BIASANYA aku bukan orang yang mudah terbujuk. Tapi kali ini kuakui, aku terbujuk dengan mudah.
Sekembalinya kawan-kawan ke perkemahan Paltuding Gunung Ijen, tiba-tiba Iwan mengeluarkan rencana untuk melanjutkan perjalanan ke Teluk Hijau, masih di kawasan Banyuwangi. Mumpung di Banyuwangi, pikirnya. Tusan, menyetujui. Aku pun terbujuk mendengar kondisi pantai yang katanya idilik dan jauh dari keramaian.
Selain itu, aku tak punya pilihan karena berboncengan dengan Tusan. Gede, Gorby dan Redy agak ragu. Selain perjalanan yang katanya lumayan jauh, kondisi fisik yang lagi lelah tentunya menjadi pertimbangan mereka.
Perdebatan tak bisa dihindari. Namun mereka setuju. Walapun menggerutu.
Ternyata, Teluk Hijau ini jauhnya minta ampun. Aku dan kawan-kawan melewati banyak desa, sungai-sungai yang berwarna cokelat, kebun karet, kebun mahoni, kebun jagung, jalan aspal hingga jalan berbatu. Aduh. Entah kemana aku ini, pikirku dalam hati. Redy malah sudah mulai kesal. Gorby terlihat sangat lelah. Pada titik itu, aku pun sadar bahwa ketidaktahuan memang sangat berbahaya. Jika saja banyak yang tahu bahwa menuju Teluk Hijau akan sejauh itu, tentu banyak yang tidak ikut.
Tapi aku memutuskan untuk bawa senang saja. Gila saja. Tiga jam perjalanan jika dibawa kesal ya capek sendiri.
Setelah tiga jam perjalanan melewati jalan berliku dan perkebunan yang luar biasa luasnya, kami pun memasuki kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Waduh. Sampai harus masuk kawasan taman nasional segala. Pantas saja, jalan yang tadinya mulus jadi berbatu. Tusan menggiring kami ke rumah kenalannya. Aku lupa nama bapak itu. Yang jelas, kami disambut ramah. Tuan rumah mempunyai kucing yang lucu sekali, jadi kusempatkan bermain dengan kucing itu sambil mengobrol sebentar. Kuperhatikan kondisi teman-teman yang lain. Redy tampak sangat kesal. Gorby dan Made tak bisa menyembunyikan kelelahannya. Hanya aku, Iwan dan Tusan yang masih bersemangat.
Perjalanan belum berakhir. Kami harus masuk lebih dalam lagi ke taman nasional, melewati jalan rusak dan belukar. Kali ini Gede memilih tidak ikut. Dia akan menunggu di rumah singgah. Tanpa membuang waktu lagi, segera kami menembus hutan. Sudah jauh-jauh sampai masuk taman nasional segala, masak malah batal?
Tiba di parkiran, aku melihat beberapa petugas taman nasional yang berjaga di sebuah bale-bale. Tampak juga beberapa sepeda motor yang terparkir, berarti masih ada juga pengunjung yang ‘gila’ seperti kami. Haha. Sementara, dari ketinggian tempat parkir, bisa kulihat Samudra Hindia tampak keperakan ditimpa sinar matahari. Debur ombak juga terdengar sayup-sayup. Waktu masih sekitar jam empat sore, tak kubiarkan semangatku surut. Aku mengobrol dengan petugas taman nasional yang berjaga disana. Katanya, dari parkiran, masih harus turun sekitar setengah jam untuk mencapai Teluk Hijau. Wow. It’s another adventure!
Bersama Iwan, aku langsung turun menuju Teluk Hijau melewati hutan hujan tropis yang sangat rindang. Tusan dan Gorby menyusul. Di pepohonan, tampak beberapa lutung yang melompat dari satu pohon ke pohon lain. Ini seperti film Anaconda, pikirku, kecuali ini tanpa ular (kuharap tidak bertemu ular). Sepanjang perjalanan turun, aku dan Iwan tak berbicara. Kami berkonsentrasi dengan hela nafas dan jalan setapak yang makin menukik turun. Di beberapa bagian jalan, ada tali tambang khusus untuk tempat berpegang. Tali itu terlihat tak meyakinkan, apalagi terlihat simpul-simpulnya sudah mulai kendor. Kalau kupegang, mungkin bisa jadi malah aku yang terlempar ke jurang.
