Cerpen: Ferry Fansuri
SESAK penuh dan bau keringat, itu yang terlihat di sepanjang perjalananku dalam bis ekonomi dari Tegal menuju Jakarta. Berdesakan dengan berbagai ragam manusia dengan satu tujuan mengais rejeki di ibukota. Begitu juga aku, berdesakan dan terhimpit dipojokan kursi paling belakang, mengap-mengap menghirup asap knalpot bocor masuk sela-sela jendela.
Hari ini aku sudah janji dengan lek Giman untuk datang ke Jakarta untuk membantu warteg miliknya. Ini pertama kali aku ke ibukota, buta akan kondisi di sana. Tapi tak berangkat sendirian tapi ditemani Riono, teman satu kampung yang kepingin melihat hingar bingar Jakarta sekaligus mengadu nasib. Selama perjalanan tidaklah nyaman, Yono yang biasa aku panggil dia tampak tertidur lelap di sampingku. Suara bising kondektur beradu penjaja asongan menjajakan dagangannya sama sekali tak mengganggunya.
Belum lagi pengamen jalanan yang memainkan gitar bututnya, bergerombolan layaknya preman. Suara cempreng tak merdu sama sekali, asal memetik senar gitar untuk menutupi suaranya jelek itu. Selesai melakukan ritualnya, sebuah bungkus plastik bekas permen disodorkan ke tiap penumpang demi receh rupiah. Terkadang terkesan memaksa, pembawa bungkus penagih receh itu terus merangsek. Berhenti pada lelaki bertampang tonggos yang dari tadi tidak menggubris sodoran bungkusan itu untuk diisi.
Sepertinya pembawa bungkus berambut punk itu tidak begitu senang jika lelaki tonggos itu tidak memberikan uang receh. Sedikit mamaksa pemuda punk menyuruh lenting rokok di pak sakunya dikeluarkan sebagai pengganti. Bersungut-sungut lelaki tonggos itu memberikannya 2 lenting rokok, kuatir dikeroyok gerombolan pengamen yang lebih dari 4 orang itu. Fenomena nyata memang terjadi di sini, aku paham dan selalu membawa uang receh untuk jaga-jaga buat pengamen macam ini.
Perjalananku masih panjang, hidung dan pendengaranku akhirnya terbiasa kebisingan bis ekonomi ini. Rasa lelah dan kantuk itu menyerang, tak sadarkan diri kepalaku tergolek bersandar dibahu Riono dengan lelehan liur membasahi mulutku.
***
AROMA harum wangi membangunkanku dari tidur lelapku, hidung mengendus-endus layaknya anjing pelacak mencari asal bau ini. Tampak di depanku sehelai rambut panjang, bau ini yang melambai-lambai di hidungku. Kutengok seorang gadis perawan berbadan sintal dibalut kaos merah ketat, sepertinya penumpang lama telah turun digantikan olehnya.
Kunikmati pemandangan gratis di depanku, gadis perawan yang menjelang dewasa begitu menarik mataku untuk menjelajah tiap lekuk tubuhnya. Pinggulnya yang ramping bagai biola, gundukan payudaranya bak gumpalan pualam yang ingin dijamah tiap pria-pria nakal. Khayalanku ini membuat ada sesuatu yang mengembang dibalik celanaku,..aduh kondisi seperti pikiran kotor merasuki otakku.
Untuk menenangkan si kecil, aku alihkan pandangan diluar jendela yang lalu lalang kendaraan terjebak macet dipersimpangan lampu lalu lintas. Kulirik samping aku, Si Riono tetap saja ngewes sambil mulut menganga lebar mulai dari berangkat sampai sekarang. Kucoba meminum air lebih banyak dari botol aqua yang aku bawa, demi meredakan kegalauan shawat dari ini.
Dan itu jadi masalah buat aku, setelah aku berkutat melawan syahwatku dan menahan ternyata datang panggilan alam lainnya. Air seniku mendadak meluap-luap seperti mau muntah untuk keluarkan. Duh, kondisi seperti ini sesuatu yang tidak mungkin ke toilet karena bus ekonomi melaju kencang untuk mengejar waktu ke ibukota.
Sial bagiku hari ini, air kencing sudah diujung kemaluanku. Ditambah kondisi bus ini tak menyenangkan ini bikin tambah parah.Akhirnya ku hanya bersandar memojok disudut bus ini sambil merintih layaknya pesakitan.
***
“Wo, kenapa kok seperti panas dingin begitu,” suara Riono mendadak memekak telingaku setelah berkutat menahan kencing berjam-jam.
“Ini loh, aku mau kencing tapi aku tahan dari tadi. Mau kencing ke mana terus?“ tanyaku.
