNGGUH sebuah rutinitas yang tidak mengherankan. Selalu, pagi-pagiku aku sambut dengan girang, kegirangan karena menunggu kabar ibu. Kabar yang kubayangkan muncul tanpa perlu diundang dengan gambaran indah wajah bulatnya yang ayu.
Meskipun usia ibu sudah lebih dari setengah abad, aku masih mengagumi wajahnya sebagai sebuah lukisan terindah, bak garis pantai menenangkan hati. Kedua bola mata ibu berwarna coklat, tatapannya dalam menyelidik. Ibu adalah sosok yang peka. Barangkali ketika menciptakannya, Tuhan sedang membayangkan surga atau nyayian merdu kidung Samarandana. Berkedip pun rasanya tak sanggup.
Lantai terlalu dingin untuk telapak kakiku yang sudah dingin sejak bangun tadi, terlalu empuk kasur ini untuk kutinggalkan demi sebuah rutinitas yang menunggu-nunggu di depan sana. Diam-diam aku mengatakan, tunggulah barang satu menit saja. Aku sedang menunggu kabar dari ibu.
Ada ribuan kata yang hendak keluar seolah tak sabar menunggu gilirannya. Banyak cerita tercatat dalam ingatan, semuanya berisi kesedihan, kegalauan hati. Aku tahu ibu pun sudah paham apa yang ingin aku ucapkan. Rela memberikan kedua daun telinganya untuk mendengarkan keluhanku. Setiap mengakhiri pembicaraan, ada satu pesan ibu, pesan penuh makna, tentang menjadi cantik.
“Perhiasan, pakaian indah, bisa menjadikan fisikmu cantik, tapi yang lebih penting jadilah cantik karena hatimu” kata ibu.
Ibu juga sering bercerita tentang Tuhan. Di dunia ini, kata ibu, Tuhan seakan punya hutang pada manusia. Manusia banyak menuntut, seolah Tuhan melakukan kesalahan terbesar saat tidak mengabulkannya. Manusia mengumpat Tuhan atas takdirnya yang getir.
“Tuhan itu letaknya di hati, engkau hanya melakukan hal yang sia-sia telah mengumpat hatimu sendiri. Hati kotor butuh waktu dan pengertian untuk mengembalikan keindahan serta kecantikannya” tutur ibu.
Detik berlalu, suara ibu masih tergiang, namun kini raganya tidak ada di sini. Masih kuingat kisah tentang hari-hari kemarin. Hari-hari dengan suasana hati yang tak menyenangkan. Aku ingin memutuskan pikiranku pada keburukan-keburukan yang hadir dalam kehidupanku. Ada beban. Ada kecewa. Ketidaknyamanan secara tidak sopan masuk diam-diam ke dalam hati.
Aku merasa aku pantas menunggu ibu, tapi ibu tidak akan datang. Ibu hanya bisa menghubungiku lewat telepon atau video call. Kami akan berbicara tentang pagi, tentang cuaca yang bahkan masih sama seperti kemarin-kemarin. Tentang langit, ibu sering berkisah, ada udara yang tak kasat mata, namun mampu kaurasakan, itu adalah cinta kasih.
Hati ibu ibarat udara. Udara bagiku, mustahil hidup tanpanya. Tak satu haripun aku sanggup kehilangannya. Ada suara tak bisa aku dengar, ibu sering memintaku untuk belajar, menyentuh kata hati. Kata ibu, di sana semua jawaban akan aku temukan.
Yang dinantikan tiba, dering telepon berbunyi, di layar nampak nama ibu. Tanganku bergerak lebih cepat dari pikiranku, buru-buru kupencet tombol hijau. Suara merdu itu menyapa dari kejauhan. Mendengar satu patah kata darimu saja cukup membuatku merasa lebih tenang. Ada riak api yang bergitu dahsyat lalu padam tiba-tiba.
Aku seperti nelayan yang hendak berlabuh setelah perjalanan panjang. Aku bak bayi yang merindukan selimut di musim dingin, ketika suara ibu menyapa ramah dan lembut.
Keluhanku klise. Tentang sekolah. Tentang pacar. Tentang nilai. Tentang teman. Tentang musuh. Tentang Mowgle, anjing kesayanganku, yang sering buang air besar di mana-mana yang sering membuatku kewalahan. Terlalu sepele, barangkali jika aku bandingkan dengan beban berat yang dipikul ibu.
Aku tahu aku secara tidak sengaja telah meletakkan batu besar di atas pundaknya yang kecil. Aku paham ibu mungkin saja tidak mampu memikul hal kecil sekalipun karena di atas pundak itu ada memar-memar yang sulit sembuh karena terlalu lama menanggung beban. Terlalu banyak.
Dalam pikiranku, jauh dalam pikiranku, aku membaca keinginan ibu bahwa dia pun berharap kasih sayang. Itu saja. Namun ada ego yang besar, yang menjajahku untuk senantiasa mendahulukan beban-bebanku daripada beban-bebannya. Mendorong mulutku untuk berkata apapun daripada mendengar kata-kata ibu.
