Cerpen: Ni Kadek Desi Nurani Sari
Perempuan itu kembali mencoba duduk dan berusaha menenangkan dirinya. Kembali ia harus menghadap jendela, mengarah pada dirinya, tiga pasang kaca jendela kosong. Tetapi perempuan itu bergumam dengan cara berbeda setiap kali menghadap dari satu kaca ke kaca lainnya.
Sungguh drama, dengan pakaian tidur seadaanya perempuan itu menerawang jauh, suara burung yang ramah menegur dari beranda rumah tak ia hiraukan. Dengan rambut sebagian terikat dan beberapa helai darinya menutupi mata, gadis usia kurang lebih dua puluh tiga tahun itu berjalan pelan mendekati ketiga kaca jendela satu persatu.
Sesekali ia tertawa, sesekali ia meringkik bersama tangisnya, dan sesekali ia seperti memaki. Suaranya tak terdengar. Memandangnya dari jauh seperti pertunjukan dalam botol kaca yang tak satupun bisa kita tangkap setiap kalimat dan lengkin suaranya. Perempuan itu rebah kembali pada kasurnya yang penuh potongan-potongan kertas warna.
Tepat sebelum hari genap malam, perempuan itu membuka pintu kamar dan seorang lelaki tengah duduk pada salah satu kursi di beranda kamarnya. Lelaki itu, tampak dingin namun berusaha menjadi hangat dengan sebatang rokok di tangan yang dihisapnya sebelum gadis itu muncul menemuinya.
Tak begitu peduli dengan pakaian tidur yang dikenakannya setengah terbuka. Perempuan itu melangkah duduk pada kursi satunya yang memberi mereka kesempatan saling bertatapan. Tajam dan dalam.
“Kita akan mulai dari mana?” Lelaki di hadapannya menghentikan hisapan rokoknya.
Perempuan itu memalingkan wajah, dengan gerakan lebih cepat kakinya segera ia naikkan dan ia tumpu di atas meja. “Dari manapun yang menjadi tujuan kita. itu akan lebih mudah.”
Itu Astuti, gadis lugu yang kukenal semasa kecil. Kami tumbuh bersama dalam satu kampung halaman yang kecil untuk sebuah desa. Ia tak begitu periang, masa kecilnya yang sunyi ia lalui dengan biasa-biasa bersama keluarga dari ayahnya.
Perceraian kedua orangtuanya sejak ia dilahirkan tak memberinya kesempatan untuk memilih. Kkeluarga ayah atau ibunya tinggal berseberangan jalan kecil di desa. Hubungan keseharian mereka sangat canggung, mencoba menjadi baik-baik saja, namun ego memberi mereka jarak yang jauh lrbih lebar untuk bisa menjalin hubungan yang baik.
Kami menghabiskan hampir setiap hari bersama, di sekolah dasar, tempat bermain, piodalan di pura, bangku sekolah menengah. Kami mulai jarang berbicara, ataupun bertemu setelah menginjak bangku sekolah menengah pertama. Keluargaku mulai berpindah-pindah tempat tinggal, menjauh dari perkampungan.
Ia, Astuti, setelah tamat sekolah menengah pertama juga mulai memilih sekolah berbeda denganku. Tentu kami menjadi sangat jarang bertemu atau mengetahui kabar masing-masing.
Tiga tahun berlalu, kini ia menjadi salah satu mahasiswa perguruan tinggi di kota kecil kami. Sebentar lagi akan menjadi calon sarjana cetakan kesekian yang jika untung akan bisa jadi guru kontrak dengan gaji sebulan sebesar uang sakunya seminggu. Ia tak terlalu dikenal, tapi cukup banyak dibicarakan orang-orang.
Namanya mulai tenar sejak ia berangkat dari satu panggung ke panggung lainnya sebagai penari. Dari hotel ke hotel, panggung-panggung pesta rakyat, hingga kemarin namanya kubaca di sebuah surat kabar yang membicarakan bakatnya sebagai wanita muda yang berbakat dan menginspirasi. Sedikit demi sedikit semua orang mulai tak asing dengan namanya, dengan wajahnya.
