TERKADANG banyak penulis yang kebingungan dalam menulis huruf pertama dalam tulisanya, hal ini terjadi juga terhadap saya. Hal ini pernah saya alami ketika saya menulis opini kali ini, dalam otak kecil saya sudah terkonsep sebuah pembahasan yang amat terstruktur, tertata, penuh refrensi dan tinggal tulis. Tetapi saat tangan ini menyentuh keybord hanya ada satu paragraph yang bisa tertulis.
Saya coba lagi untuk melanjutkan tulisan itu dengan huruf-huruf serta kalimat-kalimat untuk menyempurnakan tulisan saya. Hasilnya jangan kan satu paragraph, satu kalimat berikutnya tak mampu lahirkan konsep yang sudah matang dalam otak.
Kebingungan inilah yang kadang membuat saya jengkel dan ingin rasanya membanting laptop yang digunakan untuk mengetik. Tetapi logika bodoh berbicara, “Jangan engkau banting laptop itu, karena tulisanmu tidak akan pernah sempurna.”
Mendengar bisikan dari logika bodoh tersebut urunglah niat untuk membanting laptop.
Situasi inilah yang membuat saya tidak nyaman, ekspektasi ingin seperti Kartini yang mengatakan, “Raga dan tubuh bisa dibelenggu tapi biarkan pikiranmu bebas”.
Pikiran ini sudah bebas tetapi ketika tangan ingin mewakili mulut untuk memvisulkan konsep yang ada dalam pikiran. Apakah ini yang disebut mental blok, dimana konsep yang sudah terstruktur, tertatat, penuh refrensi dan tinggal jebret alias eksekusi seketika buyar karena diakibatkan oleh sebuah ide yang tiba-tiba datang yang tak tahu arah datangnya.
Dan ketika ingin menyatukan konsep yang buyar tadi rasanya sangat susah seperti mencium sikut sendiri, dan ahirnya menyerah kehabisan energi karena usaha menyatukan konsep yang buyar akibat keadaan mental block
Tiba-tiba teringatlah otak ini dengan kata-kata Dee Lestari: “Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tidak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang jika ada ruang?”
Mungkin aku disuruh oleh tubuhku untuk mengambil jeda sejenak untuk mengonsep kembali ide yang ada di otak. Mungkin juga aku diminta untuk memberi spasi pada struktur ideku sehingga dapat terbaca. Mungkin aku diharuskan membeli jarak dan ruang agar tulisanku ini dapat rampung dan sempurna.
Kata Suwardi Rasyid alias Bang Onang, seoarang sejarawan yang tinggal dan menetap di bawah Bukit Pulaki mengatakan, menulis adalah sebuah rasa, dimana untuk mendapatkan rasa yang pas pada tulisan kita, kita harus menjadi peka. Latihan menjadi peka itu bisa dilatih dengan rokok..
Ketika tangan sudah memegang sebatang kretek dan api dinyalakan di ujungnya kemudian dihisap perlahan dan dinikmati rasanya, maka kita akan menemukan kepekaan terhadap rasa.
Tapi yang menjadi permasalahan, saya tidak merokok bagaimana saya melatih kepekaan itu, terjadilah dilemma yang cukup dilematis dalam batin. Antara mencoba kretek untuk bisa peka terhadap rasa atau mencari cara lain untuk melatih kepekaan rasa.
Sampai dua teori ini muncul dalam pikiran saya, belum juga konsep apa yang saya ingin tulis tadi kembali utuh seperti konsep semula. Padalah saya sudah berdiri, minum, main hape, balas chat WA untuk menemukan jalan keluar dari mental block yang saya alami.
Saya malah semakin jengkel dengan situasi ini, dan ingin rasanya ku bongkar otak ini untuk aku install kembali agar virus block ini hilang. Sampai opini ini saya kirim saya belum selesai menyusun konsep yang terstruktur, tertata, penuh refrensi dan siap jadi opini menjadi sebuah tulisan. (T)