Di depan, Iwan tiba-tiba tak terlihat lagi. Sial. Orang itu pastilah berlari. Aku benar-benar sendiri di tengah belantara asing ini. Entah mengapa aku merasa ada mata yang mengintaiku. Itu paling perasaanku saja, tapi cukup membuatku waswas. Aku berderap setengah berlari, kemudian kupanggil Iwan, setengah berteriak. Namun dia tak menyahut. Daun-daun berkeresak, tampak bergoyang. Bayang-bayang pepohonan tampak seperti tengkorak. Beberapa lutung terlihat mengawasiku dari balik dedaunan. Jika ini di film, mungkin aku sudah diserang lutung itu. Aku harus cepat. Kupanggil Iwan lagi, untunglah kali ini dia menyahut. Segera kususul orang itu.
Jalan setapak ini berujung pada Pantai Batu, masih dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Sesuai namanya, pantai ini dipenuhi batu berbagai ukuran. Menurutku, tak ada yang istimewa di pantai ini, kecuali lautnya yang sangat biru. Kulihat beberapa orang tengah menikmati pemandangan Pantai Batu, yang menurutku agak aneh. Apa yang mau dilihat sih di pantai ini? Kecuali kalau kau penggemar batu, ya mungkin saja kau akan menyukai tempat ini. Selebihnya, ordinary.
Dari Pantai Batu, kami berjalan kembali sekitar lima menit ke arah barat menyusuri pantai dan masuk hutan (lagi) untuk mencapai Teluk Hijau. Aduh. Ini teluk memang terlalu jauh jika dicapai dalam satu sore. Seharusnya, kita berangkat pagi. Aku mungkin sudah di rumah tertidur lelap jika saja tidak mengikuti ajakan Iwan ke Teluk Hijau. Pantai ini harus bagus, pikirku. Kalau tidak, percumalah menempuh 93 km dari Banyuwangi. Rugi bensin dan tenaga juga kan.
Setelah berjalan beberapa saat, sampailah kita di Teluk Hijau. Pantai ini memang sangat bagus; ombaknya besar, pasirnya putih halus, airnya bening dan hijau toska, ditambah air terjun di pojok pantai yang airnya langsung menuju pantai. Benar-benar surga tersembunyi. Di Bali memang banyak pantai bagus, tapi Teluk Hijau ini sangat eksepsional karena air terjunnya. Ini luar biasa. Jarang aku dapat paket lengkap; pantai sekaligus air terjun. Rasa lelah sudah menghilang.
Setengah berlari, aku menyusul Iwan yang sudah lebih dulu menuju air terjun. Kami memutuskan untuk mandi, sekalian menghilangkan penat akibat perjalanan tadi. Hitung-hitung relaksasi sedikit lah, sebelum melanjutkan perjalanan balik ke Bali. Selang beberapa menit, Tusan dan Gorby menyusul. Untunglah Tusan bawa kamera. Jadi momen di Teluk Hijau bisa diabadikan. Suasana sangat damai sekali. Kupikir berkemah di tempat ini akan sangat bagus. Selain pemandangannya yang bagus, air bersih juga tersedia.
Karena hari sudah menjelang sore, kami pun balik. Dua jam di Teluk Hijau cukup lah. Lain kali mungkin kami akan kembali, berkemah tentunya. Di sepanjang perjalanan balik, kulihat matahari mulai redup, pantai pun kehilangan birunya. Rasanya enggan meninggalkan tempat ini. Jika saja aku punya waktu lebih dan persediaan yang memadai, tentunya aku ingin tinggal di sini. Tapi kami harus pulang. Redy dan Gede sudah menunggu. (T)