Tentu saja, ia bukannya tak menyadari dirinya mulai dikenal banyak orang. namun demikian, ia berusaha tetap menjaga agar ia tak nampak terlalu berbahagia lantaran ia menjadi primadona dari satu kota ke kota lainnya. Tapi lamat-laun, ia mulai jarang muncul di hadapan banyak orang.
Kabar yang beredar ia mencoba pergi dari atas pentas. Segala macam tetek bengek yang ada hubungannya dengan penonton dan pengagumnya ia tinggalkan. Alasannya klise. Lelaki yang dicintainya lebih suka ia jadi patung lilin di dalam kamar. Bisa dibentuk sesuka hati.
Pada waktunya ia hanya boleh menjadi cahaya kecil untuk ranjang kekasihnya. Habis gelap, ia akan diam dalam kamar, menunggu waktunya ia punya kesempatan menunjukan diri bahwa ia memiliki cahaya lebih besar. Begitu kurang lebih gosip murahan orang kampung membicarakannya.
Kini ia muncul lagi, tepat di hadapanku. Ia datang mengetuk pintu rumahku. Rumah masa kecilku, tempat kami menghabiskan hari-hari bermain bersama, menghabiskan waktu untuk bermain sandiwara menjadi seorang ibu atau menjadi hantu-hantu dan peri-perian.
Tanpa riasan wajah, rambutnya yang tidak tertata, baju yang seadanya. Masih sama seperti saat aku melihat ia bersama lelaki di beranda rumahnya. Ia memelukku erat, matanya yang sembab direndam airmata yang juga membasahi dadaku.
Aku tak ingin memeulai pembicaraan di depan pintu rumah. Astuti kuajak masuk, kami duduk bersama di teras dalam rumah. Ia memulai bicara, mengusap air matanya dengan segera dan memunculkan satu dua tawa ringan sambil menatap ke arah wajahku. Kami berbalas tawa dan saling memeluk. Percakapan sederhana seperti bagaimana kabarku atau kabarnya, mengenang bagaimana usangnya rumah tempat kami duduk sekarang ditinggalkan banyak kenangan yang menggelikan tetapi menyenangkan sekali.
Ia mengatakan, kini semua telah menjadi dewasa, tidak lagi hanya memikirkan masalah isi perut atau puasnya waktu yang kami habiskan untuk bermain, menghabiskan teguran orang-orang tua yang memanggil kami, mengingatkan untuk segera mandi, pulang segera mengerjakan tugas rumah.
“Sukakah kau pada kisah Mahabharata? Tahukah kau perempuan yang menebus perkataannya sendiri dengan kelima suami yang dinikahinya? Katakan padaku, jika Drupadi bisa tidur berganti setiap malam pada setiap lelakinya, menjadi istri dari kelima bersaudara Panca Pandawa, meski sekalipun ia tak pernah merasakan rahimnya terisi suara tangisan, ia tetap menjadi perempuan yang dikenang. Ia tetap tampak menjadi perempuan hebat yang memepertanggungjawabkan segala kewajibanya. Bukankah sebaiknya bangga aku bisa mempertanggungjawabkan segala yang bukan menjadi sumpah atau doaku? Senantiasa aku harus menerima juga. Aku bahkan tidak sempat menitipkan keinginanku pada doa yang kuterima dari bibir orang lain. Kini mereka pikir aku yang menginginkan adegan demi adegan dalam hidup ini tampak menjadi sangat drama.”
Kali ini aku mendengar senyatanya. Ia terus berdebat dengan segala macam pertanyaannya seharian itu. Astuti, gadis ini protes atas dirinya, Atas cinta yang diterimanya. Ia protes kenapa hidup dan cintanya menjadi terlalu segalanya. Terlalu penting untuk orang-orang kampung, untuk keluarganya, untuk keturunannya. Ia hanya ingin cinta yang bisa ia terima untuk dirinya utuh.
