20 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Warga adat Bali di Baturiti menggotong mayat nenek saya yang warga keturunan saat diantar ke kuburan di Baturiti Tabanan. /Foto: Julio

Warga adat Bali di Baturiti menggotong mayat nenek saya yang warga keturunan saat diantar ke kuburan di Baturiti Tabanan. /Foto: Julio

Di Baturiti, Nenek ke Surga, Diantar Rasa “Bareng Ngayah” Warga Bali dan Keturunan Tionghoa

Julio Saputra by Julio Saputra
February 2, 2018
in Esai
598
SHARES

 

SUATU sore, April 2017, saya sedang mengantuk di kelas saat ikut mata kuliah di Undiksha Singaraja. Tiba-tiba saya menerima sebuah pesan singkat yang sangat menyanyat hati. Pengirimnya ayah saya. Nenek saya, ibunda ayah tercinta, telah berpulang.

Saya langsung terjaga dari kantuk. Tapi tetap tak bisa konsentrasi ikut kulih. Saya ingin cepat bergegas ke kampung halaman saya di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Dan begitu kuliah usai saya langsung meluncur ke kampung. Tentu, karena nenek termasuk satu orang yang sangat saya sayangi, dan dia menyayangi saya juga.

Kesedihan menimpali saya di atas motor, di sepanjang perjalanan pulang.

Di rumah, saya temui dan langsung larut dalam suasana adat persemayaman dan tradisi kematian yang khas etnis Tionghoa. Ya, saya dan tentu juga keluarga saya adalah etnis Tionghoa yang menetap sejak bertahun-tahun di Desa Baturiti.

Sepasang lampion putih sebagai tanda adanya orang yang meninggal telah digantung di depan rumah. Jenasah nenek telah selesai dimandikan dan dikenakan pakaian yang telah dilubangi dengan hio yang menyala, juga telah siap untuk dimasukan ke dalam peti.

Altar untuk persemayaman jenasah nenek disiapkan. Beberapa lilin menyala di dekat foto nenek. Harum dupa yang dibakar tercium memenuhi ruangan. Semua anak-anak dan cucu-cucu, juga beberapa kerabat dan sanak famili nenek menggunakan pakaian serba putih dan topi putih yang terbuat dari kain blacu.

Nuansa upacara persemayaman tersebut sangat kental rasa Tionghoa-nya. Namun tidak demikian suasana yang tampak di luar ruang persemayaman, seperti di halaman rumah dan depan rumah. Tidak ada nuansa Tionghoa sama sekali. Suasana yang terasa justru sama persis seperti suasana pada tradisi serangkaian acara kematian milik orang Hindu Bali.

Di halaman samping rumah, beberapa wanita dewasa yang merupakan krama banjar adat di wilayah Desa Baturiti dan sekitarnya terlihat menggunakan pakaian adat Bali, kebaya dan kamen warna gelap. Mereka membantu mengurus tamu pelayat, semisal menyapa, menyiapkan hidangan, dan lain-lain.

Suasana di dapur seperti dapur orang Bali pada umumnya. Para ibu menyiapkan jamuan untuk para pelayat. Di halaman belakang, banyak pria dewasa krama banjar setempat juga berpakaian adat, dengan baju dan kain warna gelap, membantu membuat tetaring dan sarana lain. Pada malam hari mereka megebagan (berjaga) agar rumah duka tidak sepi sekaligus agar keluarga yang berduka bisa istirahat dan konsentrasi mengikuti ritual.

Saat acara pembakaran jenasah, peti nenek tidak diangkut menggunakan mobil milik sebuah yayasan suka duka pada umumnya, namun digotong oleh krama Bali menuju kuburan yang letaknya 5 kilometer dari rumah saya. Warga etnis Bali dan Tionghoa dengan pakaian khas masing-masing tampak bercampur-aduk dalam sebuah ritual.

Mereka memang mudah dikenali dari pakaiannya. Warga etnis Tionghoa menggunakan pakaian pakaian serba putih, sedangkan warga etnis Bali menggunakan pakaian serba hitam atau warga gelap. Namun ekspresi ketulusan dari wajah-wajah mereka tampak sama. Suara gamelan dari sekaa gong juga ikut menemani perjalanan nenek saya menuju tempat pembakaran di kuburan. Suasana adat Tionghoa dan Bali benar-benar menjadi satu. Mereka bareng-bareng ngayah, mereka ngayah bareng-bareng.

