25 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan
Rima Febriana memainkan naskah Kartini di SMAN 1 Banjar. /Foto-foto: Kardian Narayana

Rima Febriana memainkan naskah Kartini di SMAN 1 Banjar. /Foto-foto: Kardian Narayana

Monolog “Kartini” dan “Guru” pada Malam Sehabis Hujan di SMAN 1 Banjar

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
February 2, 2018
in Ulasan
335
SHARES

BEGITU masuk Desa Banyuatis di Kecamatan Banjar, Buleleng, pada malam Sabtu, 22 April 2017, hati kami (saya, istri dan dua anak) merasa lega. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari Kota Singaraja, melewati Seririt, pada malam yang dingin sehabis hujan, kami tiba di dekat lokasi pementasan monolog serangkaian “Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya” di SMAN 1 Banjar, sebuah tempat di punggung perbukitan.

Kami masuk jalan agak kecil menuju sekolah. Di sebuah tikungan kami melihat sejumlah pecalang dan orang lalu lalang, amat ramai. Setengah jalan dipenuhi parkir mobil dan sepeda motor. Kami kesulitan untuk lewat.

“Wah, hebat. Segini banyak orang nonton monolog?” pikirku.

Kami berpikir, kami sudah tiba di lokasi pementasan. Ternyata belum. Keramaian yang kami temui itu ternyata turnamen bola voli antar kampung. Kepada pecalang kami bertanya, di mana SMAN 1 Banjar, dan pecalang memberi tahu: “Lurus, Pak. Terus saja ke bawah, nanti ada jalan kecil belok kanan menuju sekolah!”

Kami terus. Setelah melalui tikungan yang menurun kutemui plang nama sekolah. Kami belok kanan, masuk jalan lurus di kanan-kiri mungkin sawah, mungkin kebun, mungkin hanya tanah kosong. Tak jelas terlihat pada malam itu.

Kami parkir, dan langsung menuju halaman sekolah. Di situ ada sebuah stage terbuka dengan backdrop gambar mencolok lambang sekolah. Sungguh, kami disergap perasaan aneh: tiba di sebuah sekolah di sebuah desa, pada malam hari, sehabis hujan. Bukan untuk belajar, bukan untuk mengajar, tapi menonton pementasan monolog. Halaman masih terasa basah.

Di panggung terbuka seorang siswa perempuan, seorang guru perempuan, dan seorang guru laki-laki, secara bergiliran mementaskan monolog yang semuanya karya Putu Wijaya. Di halaman kursi berjajar. Abak-anak sekolah duduk di atasnya, memandang dengan setia, seperti memandang guru yang sedang mengajar di depan kelas. Mereka kadang tertawa, bisik-bisik, kadang di bagian belakang ada ribut kecil.

Intan Purnama Dewi, siswa perempuan itu, memainkan naskah monolog Kartini 1. Di sela udara dingin ia begitu percaya diri memainkan peran seorang ayah, ibu dan anak perempuan bernama Ana. Kisahnya tak jauh-jauh dari tradisi sekolahan, perayaan Hari Kartini.

Intan Purnama Dewi memainkan naskah monolog Kartini

Saat perayaan, Ayah melarang anaknya ikut-ikutan merayakan Hari Kartini. Dengan dibantu topeng untuk peran Ibu dan Ana, Intan Purnama Dewi terlihat menguasai cerita, permainan kata-kata, dan karakter tokoh dengan baik. Meski tata lampunya sederhana, kostum pun amat sederhana, siswa perempuan yang pentas pertama itu tampak berhasil membuat penonton (yang sebagian besar teman-temannya sendiri) kehilangan rasa dingin sehabis hujan.

Suasana terasa makin hangat ketika seorang guru Rima Febriana, S.Sn., naik panggung dengan naskah Kartini 2. Guru pengajar kesenian itu memakai pola akting gerak tari, karena ia memang seorang penari yang baik.  Rima memainkan dengan apik tokoh anak, ayah dan ibu.