“Tidak bisakah cintaku hanya jadi milikku saja?”
Asmara yang mesti sembunyi-sembunyi, menjadi rahasia yang tiada sepasang mata bisa mengendus, sebab satu saja telinga atau mata menangkap cintanya seluruh dunia akan mengutuk dan menyalahkannya.
“Di mana hakku atas hidup yang kumiliki?”
Tentu saja ia protes. Aku masih mendengarkannya. Ia tak butuh jawaban atau pembelaan dariku. tentu saja. Aku tahu ia hanya butuh didengarkan.
Aku bukan tak tahu segala yang terjadi setelah perpisahan kami yang cukup lama. Selain ketenarannya, aku memang tak banyak tahu tentang kisah cintanya. Dalam percakapan kami ia bicara tentang pernikahan. Tentang meneruskan keturunan keluarganya.
Aku tahu, ia adalah anak tunggal dari ayahnya. Pernikahan ayahnya yang kedua tak menghasilkan apapun sebagai penerusnya. Sementara ia hanya anak peremuan yang dalam budaya kami akan memberi keturunan lain bagi keluarga baru yang meminangnya.
Lelaki yang bersamanya di beranda rumah adalah pamannya. Lelaki yang berhati, berjiwa, dan berdandan perempuan. Keluarga Astuti tak dapat menaruh harapan apapun padanya.
“Dua lelaki bersaudara yang tak bisa memberikan apapun pada dua orang tua yang menaruh harapan akan masa tua mereka.”
Ia masih hanya butuh didengarkan saja. Ya, orang-orang kampung memercayainya sebagai kutukan atas dosa yang dibuat kakek dan neneknya.
Kabarnya kutukan itu bukan dari Tuhan, tetapi dari pesugihan yang mereka tekuni selama ini. Orang-orang percaya tubuh kurus Astuti yang tak kunjung pernah berisi sejak kecil konon sari-sarinya terhisap oleh pesugihan mereka sebagai tumbal. Aku berusaha tak pernah menanyakan kebenaran itu pada Astuti atau mencoba memercayainya. Tetapi pernah suatu kali ia membenarkan hal itu dari apa yang pernah ia saksikan sendiri.
Kini ia mulai membanjiri setiap katanya dengan isak tangis. Keluarganya menuntut dirinya untuk segera menikah. Mencari lelaki yang siap dipinang sebagai suaminaya untuk diajak meneruskan garis keturunan di sanggah merajan-nya.
Ia mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang rumit. Kecuali ia mau membeli, membayar seorang lelaki untuk siap dikawini dengan imbalan tak hanya sanggah merajan tetapi juga seluruh harta yang dimilikinya. Hal itu tak pernah akan jadi masalah baginya. Ia bicara segalanya itu bisa ia cari dengan bakat yang mempuni dalam dirinya.
Tetapi jauh dari segala persyaratan itu, sanggah merajan-nya, orang-orang kampung, dan aku, kini harus mengerti bahwa Tuhan pun tak bisa menuntutnya untuk menikah bersama seorang lelaki. Ia, Astuti gadis lugu yang kukenal dengan segala kerendahan hatinya adalah seorang lesbian.
Tuhan telah mematahkan rasa hatinya, berhenti pada lelaki yang pernah menyayat hatinya dan ibunya. Meludahi mereka berdua dengan meninggalkan hak asuh atas dirinya pada neneknya.
“Dia ayahku.”
Ia telah meninggalkan segala ucapan terima aksihnya telah membiarkan dirinya lahir sebagai dirinya kini. Setidaknya untuk menoreh belati dari hati ibunya yang tak sempat memeberinya satu kecupan saja stelah persalinan atas kelahiran dirinya.
Dalam kedewasaannya kini ia telah dibesarkan oleh rasa jijik dan muak pada wajah lelaki. Setiap lelaki ia pandang buas, menakutkan, menyisakan darah dalam hati dan pikirannya.
“Aku tak memangkas rambutku, tak juga bercita-cita menjadi lelaki.”