Bukan Hal Baru

Suasana seperti itu bukanlah hal yang baru di Desa Baturiti. Etnis keturunan dan krama Bali di Baturiti memang sudah seperti keluarga sejak lama. Dari sekian ribu jumlah penduduk di Baturiti, sekitar 200 orang di antaranya adalah etnis keturunan Tionghoa, salah satunya adalah keluarga saya sendiri.

Erlina Kang Adiguna, atau yang lebih dikenal dengan Mama Leon, juga merupakan etnis keturunan Tionghoa yang menjadi warga atau penduduk Desa Baturiti. Tahun masuknya etnis keturunan Tionghoa ke Desa Baturiti tidak diketahui secara pasti, namun jalinan antara keduanya diyakini bermula dan semakin erat dengan hadirnya tujuh orang sesepuh dari negeri Cina ke Desa Baturiti.

Mereka tidak membawa bekal apa-apa, namun mereka mewarisi berbagai hal yang bermanfaat di kemudian hari bagi warga etnis Tionghoa yang bermukim di desa itu, seperti cara-cara berdagang, bertani, serta ajaran-ajaran kehidupan yang bijak serta penanaman etos kerja dan lain-lain.

Pergaulan warga etnis Tionghoa di Baturiti makin berkembang setelah didirikannya perkumpulan Tiong Hwa Hwe Tjoe Batoeriti atau Perkumpulan Cing Bing Kongsi Baturiti pada 28 April 1931. Perkumpulan tersebut merupakan perkumpulan yang menghimpun orang-orang Tionghoa di Desa Baturiti dengan tujuan membantu etnis Tionghoa yang meninggal dunia.

Toleransi dan kerukunan etnis keturunan Tionghoa dan krama Bali di Desa Baturiti sudah menjadi budaya tersendiri yang dijaga oleh masyarakat di desa itu, baik oleh masyarakat etnis Tionghoa maupun warga lokal Desa Baturiti. Etnis keturunan Tionghoa selalu mencerminkan sikap toleransi dan kerukunan yang tinggi kepada etnis Bali, begitu pula etnis Bali kepada etnis Tinghoa di Baturiti. Mereka saling terbuka, menghormati dan membantu satu sama lain.

Contohnya pun beragam. Etnis keturunan Tionghoa selalu memberikan sumbangan untuk segala jenis upacara manusia dan keagamaan yang ada di Desa Baturiti, seperti odalan di Pura Desa atau Pura Puseh. Ketika salah seorang etnis Bali memiliki acara kematian, etnis keturunan Tionghoa juga akan ikut melayat dan membantu.

Yang menarik, etnis keturunan Tionghoa juga terdaftar di banjar masing-masing, sehingga saat Hari Raya Nyepi tiba, pemuda-pemudi Tionghoa di Desa Baturiti juga ikut menjadi bagian dari pawai ogoh-ogoh di bawah naungan seka teruna masing-masing.

Jika etnis keturunan Tionghoa memiliki acara, etnis Bali juga akan mengulurkan tangannya memberi bantuan, menyumbangkan pikiran mereka, tenaga, bahkan materi. Contohnya seperti saat acara kematian nenek saya itu. Benar-benar acara adat kematian yang terasa Bali namun sebenarnya Cina.

Abhiseka Buddha Rupang

Contoh lain adalah saat acara Abhiseka Buddha Rupang atau menempatkan patung Buddha dalam ruang dhammasala Vihara Dhammadana, Baturiti ,pada tahun 2011. Acara tersebut sangat besar dan meriah karena melibatkan seluruh umat Buddha di seluruh Bali. Saat itu sikap toleransi dari etnis Bali sangat bisa dilihat. Warga dari empat banjar yang ada di Desa Baturiti turut ngayah.

Mereka membuat 50 penjor yang ditancapkan di sepanjang jalan raya menuju ke Vihara. Ada juga parade 32 gebogan dari ibu-ibu PKK, gamelan gong dari sekeha gong dan tarian rejang dewa dari sekaha teruna di Desa Baturiti. Mereka semua ambil bagian menyambut kedatangan arca Buddha. Suasana Bali dan Buddha juga kuat terasa.

