TERIK sang surya menyinari hutan cemara. Burung-burung berkicau menghibur binatang-binatang lainnya yang sedang sibuk mengumpulkan makanan. Para binatang itu mengumpulkan makanannya di sarang mereka masing-masing. Sedangkan, Tikus Tanah sibuk menggali tanah.
“Tikus Tanah, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Semut heran.
“Aku sedang membuat sarang baru, Semut,” jawab Tikus Tanah.
“Oh, gitu. Sarangmu yang dulu, gimana?” ucap Semut.
“Sarangku yang dulu selalu kena bajir ketika musim penghujan tiba. Apalagi, ketika musim penghujan tiba, sarangku selalu ditutupi sampah hingga aku sulit keluar. Makanya, aku pindah dan membuat sarang di hutan cemara ini,” kata Tikus Tanah.
“Jadi karena itu kamu pindah dan membuat sarang baru! Memangnya kamu dulu membuat sarang dimana? Sampai-sampai kamu terkena banjir,” kata Semut penasaran.
“Aku membuat sarang di tempat yang jauh, di tanah dekat tempat tinggal para manusia,” terang Tikus Tanah.
“Pantas sarangmu sering kena banjir. Kamu membuat sarang di tanah dekat tempat tinggal manusia! Tahu tidak, manusia itu lebih jorok daripada kita. Mereka seenaknya saja membuang sampah sembarangan. Mereka tidak sadar kalau sampah juga menyebabkan banjir,” kata Semut.
“Ya sih, benar apa yang kamu katakan, Semut,” sahut Tikus Tanah.
“Ya sudah, selamat datang di hutan cemara yang indah ini. Kalau kamu butuh bantuan, panggil saja aku. Sarangku tidak jauh dari tempatmu ini,” ucap Semut mengakhiri percakapan mereka.
Semut pulang ke sarangnya dengan membawa sebutir biji padi. Tikus Tanah melanjutkan pekerjaannya membuat sarang. Tikus Tanah terus menggali tanah dan membuat ruangan yang luas. “Aku harus mempunyai sarang yang bagus. Aku tidak ingin punya sarang seperti sarang yang dulu.”
Akhirnya, Tikus Tanah selesai membuat sarangnya sendiri. Ia memiliki kamar tidur yang nyaman dan memiliki gudang penyimpan makanan yang luas. “Sekarang tinggal mengumpulkan makanan,” gumam Tikus Tanah.
“Tunggu, mengapa aku selalu diam di sarang yang gelap? Mengapa tidak membuat sarang ini menjadi terang?” pikir Tikus Tanah.
“Ah, aku akan menemui Semut untuk meminta bantuan.” Tikus Tanah meninggalkan sarangnya.
Sampailah Tikus Tanah di depan sarang semut. “Semut, kamu ada di dalam?” panggil Tikus Tanah.
“Ya, Tikus Tanah! Ada apa?” ucap Semut keluar dari sarangnya.
“Semut, kira-kira di mana aku bisa mendapatkan api? Aku mau buat penerangan di dalam sarang,” tanya Tikus Tanah.
“Bukankah kamu sudah terbiasa hidup di sarang yang gelap?” tanya Semut.
“Memang aku sudah terbiasa hidup di dalam sarang yang gelap. Tapi, aku juga ingin merasakan ada cahaya di dalam sarangku,” ungkap Tikus Tanah.
“Oh, ingin merasakan ada cahaya di sarangmu. Ah, aku tahu di mana kamu bisa mendapatkan api.” kata Semut.
“Di mana itu Semut?”
“Pergi saja kamu ke danau di hutan ini. Kamu temui Pak Buaya. Pak Buaya memiliki api di mulutnya. Kamu bisa meminta api itu pada Pak Buaya,” ucap Semut.
“Aku takut, Semut. Bisa-bisa, aku nanti dimakan sama Pak Buaya itu,” protes Tikus Tanah.
“Tenang saja, Tikus Tanah! Pak Buaya tidak akan suka memakan dagingmu. Pak Buaya hanya senang makan buah. Pak Buaya itu sudah berhenti memakan daging,” terang Semut.