Ia hanya memangkas hatinya untuk rasa cintanya pada seorang lelaki, bercita-cita menjadi perempuan utuh yang memperoleh hati perempuan lain dengan jiwa lelaki.
“Aku tahu ia tak akan menyetubuhiku lalu meninggalkan benih dalam tubuhku yang menjadi derita seperti kelahiranku.”
Ia hanya ingin menghentikan rasa sakitnya pada garis kehidupannya. Tak penting lagi baginya tuduhan bahwa segala apa yang diterimanaya dan keluarganya adalah kutukan, adalah dosa-dosa yang diterima. Baginya adalah pilihan, adalah rasa paham atas cara mengakhiri segala kesalahan.
Percakapan Astuti di beranda rumahnya dengan pamannya adalah perundingan bagi mereka berdua. Siapa yang harus berhenti dari segala hal ini. Hanya untuk melegakan hati neneknya sebelum ia benar-benar menghembuskan nafas terakhir.
Ini adalah keputusan yang rumit bagi mereka berdua. Hati, jiwa, dan pikiran antara Astuti dan pamannya telah tertukar. Mereka terjebak pada tubuh yang salah dengan bekal hati yang mereka bawa.
“Kami lantas tak mau saling mengalah, memberi penawaran, memikirkan resiko, memikirkan perasaan orang lain, sanggah merajan, keluarga, kami hanya tahu diri kami sendiri-sendiri.
Tangisannya mereda. Hari mulai menuju petang. Aku harus bergegas kembali ke kota untuk mempersiapkan segala macam persiapan kerjaku besok. Aku memeluknya sekali lagi, Astuti paham aku akan pergi, ia tak menahan, membiarkanku pergi dan mengakhiri pertemuan kami lebih dahulu.
Ia mengucapkan terima kasih telah mendengarkannya setelah sekian lama. melangkah perlahan keluar pintu rumah, menoleh sekali lagi menatap mataku dalam, melempar satu senyum yang manis. Manis sekali seperti masa kanaknya yang kami lewati saat berjalan menyusuri pantai setiap sore yang mengirim sebuah senja pada kami dan nelayan-nelayan membiarkan kami tinggal berdua, memiliki seluruh pantai yang luas di hadapan.
Setelah pertemuan itu, aku kembali beberapa kali ke rumah masa kecil di kampung. Astuti tak tampak di beranda rumahnya, atau di kaca jendela kamarnya.
Rumah itu sepi stelah neneknya meninggal beberapa minggu dari pertemuan kami. Satu bulan kemudian kakeknya menyusul. Orang-orang masih menikmati hangatnya keyakinan mereka bahwa keluarga itu telah dikutuk oleh Tuhan dan pesugihan yang dilakukan keluarga Astuti.
Sementara itu rumah itu makin sepi. Ayah bersama ibu tirinya dikabarkan telah melakukan transmigrasi ke kota lain. Hanya sesekali datang entah untuk membersihkan sanggah merajan atau hal lain.
Dua tahun setelah hari terakhir aku pulang ke kampung, sepulangku kerja seperti biasanya, pintu kubuka dan sebuah surat terdampar terinjak sepatuku. Amplop putih bersih seperti amplop terima gaji bulananku dari kantor.
Mereka selalu bicara memahami, tetapi mereka tak pernah bisa merasakan atas hatiku. Aku selalu melihat tiga hati pada kaca jendela kamarku yang mengurung masa kecil hingga kedewasaanku. Ibuku, Ayahku, Pamanku. Kami adalah kutukan yang kami ciptakan dan kami benarkan sendiri. Aku tak pernah berdoa seperti Drupadi, aku menerima yang tak pernah kudoakan dalam diriku. Aku hidup dewasa dari tiga bayangan cermin kamarku. Aku pergi dari segala panggung, menciptakan pertunjukan dan panggungku sendiri, memberi tepuk tangan dan menjadi penggemar untuk diriku sendiri.
Pawiwahan
Astuti dan Sasmita
Singaraja, 10 Desember 2016