30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Cinta, Kutukan, dan Karam

Kadek Desi NuranibyKadek Desi Nurani
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

40
SHARES

Cerpen: Ni Kadek Desi Nurani Sari

Perempuan itu kembali mencoba duduk dan berusaha menenangkan dirinya. Kembali ia harus menghadap jendela, mengarah pada dirinya, tiga pasang kaca jendela kosong. Tetapi perempuan itu bergumam dengan cara berbeda setiap kali menghadap dari satu kaca ke kaca lainnya.

Sungguh drama, dengan pakaian tidur seadaanya perempuan itu menerawang jauh, suara burung yang ramah menegur dari beranda rumah tak ia hiraukan. Dengan rambut sebagian terikat dan beberapa helai darinya menutupi mata, gadis usia kurang lebih dua puluh tiga tahun itu berjalan pelan mendekati ketiga kaca jendela satu persatu.

Sesekali ia tertawa, sesekali ia meringkik bersama tangisnya, dan sesekali ia seperti memaki. Suaranya tak terdengar. Memandangnya dari jauh seperti pertunjukan dalam botol kaca yang tak satupun bisa kita tangkap setiap kalimat dan lengkin suaranya. Perempuan itu rebah kembali pada kasurnya yang penuh potongan-potongan kertas warna.

Tepat sebelum hari genap malam, perempuan itu membuka pintu kamar dan seorang lelaki tengah duduk pada salah satu kursi di beranda kamarnya. Lelaki itu, tampak dingin namun berusaha menjadi hangat dengan sebatang rokok di tangan yang dihisapnya sebelum gadis itu muncul menemuinya.

Tak begitu peduli dengan pakaian tidur yang dikenakannya setengah terbuka. Perempuan itu melangkah duduk pada kursi satunya yang memberi mereka kesempatan saling bertatapan. Tajam dan dalam.

“Kita akan mulai dari mana?” Lelaki di hadapannya menghentikan hisapan rokoknya.

Perempuan itu memalingkan wajah, dengan gerakan lebih cepat kakinya segera ia naikkan dan ia tumpu di atas meja. “Dari manapun yang menjadi tujuan kita. itu akan lebih mudah.”

Itu Astuti, gadis lugu yang kukenal semasa kecil. Kami tumbuh bersama dalam satu kampung halaman yang kecil untuk sebuah desa. Ia tak begitu periang, masa kecilnya yang sunyi ia lalui dengan biasa-biasa bersama keluarga dari ayahnya.

Perceraian kedua orangtuanya sejak ia dilahirkan tak memberinya kesempatan untuk memilih. Kkeluarga ayah atau ibunya tinggal berseberangan jalan kecil di desa. Hubungan keseharian mereka sangat canggung, mencoba menjadi baik-baik saja, namun ego memberi mereka jarak yang jauh lrbih lebar untuk bisa menjalin hubungan yang baik.

Kami menghabiskan hampir setiap hari bersama, di sekolah dasar, tempat bermain, piodalan di pura, bangku sekolah menengah. Kami mulai jarang berbicara, ataupun bertemu setelah menginjak bangku sekolah menengah pertama. Keluargaku mulai berpindah-pindah tempat tinggal, menjauh dari perkampungan.

Ia, Astuti, setelah tamat sekolah menengah pertama juga mulai memilih sekolah berbeda denganku. Tentu kami menjadi sangat jarang bertemu atau mengetahui kabar masing-masing.

Tiga tahun berlalu, kini ia menjadi salah satu mahasiswa perguruan tinggi di kota kecil kami. Sebentar lagi akan menjadi calon sarjana cetakan kesekian yang jika untung akan bisa jadi guru kontrak dengan gaji sebulan sebesar uang sakunya seminggu. Ia tak terlalu dikenal, tapi cukup banyak dibicarakan orang-orang.

Namanya mulai tenar sejak ia berangkat dari satu panggung ke panggung lainnya sebagai penari. Dari hotel ke hotel, panggung-panggung pesta rakyat, hingga kemarin namanya kubaca di sebuah surat kabar yang membicarakan bakatnya sebagai wanita muda yang berbakat dan menginspirasi. Sedikit demi sedikit semua orang mulai tak asing dengan namanya, dengan wajahnya.