“Sejak kapan Pak Buaya tidak suka makan daging? Ah, mungkin Pak Buaya sama sepertiku yang ingin suasana baru,” pikir Tikus Tanah.
“Tikus Tanah, sana temui Pak Buaya!” perintah Semut memecah lamunan Tikus Tanah.
Tikus Tanah pergi meningalkan Semut sendiri. Ia pergi menuju danau tempat tinggal Pak Buaya itu. Sampailah ia di danau. Ia melihat Pak Buaya sedang berjemur. Mulut Pak Buaya menganga terbuka lebar menghadap ke sinar matahari. Ia mendekati Pak Buaya.
“Hai, Pak Buaya!” sapa Tikus Tanah ramah.
“Haa, kamu mengagetkan aku saja. Ada apa, Tikus Tanah? Tumben kamu mengunjungi aku,” ucap Pak Buaya.
“Begini Pak Buaya! Aku datang ingin minta api untuk menerangi sarangku yang gelap. Karena kata si Semut, kamu mempunyai api yang aku butuhkan,” kata Tikus Tanah mengutarakan maksud keinginanya.
“Apaaaaa, kamu ingin minta api denganku?” kata Pak Buaya terheran.
“Ya, Pak Buaya.”
“Hem, sudah terlambat Tikus Tanah. Api sudah kuberikan kepada si Kelinci. Aku tak mau lagi membawa api itu. Kalau terus kubawa api itu, ikan-ikan di danau ini bisa mati kepanasan,” terang Pak Buaya.
“Oh, aku terlambat! Pupus sudah keinginanku menerangi sarangku,” keluh sedih Tikus Tanah.
“Mengapa bersedih, Tikus Tanah? Bukankah kamu bisa meminta api itu pada Kelinci?” Tikus Tanah mendapat harapan.
“Benar juga kata Pak Buaya,” gumam Tikus Tanah.
Buaya memutar tubuhnya. Ia ingin kembali masuk ke dalam danau. Ia merasa sudah cukup berjemur di bawah terik matahari. Apalagi sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan dengan Tikus Tanah.
“Pak Buaya, tunggu dulu! Sebelum Pak Buaya pergi ke dasar danau, aku ingi tanya sesuatu,” pinta Tikus Tanah.
“Mau tanya apalagi, Tikus Tanah? Sudah kujelaskan semuanya,” protes Pak Buaya.
“Aku hanya ingin tahu saja. Kata si Semut, apa benar Pak Buaya tidak makan daging lagi, tapi makan buah?”
“Apaaaaaa? Sini kamu, Tikus Tanah! Aku makan sampai ke tulang-tulangmu. Biar kamu tahu aku masih makan daging,” teriak si Buaya tersinggung.
“Tidakkk, Pak Buaya! Bukan maksudku seperti itu.” Tikus tanah lari terbirit-birit ketakutan.
“Enak saja mengatakan aku makan buah.” Pak Buaya menyelam ke dasar danau. Ia tak lagi menghiraukan Tikus Tanah yang lari ketakutan entah kemana.
Tikus Tanah terengah-engah kehabisan napas sampai di depan sarangnya. Semut pun terheran melihat Tikus Tanah dari kejauhan seperti ketakutan. Semut bergegas menghampiri Tikus Tanah. “Ada apa kamu seperti ketakutan, Tikus Tanah?” tanya Semut.
“Gara-gara kamu, Semut! Aku hampir mau dimakan sama Pak Buaya itu,” ungkap Tikus Tanah terengah-engah kesal.
“Pak Buaya itu baik tidak pernah mau makan siapa pun. Kamu pasti melakukan sesuatu yang menyinggung pak Buaya,” ucap Semut tak percaya.
“Memang Pak Buaya ramah dan baik. Tapi, ketika aku bertanya mengapa buaya suka makan buah dan tidak lagi makan daging, Buaya marah dan ingin memakanku,” cerita Tikus Tanah.
Mendengar cerita Tikus Tanah, Semut tertawa terbahak-bahak. Sampai air mata semut bercucuran karena tertawanya yang begitu lepas. “Ya jelas Pak Buaya tersinggung kamu menanyakan itu. Aku mengatakan buaya tidak suka makan daging, tapi makan buah agar kamu tidak takut menemuai Pak Buaya. Karena sebenarnya, Pak Buaya itu baik,” kata Semut yang mulai bisa menahan tawanya.