Setiap tokoh diberikan gerak berbeda oleh Rima. Sesekali ia membuat gerakan pose mimik beberapa detik sehingga kelucuan ekspresi tokohnya memberi hiburan komikal pada penonton. Penonton beberapa kali tertawa, sehingga hujan yang sempat mengguyur halaman asri sekolah itu pun sudah terlupakan.

Monolog ketiga naik panggunglah Gde Seen, seorang guru yang selama ini dikenals ebagai filmmasker. Ia memainkan naskah “Guru”. Dibantu figuran anak dan ibu, Gde Seen  berhasil dengan baik memerankan tokoh ayah yang menghasut anaknya agar jangan bercita-cita jadi guru.

Gde Seen memainkan monolog Guru

Gde Seen tanpaknya tak banyak mengolah akting. Ia seakan bermaian seperti dirinya sendiri dengan apa adanya. Justru karena itu, karakter ayah yang dimainkan menjadi sangat wajar, orisinal, dan alami.

Dengan gaya yang sungguh tak dibuat-buat ia dengan logat khas seorang ayah melontarkan ejekan-ejekan terhadap guru yang tak akan pernah kaya. Kata-kata yang meluncur secara natural itu cukup membuat penonton hanyut dalam pementasan, tergelitik dan kadang tertawa ngakak.

Putu Satria Kusuma, dramawan penggagas festival itu, mengatakan penampilan tiga monolog dari SMAN 1 Banjar ini patut dipuji habis. Kesungguhan penyelenggaraan, kehadiran penonton yang cukup banyak, dan dukungan guru-guru adalah awal yang bagus untuk kembali menghidupan seni teater dan apresiasi sastra sekolah yang belakangan mulai melempem. (T/bantuan data Putu Satria)

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaguruMonologsekolahseni pertunjukanTeater
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Foto: Mursal Buyung
Opini

Pancasila di Tanah Dewata dan Bali yang Tak Akan ke Mana-mana…

BAGI masyarakat adat atau pakraman di Bali, tanah (baca: pertiwi atau wewidangan) itu “berjiwa”. Karena “berjiwa”, maka tanah diyakini memiliki ...

February 2, 2018
Ilustrasi tatkala.co | Nana Partha
Esai

Revolusi Tidur

Mangan Koyo Ratu, Turu Koyo Asu (Makan Bagai Raja, Tidur Bak Seekor Anjing) -Tulisan di belakang truk jalur Denpasar-Gilimanuk Hal ...

June 5, 2020
Opini

Melulu Diskusi Soal Fashion, Pacar dan Uang – Mahasiswa Jangan Melacurkan Idealisme

MAHASISWA kaum intelektual dari akademisi yang unggul terdidik kristis yang mempunyai segudang ilmu pengetahuan untuk selalu menjadi garda terdepan dalam ...

February 2, 2018
Wulan Dewi Saraswati, pegang mik
Esai

Menghadapi Hiruk Pikuk Modernitas dalam Novel “Romansa Lagu” dan Antologi Cerpen “Ketika Hati Bersuara”

Hiruk pikuk modernitas menjadi isnpirasi bagi penulis-penulis muda Bali. Dampak dari tajamnya laju modernitas ini menimbulkan rasa cemas, khawatir, krisis ...

November 10, 2019
Sugi Lanus
Esai

Kenapa Setiap Keluar Bali Disebut ke Jawa? – Catatan Harian Sugi Lanus

/1/ Selama ini masyarakat Bali, khususnya anak-anak yang lahir setelah kemerdekaan, bertanya kenapa semua yang datang dari luar Bali disebut ...

October 14, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Lambang Garuda Pancasila Logam buatan tim pengrajin di Nursih Basuki Art Studio, Kotagede Yogyakarta
Khas

Kerajinan Logam Kotagede: Masa Lalu dan Masa Kini

by Luki Antoro
February 24, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

CITRAWILĀPA | Dari Sastra Kawi ke Jajanan Pasar Jawa

by Sugi Lanus
February 24, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1409) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (339) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In