Tentu saja, ia bukannya tak menyadari dirinya mulai dikenal banyak orang. namun demikian, ia berusaha tetap menjaga agar ia tak nampak terlalu berbahagia lantaran ia menjadi primadona dari satu kota ke kota lainnya. Tapi lamat-laun, ia mulai jarang muncul di hadapan banyak orang.

Kabar yang beredar ia mencoba pergi dari atas pentas. Segala macam tetek bengek yang ada hubungannya dengan penonton dan pengagumnya ia tinggalkan. Alasannya klise. Lelaki yang dicintainya lebih suka ia jadi patung lilin di dalam kamar. Bisa dibentuk sesuka hati.

Pada waktunya ia hanya boleh menjadi cahaya kecil untuk ranjang kekasihnya. Habis gelap, ia akan diam dalam kamar, menunggu waktunya ia punya kesempatan menunjukan diri bahwa ia memiliki cahaya lebih besar. Begitu kurang lebih gosip murahan orang kampung membicarakannya.

Kini ia muncul lagi, tepat di hadapanku. Ia datang mengetuk pintu rumahku. Rumah masa kecilku, tempat kami menghabiskan hari-hari bermain bersama, menghabiskan waktu untuk bermain sandiwara menjadi seorang ibu atau menjadi hantu-hantu dan peri-perian.

Tanpa riasan wajah, rambutnya yang tidak tertata, baju yang seadanya. Masih sama seperti saat aku melihat ia bersama lelaki di beranda rumahnya. Ia memelukku erat, matanya yang sembab direndam airmata yang juga membasahi dadaku.

Aku tak ingin memeulai pembicaraan di depan pintu rumah. Astuti kuajak masuk, kami duduk bersama di teras dalam rumah. Ia memulai bicara, mengusap air matanya dengan segera dan memunculkan satu dua tawa ringan sambil menatap ke arah wajahku. Kami berbalas tawa dan saling memeluk. Percakapan sederhana seperti bagaimana kabarku atau kabarnya, mengenang bagaimana usangnya rumah tempat kami duduk sekarang ditinggalkan banyak kenangan yang menggelikan tetapi menyenangkan sekali.

Ia mengatakan, kini semua telah menjadi dewasa, tidak lagi hanya memikirkan masalah isi perut atau puasnya waktu yang kami habiskan untuk bermain, menghabiskan teguran orang-orang tua yang memanggil kami, mengingatkan untuk segera mandi, pulang segera mengerjakan tugas rumah.

“Sukakah kau pada kisah Mahabharata? Tahukah kau perempuan yang menebus perkataannya sendiri dengan kelima suami yang dinikahinya? Katakan padaku, jika Drupadi bisa tidur berganti setiap malam pada setiap lelakinya, menjadi istri dari kelima bersaudara Panca Pandawa, meski sekalipun ia tak pernah merasakan rahimnya terisi suara tangisan, ia tetap menjadi perempuan yang dikenang. Ia tetap tampak menjadi perempuan hebat yang memepertanggungjawabkan segala kewajibanya. Bukankah sebaiknya bangga aku bisa mempertanggungjawabkan segala yang bukan menjadi sumpah atau doaku? Senantiasa aku harus menerima juga. Aku bahkan tidak sempat menitipkan keinginanku pada doa yang kuterima dari bibir orang lain. Kini mereka pikir aku yang menginginkan adegan demi adegan dalam hidup ini tampak menjadi sangat drama.”

Kali ini aku mendengar senyatanya. Ia terus berdebat dengan segala macam pertanyaannya seharian itu. Astuti, gadis ini protes atas dirinya, Atas cinta yang diterimanya. Ia protes kenapa hidup dan cintanya menjadi terlalu segalanya. Terlalu penting untuk orang-orang kampung, untuk keluarganya, untuk keturunannya. Ia hanya ingin cinta yang bisa ia terima untuk dirinya utuh.

“Tidak bisakah cintaku hanya jadi milikku saja?”

Asmara yang mesti sembunyi-sembunyi, menjadi rahasia yang tiada sepasang mata bisa mengendus, sebab satu saja telinga atau mata menangkap cintanya seluruh dunia akan mengutuk dan menyalahkannya.