“Jadi, kamu bohongi aku, Semut?” tanya Tikus Tanah suaranya meninggi.
“Ya, aku bohongi kamu. Kalau aku tidak bohong, mana mungkin kamu berani menemui Pak Buaya,” kata Semut melanjutkan tawanya.
“Tidak. Aku tetap berani menemui Pak Buaya walaupun kamu berkata jujur,” kata Tikus Tanah menunjukkan keberaniannya. Tapi, dalam pikiran Tikus Tanah, ia sangat takut dan tak akan pernah berani menemui Pak Buaya kalau dari awal tahu itu.
“Sudahlah Tikus Tanah, tak usah cemberut gitu! Maaf, bukan maksudku begitu. coba ceritakan, apa kamu sudah mendapatkan apinya?” rayu Semut.
“Belum, Semut. Apinya Pak Buaya sudah diberikan kepada Kelinci. Aku disarankan minta api itu pada Kelinci” kata Tikus Tanah.
“Ah, kamu semakin sulit sekarang mendapatkan api itu.”
“Mengapa bisa begitu?” tanya Tikus Tanah
“Karena, Kelinci sangat menyayangi benda-benda yang dimilikinya. Saking sayangnya, Kelinci tidak akan membiarkan benda-bendanya disentuh siapapun,” ucap Semut menghela napasnya.
“Ah, aku tak percaya. Kamu pasti bohong agar aku tidak berharap pada api itu,” protes Tikus Tanah tak percaya.
“Aku serius, Tikus Tanah.”
“Kamu pasti bohong,” ucap Tikus tak lagi menghiraukan perkataan Semut. Lantas Tikus Tanah pergi berkunjung ke sarang Kelinci. Dilihatnya Kelinci sedang sibuk memanen wortel di kebunnya.
“Wow, subur sekali kebun wortelmu, Kelinci!” ucap Tikus Tanah mengaget Kelinci yang asik mencabuti wortelnya. Sontak Kelinci lari masuk ke sarangnya dan mengunci pintu rapat-rapat.
“Kelinci, aku datang ke sini bukan bermaksud jahat.”
“Tapi, ada apa kamu jauh-jauh datang ke sini?” ucap Kelinci meletakkan keranjang gendongnya yang penuh berisi wortel.
“Aku ke sini hanya berkunjung. Aku hanya ingin melihat-lihat benda kesayanganmu. Dengar-dengar dari Semut, kamu banyak memilki benda-benda yang cantik dan indah. Boleh aku masuk ke sarangmu untuk lihat-lihat?” ucap Tikus Tanah berdiri di depan pintu sarang Kelinci.
“Memang, semua yang kumiliki adalah benda yang cantik indah.” Kelinci membanggakan diri.
“Kalau gitu, biarkan aku masuk melihat-lihatnya! Apa benar benda-benda yang kamu miliki seindah aku dengar? Aku mohon!” pinta Tikus Tanah.
Mendengar perkataan Tikus Tanah, Kelinci merasa ingin membuktikan bahwa benda-benda yang dimilikinya memang cantik. Tapi, Kelinci ragu memperlihatkannya. Kelinci takut benda-benda miliknya dicuri atau diminta.
“Benar, Kamu hanya lihat-lihat saja? Tidak berniat yang lain?” tanya Kelinci meyakinkan keraguannya.
“Ya Kelinci. aku hanya lihat-lihat saja.”
Kelinci membuka pintu dan mempersilahkan Tikus Tanah masuk untuk melihat-lihat. Tikus merasa senang diberikan kesempatan masuk ke sarang Kelinci. Tikus Tanah kagum melihat lilin besar dengan cahaya api yang memenuhi ruangan sarang Kelinci.
Tapi, mata Kelinci tak berkedip sedikit pun memperhatikan gerak-gerik Tikus Tanah. Kelinci tak ingin sedikit pun benda-benda miliknya bergeser dari tempatnya. Kelinci tak mau lengah.