Ibu, aku nyaman. Maka aku mohon biarkan kenyamanan ini berada di atas ketidaknyamananmu. Aku tahu ibu mencari rasa hangat agar bisa terus melangkah, tapi kepentinganku jauh lebih besar, ibu. Maka dengarkanlah apa yang menjadi keluh kesahku.
Aku bertengkar dengan Rendy, pacarku tadi malam. Kami jadian baru dua bulan tapi dia begitu egois. Ibu, jangan tutup telepon ini dulu. Aku masih ingin bicara dari hati ke hati. Aku merindukan jalan keluar darimu, kata-katamu yang menyejukkan. Aku merindukan suara bidadarimu, sehingga sirna sudah beban-beban dalam kepalaku. Itu saja.
Aku tahu ibu belum makan, saat waktu makan tiba, aku minta ibu menunda dulu. Kadang ceritaku yang terlalu panjang ini menyita semua waktu makan siangmu. Tinggallah ibu dan perut kosongmu untuk melanjutkan perjalananmu mencari materi untukku.
Ibu tolong kali ini dengarkan aku lagi. Aku tidak tahan berhadapan dengan para teman yang selalu mengejek aku miskin. Aku tidak menuntutmu untuk memberikan aku uang yang banyak,.ibu. Aku hanya ingin mengatakan aku tidak tahan, itu saja. Maka hanya dengarkan saja keluhanku, jangan biarkan hatimu mengambil kata-kata yang menyakitkan ini karena aku tahu bebanmu terlalu berat, maka selepas kubercerita, buanglah jauh-jauh energi negatif dariku agar esok hari, damai itu masih ada dalam hatimu, ibu.
Satu lagi tentang pagi yang terlalu dingin, selimut yang tidak tebal dan mulai menipis. Aku sering malas beranjak dari tempat tidur, ingin malas-malasan sepanjang hari. Andai saja ada ibu di sini, aku bisa memintamu untuk melakukan semua untukku. Aku merasa senang meskipun kesenanganku menjajah kesenanganmu.
Ibu, sedikit lagi. Tadi siang ketika melintas di depan butik Meyra, aku melihat sebuah dress hitam dan casual. Aku jatuh cinta pada dress itu. Ibu, aku ingin membelinya, tapi harganya terlalu mahal. Andai aku punya pekerjaan paruh waktu ,bisalah kiranya kubeli dress itu dengan uangku, bukan uangmu.
Setengah jam sudah. Ibu, sekarang waktumu untuk bercerita. Aku mau mendengar tentang suasana kantor, pekerjaanmu atau hari-hari yang engkau hadapi. Dengan tersenyum, seperti biasa kamu berkata, semua baik-baik saja.
Kecupan lembut dari seberang sana mengakhiri. Ada desir angin. Lalu kembali sepi. Aku benci suasana ini. Aku benci ketika sang waktu memberikanku rasa sepi itu lagi. Ada keinginan untuk selalu mendengar suara ibu. Meskipun dari jauh. Karena sepiku akan sirna. Wajah kubenamkan di atas bantal. Aku terisak pelan. Lalu isakku semakin lama semakin pelan. Malam membungkusku dengan mimpi.
Ketika terbangun, dengan segera aku beranjak dari atas kasur. Aku kesiangan. Biasanya aku bangun pukul 5 pagi, ini sudah 30 menit lewat dari pukul 5 pagi. Kenapa tak ada satu suara pun yang membangunkanku?
Segera kubereskan selimut, kasur, dan bergegas menuju dapur. Ada seorang wanita yang nampaknya sudah memulai aktivitasnya sedari pagi tadi. Berdaster merah, berwajah garang, seolah hendak menelanku hidup-hidup. Aku gemetar, aku tahu apa yang menjadi konsekuensi dari bangun kesiangan, tidak ada sarapan pagi dan bekal untuk ke sekolah hari ini.
Dia berkata dengan wajah murka yang tidak dibuat-buat. “Ibu mau kamu cuci piring itu , menyapu halaman rumah, menguras bak mandi!”
“Tapi, Bu, aku akan terlambat ke sekolah jika melakukan itu semua!”
“Hukuman. Karena bangun kesiangan. Hukuman adalah hukuman!”
Aku bergegas menuju kamar mandi, menangis pelan, nyaris tidak terdengar. Sesuai perintahnya, aku bersihkan bak mandi yang penuh jentik itu. Kugosok pelan dan berusaha berdendang tapi tidak mampu, aku lapar, terlalu lapar untuk melakukan pekerjaan ini. Pelan-pelan aku berharap,
“Ibu, telepon aku. Aku membutuhkanmu saat ini, Ibu….Ibu….!” Berulang-ulang kusebutkan nama itu sambil terisak “Ibu…Ibu…”
Namun hanya sunyi. (T)