“Di mana hakku atas hidup yang kumiliki?”

Tentu saja ia protes. Aku masih mendengarkannya. Ia tak butuh jawaban atau pembelaan dariku. tentu saja. Aku tahu ia hanya butuh didengarkan.

Aku bukan tak tahu segala yang terjadi setelah perpisahan kami yang cukup lama. Selain ketenarannya, aku memang tak banyak tahu tentang kisah cintanya. Dalam percakapan kami ia bicara tentang pernikahan. Tentang meneruskan keturunan keluarganya.

Aku tahu, ia adalah anak tunggal dari ayahnya. Pernikahan ayahnya yang kedua tak menghasilkan apapun sebagai penerusnya. Sementara ia hanya anak peremuan yang dalam budaya kami akan memberi keturunan lain bagi keluarga baru yang meminangnya.

Lelaki yang bersamanya di beranda rumah adalah pamannya. Lelaki yang berhati, berjiwa, dan berdandan perempuan. Keluarga Astuti tak dapat menaruh harapan apapun padanya.

“Dua lelaki bersaudara yang tak bisa memberikan apapun pada dua orang tua yang menaruh harapan akan masa tua mereka.”

Ia masih hanya butuh didengarkan saja. Ya, orang-orang kampung memercayainya sebagai kutukan atas dosa yang dibuat kakek dan neneknya.

Kabarnya kutukan itu bukan dari Tuhan, tetapi dari pesugihan yang mereka tekuni selama ini. Orang-orang percaya tubuh kurus Astuti yang tak kunjung pernah berisi sejak kecil konon sari-sarinya terhisap oleh pesugihan mereka sebagai tumbal. Aku berusaha tak pernah menanyakan kebenaran itu pada Astuti atau mencoba memercayainya. Tetapi pernah suatu kali ia membenarkan hal itu dari apa yang pernah ia saksikan sendiri.

Kini ia mulai membanjiri setiap katanya dengan isak tangis. Keluarganya menuntut dirinya untuk segera menikah. Mencari lelaki yang siap dipinang sebagai suaminaya untuk diajak meneruskan garis keturunan di sanggah merajan-nya.

Ia mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang rumit. Kecuali ia mau membeli, membayar seorang lelaki untuk siap dikawini dengan imbalan tak hanya sanggah merajan tetapi juga seluruh harta yang dimilikinya. Hal itu tak pernah akan jadi masalah baginya. Ia bicara segalanya itu bisa ia cari dengan bakat yang mempuni dalam dirinya.

Tetapi jauh dari segala persyaratan itu, sanggah merajan-nya, orang-orang kampung, dan aku, kini harus mengerti bahwa Tuhan pun tak bisa menuntutnya untuk menikah bersama seorang lelaki. Ia, Astuti gadis lugu yang kukenal dengan segala kerendahan hatinya adalah seorang lesbian.

Tuhan telah mematahkan rasa hatinya, berhenti pada lelaki yang pernah menyayat hatinya dan ibunya. Meludahi mereka berdua dengan meninggalkan hak asuh atas dirinya pada neneknya.

“Dia ayahku.”

Ia telah meninggalkan segala ucapan terima aksihnya telah membiarkan dirinya lahir sebagai dirinya kini. Setidaknya untuk menoreh belati dari hati ibunya yang tak sempat memeberinya satu kecupan saja stelah persalinan atas kelahiran dirinya.

Dalam kedewasaannya kini ia telah dibesarkan oleh rasa jijik dan muak pada wajah lelaki. Setiap lelaki ia pandang buas, menakutkan, menyisakan darah dalam hati dan pikirannya.

“Aku tak memangkas rambutku, tak juga bercita-cita menjadi lelaki.”

Ia hanya memangkas hatinya untuk rasa cintanya pada seorang lelaki, bercita-cita menjadi perempuan utuh yang memperoleh hati perempuan lain dengan jiwa lelaki.

“Aku tahu ia tak akan menyetubuhiku lalu meninggalkan benih dalam tubuhku yang menjadi derita seperti kelahiranku.”

Ia hanya ingin menghentikan rasa sakitnya pada garis kehidupannya. Tak penting lagi baginya tuduhan bahwa segala apa yang diterimanaya dan keluarganya adalah kutukan, adalah dosa-dosa yang diterima. Baginya adalah pilihan, adalah rasa paham atas cara mengakhiri segala kesalahan.