Di hari gembira, seperti pada Hari Raya Galungan bagi umat Hindu dan Imlek bagi warga keturunan, suasana saling berbagi kebahagiaan juga tampak kental. Mereka saling ngejot atau berbagi dan saling hantar makanan satu sama lain.

Misalnya pada hari raya besar Galungan dan Kuningan, etnis Bali akan berbagi makanan khas hari raya tersebut kepada tetangga-tetangga etnis Tionghoa, seperti lawar, sate, babi guling, urutan, tum dan lain-lain. Pada hari raya besar etnis Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, giliran etnis Tionghoa untuk saling berbagi makanan dan jajanan khas Imlek kepada para tetangga etnis Bali, seperti mie panjang umur, kue lapis, kue keranjang, jeruk mandarin dan lain sebagainya.

Masih banyak wujud toleransi dan kerukunan antar etnis Tionghoa dan Bali di Desa Baturiti. Hubungan yang harmonis antara etnis Tionghoa dan umat Buddha Baturiti tentu saja menjadi warisan yang harus dijaga untuk tetap meraih kesejahteraan, kebahagiaan antarumat yang berlandaskan keluhuran budi dan hati.

Lahir, hidup, dan mati, bagi saya dan keluarga, juga bagi keluarga keturunan di Desa Baturiti, adalah ritual biasa yang tak bikin cemas. Lahir di Baturiti, hidup di Baturiti, dan mati di Baturiti, akan dibantu oleh warga Baturiti, apa pun asal-usul etnisnya.

Saya lihat dan rasakan sendiri saat nenek meninggal dan ritual menuju surga. Maka, Selamat Jalan, Nenek. Jika lahir kembali, lahirlah di Baturiti, jadi anak dari warga keturunan Tionghoa atau jadi anak warga Bali, sama saja. (T)

Peserta Anugerah Jurnalisme Warga

Tags: baliBudhahinduTionghoatoleransi
Julio Saputra

Julio Saputra

Mahasiswa jurusan Bahasa Inggris Undiksha, Singaraja. Punya kesukaan menulis status galau di media sosial. Pemain teater yang aktif bergaul di Komunitas Mahima

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Foto: Eka Yasa
Opini

Ajarkan juga Berbisnis, Bukan Hanya Sembahyang

INI adalah komentar seorang teman pebisnis sukses, orang Bali yang tinggal di Amerika  “Orang Bali harusnya ajarkan anak-anaknya berbisnis bukan ...

February 2, 2018
Esai

Tuak Adalah Nyawa: Tetap Macho, Jangan Kacau!

Betul sepertinya, apapun yang ada di dunia ini pasti ada gunanya. Segala ciptaan Tuhan memang seharusnya punya maksud kebaikan. Dalam ...

September 6, 2019
Salah satu tapakan Dewata Nawa Sanga yang simpang di sebuah Pura
Khas

Ngiring Ida Batara Pucak Natar Sari: Perjalanan Spiritual, Bakti Spiritual…

Minggu, tanggal 25 Agustus 2019, perjalanan spiritual itu dimulai lagi. Setelah ngererep satu malam di Pura Puseh di Banjar Adat ...

August 27, 2019
Pemandangan di Subak Ganggangan, Penebel, Tabanan, Bali
Perjalanan

Ketahanan Pangan ala Petani di Alam Subak Ganggangan yang Damai

Tak sengaja, meski kerap terjadi, saya bertemu pengetahuan lokal yang penuh kebijakan. Ini terjadi, mulanya, saya hanya hendak menyatakan akan ...

April 18, 2020
Burdah Mesair - Mekayat Perkumpulan Burdah Mujahidin Kelurahan Loloan Barat
Khas

Mesair-Mekayat, Seni Burdah Loloan yang Hampir Punah

Saat ini seni burdah sudah merupakan hal yang langka dan sangat jarang sekali dipertunjukkan di acara-acara tradisi di guyup bugis ...

October 8, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Gowes di jalur Desa Siakin, Kintamani dan -Desa Les, Tejakula
Khas

Dulu & Kini | Desa Les dan Siakin – Jalan Hutan Terasa Dekat, Jalan Aspal Terasa Jauh

by Nyoman Nadiana
January 19, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ade Mikael Ardhana Ketaren
Esai

Covid-19, Paman Meninggal, Stres dan Meredakan Stres || Cerita Mahasiswa Rantau dari Undiksha

by Ade Mikael Ardhana Ketaren
January 19, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1351) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In