“Wow, cahaya api lilinnya begitu cantik,” puji Tikus Tanah.
“Aku juga mengagumi cahaya api ini. Ini adalah hadiah terbaik dari Pak Buaya,” ucap Kelinci sependapat.
“Boleh tidak, aku minta sedikit api itu agar sarang yang gelap bercahaya?” celetuk iseng Tikus Tanah.
“Itu kan! Kecurigaanku benar! Kamu datang ke tempatku karena ada maumu. Aku tidak akan biarkan siapapun yang menyentuh barang-barangku,” suara Kelinci meninggi.
Seketika itu, Kelinci menarik tangan Tikus Tanah keluar ruangan. “Pulang saja kamu, Tikus Tanah! Aku tidak akan pernah memberikan api itu padamu,” ucap Kelinci ketus. Kelinci menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat. Kelinci berharap tidak ada lagi yang menginginkan api kesayangannya itu.
Tikus Tanah pun pergi tanpa membawa api yang diinginkannya. Ia hanya bisa bersedih karena sudah tidak memiliki harapan mendapatkan api itu. “Benar apa yang dikatakan oleh Semut. Kelinci sangat sayang dengan benda-benda miliknya,” gumam Tikus Tanah.
“Sudah kukatakan, kamu pasti tidak dapat api itu,” sapa Semut melihat Tikus Tanah yang cemberut.
Tikus Tanah hanya bisa mengangguk lesu tak menghiraukan perkataan Semut. “Ah, aku pulang saja ke sarang gelapku,” ucap sedih Tikus Tanah.
“Pinjam aja apinya kelinci diam-diam,” ucap Tupai asyik makan manga di atas pohon mangga.
“Meminjam diam-diam, mencuri namanya!”
“Tapi, siapa itu bicara?” Tikus Tanah bingung mencari sumber suara.
“Itu Tupai yang berbicara dari atas pohon,” kata Semut menunjuk Tupai.
“Oh, kamu Tupai yang bicara. Mana mungkin aku mencuri karena ingin punya api itu. Lebih baik aku gelap-gelapan saja,” tolak Tikus Tanah
“Aku tidak meminta mencurinya, tetapi kamu hanya meminjamnya sedikit tanpa pengetahuan kelinci. Toh, Kelinci tidak akan tahu kalau api miliknya dipinjam. Sebab, api itu tidak akan berkurang walaupun ambil sedikit,” terang Tupai.
“Bagaimana caranya? Kelinci selalu menjaganya dengan baik,” tanya Tikus Tanah.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya. Kamu tahu kesukaan Kelinci,” ucap Tupai pergi meninggalkan mereka berdua berpikir cara mendekati Kelinci.
“Bagaimana kalau kamu pura-pura ingin menunjukkan gelas dan piring antikmu? Lalu, kamu minta bantuan apa saja agar perhatian Kelinci teralihkan. Baru kamu pinjam api itu dengan lilin yang kamu punya,” saran Semut.
“Benar juga katamu, Semut!”
Tikus Tanah mengambil piring dan gelas antiknya. Ia kembali menemui Kelinci. Awalnya Kelinci curiga pada Tikus Tanah. Tapi, ketika dilihatnya Tikus Tanah membawa piring dan gelas antik, Kelinci lupa akan kecurigaannya. Kelinci hanya tertarik pada piring dan gelas antik itu. Tikus Tanah pun diperbolehkan masuk ke sarangnya Kelinci.
“Aku hanya mendengar pendapatmu, apakah piring dan gelas antikku benar-benar cantik?” ucap Tikus Tanah serius.
“Ya, bener piring dan gelas antikmu ini sangat cantik. Tapi, tetap saja lebih cantik cahaya apiku,” kata Kelinci.
Tikus Tanah hanya mengangguk saja tanpa menanggapi perkataan Kelinci. Sebab, Tikus Tanah sedang berpikir keras mencari alasan agar meminjam api itu diam-diam. Sedangkan, Kelinci masih berada di sebelah api lilin besarnya memperhatikan piring dan gelas antik yang masih dipegang erat oleh Tikus Tanah.