Percakapan Astuti di beranda rumahnya dengan pamannya adalah perundingan bagi mereka berdua. Siapa yang harus berhenti dari segala hal ini. Hanya untuk melegakan hati neneknya sebelum ia benar-benar menghembuskan nafas terakhir.

Ini adalah keputusan yang rumit bagi mereka berdua. Hati, jiwa, dan pikiran antara Astuti dan pamannya telah tertukar. Mereka terjebak pada tubuh yang salah dengan bekal hati yang mereka bawa.

“Kami lantas tak mau saling mengalah, memberi penawaran, memikirkan resiko, memikirkan perasaan orang lain, sanggah merajan, keluarga, kami hanya tahu diri kami sendiri-sendiri.

Tangisannya mereda. Hari mulai menuju petang. Aku harus bergegas kembali ke kota untuk mempersiapkan segala macam persiapan kerjaku besok. Aku memeluknya sekali lagi, Astuti paham aku akan pergi, ia tak menahan, membiarkanku pergi dan mengakhiri pertemuan kami lebih dahulu.

Ia mengucapkan terima kasih telah mendengarkannya setelah sekian lama. melangkah perlahan keluar pintu rumah, menoleh sekali lagi menatap mataku dalam, melempar satu senyum yang manis. Manis sekali seperti masa kanaknya yang kami lewati saat berjalan menyusuri pantai setiap sore yang mengirim sebuah senja pada kami dan nelayan-nelayan membiarkan kami tinggal berdua, memiliki seluruh pantai yang luas di hadapan.

Setelah pertemuan itu, aku kembali beberapa kali ke rumah masa kecil di kampung. Astuti tak tampak di beranda rumahnya, atau di kaca jendela kamarnya.

Rumah itu sepi stelah neneknya meninggal beberapa minggu dari pertemuan kami. Satu bulan kemudian kakeknya menyusul. Orang-orang masih menikmati hangatnya keyakinan mereka bahwa keluarga itu telah dikutuk oleh Tuhan dan pesugihan yang dilakukan keluarga Astuti.

Sementara itu rumah itu makin sepi. Ayah bersama ibu tirinya dikabarkan telah melakukan transmigrasi ke kota lain. Hanya sesekali datang entah untuk membersihkan sanggah merajan atau hal lain.

Dua tahun setelah hari terakhir aku pulang ke kampung, sepulangku kerja seperti biasanya, pintu kubuka dan sebuah surat terdampar terinjak sepatuku. Amplop putih bersih seperti amplop terima gaji bulananku dari kantor.

Mereka selalu bicara memahami, tetapi mereka tak pernah bisa merasakan atas hatiku. Aku selalu melihat tiga hati pada kaca jendela kamarku yang mengurung masa kecil hingga kedewasaanku. Ibuku, Ayahku, Pamanku. Kami adalah kutukan yang kami ciptakan dan kami benarkan sendiri. Aku tak pernah berdoa seperti Drupadi, aku menerima yang tak pernah kudoakan dalam diriku. Aku hidup dewasa dari tiga bayangan cermin kamarku. Aku pergi dari segala panggung, menciptakan pertunjukan dan panggungku sendiri, memberi tepuk tangan dan menjadi penggemar untuk diriku sendiri.

Pawiwahan
Astuti dan Sasmita

Singaraja, 10 Desember 2016

Tags: Cerpen
Previous Post

Juli Sastrawan# Hanyut, Menepi, Renik dan Pucuk Daun

Next Post

Mahasiswa di Singaraja: Nasi Kuning “Pahlawan Kepagian”, juga “Pahlawan Kemalaman”

Kadek Desi Nurani

Kadek Desi Nurani

Pemain teater, juga menulis puisi dan cerpen. Puisinya terkumpul dalam antologi "Hadiah untuk Langit". Alumni Fakultas Bahasa dan Seni, Undiksha, Singaraja. Kini tinggal di Denpasar

Next Post

Mahasiswa di Singaraja: Nasi Kuning “Pahlawan Kepagian”, juga “Pahlawan Kemalaman”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co