“Oalah, Wo, Sarwo, gitu saja kamu kayak orang mau melahirkan saja,” kekehnya.
Riono asal bicara, tak tahu gimana menahan rasa ingin melepaskan hajat dari tadi. Kalau bukan teman, aku kemplang nih orang.
“Nih pakai ini buat kencing kamu Wo!” Riono menyodorkan botol aqua plastik yang telah kosong kepadaku.
”Dijamput No, kebelet pipis malah dikasih botol,” gerutuku.
“Alah Wo, biasanya dulu sewaktu kecil kita pernah lakukan,” tertawanya.
Perkataaan Riono ini mengingatkan aku kembali masa lalu kita di kampung, bermain di sawah berburu jangkrik.
Dulu kita pernah memainkan permainan botol kencing, kami mencoba meminum air sebanyak-banyak dan menunggu sampai keinginan kencing keluarkan. Siapa yang kencing paling banyak, itulah jadi pemenang. Tolak ukurnya dari botol aqua yang kita kencingi, paling banyak itu jadi pemenang
Kupandangi ujung botol plastik itu, tak sanggup jika harus memasukan ujung kemaluanku disana. Apalagi kondisi seperti ini, dalam keramaian bis ini. Tapi Riono memastikan bahwa akan aman jaya, tidak ada yang melihat. “Tutup jaket tapi awas tumpah..ha…haa” menertawakan posisiku yang kejepit antara botol dan air kencing yang mau meluap bak banjir bandang.
Perlahan kubuka resleting celanaku, sambil menengok kanan-kiri takut ketahuan. Kukeluarkan perlahan si del peiro masa depan kesayanganku, ujungnya aku jodohkan dengan ujung botol itu. Saat itu juga, sumbatan-sumbatan dalam saluran urinku melesat cepat layaknya jalan tol mulus tanpa hambatan. Melepaskan dahaga yang telah lama disimpan dan sekarang dipuaskan.
Botol aqua ukuran menengah itu terisi setengah dengan air seniku, terasa lega dan plong di hati selepas hajat terbuang. Buru-buru aku masukkan kembali alat kelaminku ke dalam celana jeansku. “Wo, jangan lupa tuh botol dibawa jangan dibuang sembarang. Bisa-bisa berabe entar..ha..ha,” tawanya kembali
Riono memang ada benarnya, tapi aku merasa cuek saja. Kutaruhkan botol itu selipan bangku depanku, entar juga aku ambil. Terpenting aku merasa enak dan sekarang waktunya melepas lelah penat sejenak
***
“Pulogadung…Pulogadung….terakhir…terakhir…!!!!” teriakan kondektur membangunkan tidurku. Kubuka kelopak mata ini yang penuh ketek kotoran mata, aku gosok-gosok untuk mengusir rasa kantukku sejenak. Riono telah dulu turun dari pintu belakang, semua penumpang hampir bersamaan turun berurutan.
Bangku yang aku duduki itu waktunya kuucapkan selamat tinggal, karena telah menemaniku selama berjam-jam berkutat di sana. Tas ransel aku sandingkan dengan punggungku. Turun anak tangga bis menghirup udara Jakarta memenuhi rongga dada dan paru-paruku.Langkah-langkah kecil menyambut masa depan sedikit bersiul menyejukkan hati.
Riono sudah tampak di mataku di ujung sana, tapi sejenak aku berhenti sejenak. Seperti orang yang linglung, mengingat-ingat apa yang terlupakan apa ada di otakku menganjal dari tadi.
“Botol itu!!” teriakku dalam hati. Kutinggalkan botol berisi kencing itu di belakang bangku bis ekonomi itu. Duh gawat, setengah berbalik dan berlari menuju bis yang kami tumpangi itu. Memasuki bis itu menuju ke pojok paling belakang bangku yang kududuki, tapi botol itu tidak kutemukan. Kualihkan di bawah bangku mungkin terjatuh, kuobrak-abrik semua bangku dan berharap botol busuk tidak jatuh ke tangan yang salah.
Sekelebatan botol yang kucari terlihat di luar, seorang kakek pemulung bersama cucu wanita. Si kakek ini terlihat menenggak botol yang aku kencingi itu dengan begitu enaknya memasuki tenggorokan sang kakek membasuh dahaga melawan teriknya matahari Ibukota.
“Mbah, kok dihabisin sendiri. Aku mau juga,” si cucu merengek pengen.
“Enak ndok, ini rasanya jeruk. Jarang-jarang mbah minum kayak ini,” kekehnya sambil membasuh mulutnya.
Kemudian kakek itupun berlalu menggandeng tangan cucunya menembus senja di Jakarta. (T)
Surabaya, Januari 2017