“Ah, aku haus Kelinci! Aku jadi ingin minum jus. Bolehkah aku minta minuman jus?” ucap Tikus Tanah berharap Kelinci mau membuatnya.
“Aku tidak punya buah, tetapi hanya punya wortel. Kamu mau minum jus wortel,” kata Kelinci menawarkan.
“Ya, aku mau. Pasti enak itu,” ucap Tikus Tanah sumringah.
Kelinci pergi ke dapur memeras wortel membuat jus. Melihat Kelinci sedang sibuk membuat jus di dapur, Tikus Tanah bergas mengeluarkan lilinnya. Lalu, Tikus Tanah mendekatkan lilinnya ke api lilin besar milik Kelinci. Api itu pun menyala di lilin milik Tikus Tanah.
“Wow, api di lilin besar ini tidak berkurang dan tetap utuh seperti semula,” pikir Tikus Tanah.
Tikus Tanah meletakkan lilinya yang sudah menyala itu di atas piring dan menutupnya dengan gelas antiknya. Kemudian, Tikus Tanah membungkusnya dengan kain hitam yang disiapkannya. Tidak ingin ada yang melihatnya membawa api dari sarang Kelinci. Lantas diam-diam Tikus Tanah segera pergi.
“Lah, ke mana Tikus Tanah? Aku capek-capek minuman ini malah pulang,” keluh Kelinci. Kelinci pun kembali pergi dapur dan melatakan minuman yang sudah dibuatnya.
“Jangan-jangan Tikus Tanah sudah mengambil barang kesayanganku,” gumam Kelinci. Kelinci memeriksa semua barangnya, tetapi tidak ada satupun yang hilang. Semua masih tetap berada di tempatnya. Api lilin besarnya juga masih utuh.
“Ah, mungkin Tikus Tanah takut aku meminta piring dan gelas antiknya. Makanya, Tikus Tanah pergi diam-diam ketika aku sedang sibuk di dapur. Seharusnya Tikus Tanah tidak pergi karena aku tidak meminta miliknya itu,” pikir Kelinci.
Sedangkan, Tikus Tanah sudah sampai di sarangnya. Perlahan-lahan Tikus Tanah membuka api lilin yang dibukusnya itu. Ternyata apinya tidak ada, tetapi hanya meninggalkan asap.
“Tidak mungkin ini terjadi. Jelas-jelas api sudah ada di lilinku ini,” teriak Tikus Tanah membanting lilinnya.
Semut kaget mendengar suatu teriakan. “Itu seperti teriakan Tikus Tanah. Mungkin Tikus Tanah sudah pulang,” pikir Semut. Semut pun pergi ke sarang Tikus Tanah. Sebab, Semut penasaran apa yang terjadi dengan Tikus Tanah.
“Ada apa Tikus Tanah? Sepertinya aku denga kamu berteriak,” tanya Semut.
“Aku lagi kesal. Aku sudah meminjam api Kelinci. Aku letakkan di atas piring dan tak tutup dengan gelas antik ini. Kemudian aku bungkus dengan kain hitam agar tidak ada yang tahu,” cerita Tikus Tanah.
Semut hanya menahan tawanya mendengar cerita Tikus Tanah. Semut tidak ingin lagi menambah kekesalan Tikus Tanah. “Sudahlah Tikus Tanah! Relakan saja, kamu tidak bisa memiliki api itu. Kamu melakukan sedikit kesalahan karena menutup api di lilinmu dengan gelas antik ini. Ketika ditutup, api di lilinmu itu pun mati karena tidak mendapatkan udara,” ucap lembut Semut.
“Api itu kok seperti kita bernapas memerlukan udara untuk hidup.”
“Ya Tikus Tanah. Api perlu makan dan udara seperti kita agar tetap menyala. Tapi, api bukan makhluk hidup seperti kita,” kata Semut menjelaskan.
Sudahlah! Aku mau istirahat sekarang! Biarlah aku tidur di sarang gelap ini saja!” ucap Tikus Tanah sedih.
Mereka pun tak lagi membicarakan tentang api itu. Tikus Tanah kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Begitu juga dengan Semut tetap menyemangati Tikus Tanah. Kini, mereka hanya menikmati kesejukan hutan cemara. (T)