26 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan

Tumbuh Bersama Puisi – Ulasan (Lagi) Buku Puisi Andy Sri Wahyudi

Ni Ketut Sudiani by Ni Ketut Sudiani
February 2, 2018
in Ulasan
8
SHARES

#Judul buku: Energi Bangun Pagi Bahagia #Penulis: Andy Sri Wahyudi #Penerbit: Garudhawaca Yogyakarta #Tahun Terbit: Juni 2016

Adalah sebuah berkah ketika seseorang memiliki karunia dapat menikmati dan menghayati kata-kata. Terlebih jika memiliki pengalaman bersentuhan dengan puisi, baik sebagai penikmat maupun penciptanya.

Andy Sri Wahyudi adalah satu dari sedikit orang yang ‘beruntung’ mendapat karunia untuk meresapi dan tumbuh bersama puisi. Ia memaknai ‘keberuntungan’ ini dengan penuh syukur, dan sungguh-sungguh menyapa, bercakap dengan kata-kata saat mereka mengetuk pintunya.

Mungkin awalnya kata hanya ingin singgah, tapi Andy membuat mereka betah bermalam-malam, bahkan hingga dini hari. Barangkali ini juga yang membuat penulis jadi penuh energi dan bangun pagi dengan bahagia. Kita tidak pernah tahu, rahasia percakapan malam seorang penyair dengan anak-anak imajinasinya.

Sebagaimana sajak-sajak yang ditulis Andy dalam buku kumpulan puisi terkininya, Energi Bangun Pagi Bahagia, kita pun hanya dapat menerka-nerka pergulatan apa yang dialami sang penyair ketika menuliskannya. Apa sesungguhnya dipikirkan dan dirasakan penulis ketika itu? Hanya puisi dan tuannya yang tahu.

Membaca judul buku, boleh jadi pembaca berharap akan menemukan sebuah sajak yang memiliki judul serupa. Tapi ternyata tidak. Penamaan itu justru lahir dari gabungan dua sajak. Pertama, puisi pembuka ditulis tahun 2014 berjudul Energi, dan kedua,-hampir jadi puisi penutup-, ditulis tahun 2015, yakni Bangun Pagi yang Bahagia.

Keseluruhannya, buku ini merangkum 57 sajak yang ditulis dalam kurun waktu 2012 hingga 2016. Karya yang ditulis selama tahun 2015 mendominasi isi buku, dan puisi yang ditulis tahun 2012, paling sedikit dimunculkan. Saya kurang tahu pertimbangan penulis dalam pemilihan sajak-sajak yang dimuat.

Teater dan Kata

Namun, justru sajak yang ditulis pada tahun 2012 yang mengelitik saya untuk menjadikannya bacaan pertama-bukan puisi pembuka-. Hanya ada dua puisi bertahun 2012, yakni Dingin di Jari Tanganku dan Tempat Duduk yang Terus Berjalan. Dalam dua karya itu, tampak sekali sisi Andy yang telah bertahun-tahun bergelut dengan dunia teater.

Coba kita tengok dua puisi ini:

 

Dingin di Jari Tanganku

 

jari-jari tangaku lupa padaku

ia bergerak-gerak sendiri ketika malam hari

aku takut, takut sekali, jari-jariku marah padaku,

karena aku tak tahu jumlah lekukan garis-garis jariku

di manakah jam dinding?

apakah ini diam?

tapi aku mendengar hidup yang berdetak-detak

esok pagi jari-jariku akan memuat bunyi yang yang bersinar-sinar

 

Jogja, 2012

 

Tempat Duduk yang Terus Berjalan

 

di luar jendela ada bulan, separuh dan samar.

ia menatapku tapi aku tak berani menatapnya.

karena di bulan ada raksasa sedang melamun

mungkin mengenang cinta pertamanya.

raksasa itu telanjang bulat dan berwarna kabut.

 

apakah kamu takut dengan kenangan?

bertemanlah dengan raksasa di bulan,

ia akan mengajarimu mengenal kenangan

 

tak ada lagi rumah, tak ada lagi arah, tak ada lagi lelah

semua akan bergerak menjadi kenangan.

juga aku dan kamu.

 

mesin perjalanan terus bersuara.

 

Jakarta Jogja 2012    

 

Terlepas dari sisi kepadatan isi puisi dan keketatan pemilihan diksi, dua puisi tersebut memiliki daya visual yang cukup kuat. Kita dapat membayangkan jika kata-kata di dalamnya diteaterkan. Andy seakan tak pernah membiarkan dirinya untuk berhenti bertanya, membiarkan imajinasinya bebas mengelana, mencari jawab akan kegelisahan-kegelisahannya. Begitu pula ia terus membuka ruang dialog dengan diri sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, teater tampaknya cukup kuat mempengaruhi penulisan puisi-puisi Andy, sehingga lebih banyak dituliskan dalam gaya bertutur yang cair. Hanya saja cara seperti ini memang memungkinkan membuat penulis tergelincir sehingga kata-kata jadi terlalu cair dan kehilangan daya renungnya. Namun Andy masih mampu mempertahankan kesubliman kata-katanya dan tetap menyisakan teka-teki untuk pembaca.

Bentuk percakapan-percakapan dalam pertunjukan teater, dapat dilihat pula dalam puisi Andy berjudul Kangen, ditulis di Bali tahun 2013 hingga 2014.

ibuk, kini aku bisa membuat pagi dan matahari kecil, dari dinding-dinging kebahagiaan dan tanah warisan nenek moyang. apakah ibuk suka buah tomat dan papaya? di dalamnya ada vitamin yang melunturkan kesedihan dan membuatku rajin mengukir cita-cita. buk, hari ini aku ingin bertemu dengan sejarah remaja. bertemu dengan hidung lucu kekasihku dan kecerdasan berpikirnya. ibuk, aku melihat pantai berwarna nila, ingin rasanya menyelam di dalamnya. aku ingin membuat dunia dari keringat dan perasaanku. dunia untuk saudara dan teman-temanku, juga untuk semua yang kucintaiku dan yang memusuhiku. aku ini bara api, buk, tapi aku juga udara pagi. ibuk, jangan melupakan pelukan bunga sore, yang kutanam di pot plastik bekas sabun colek. jangan ya, buk.

Bisa kita baca pula kepolosan penulis, sebuah rindu yang mungkin sudah tak tertahan. Barangkali sebagai bentuk kemurnian daya ungkapnya, penulis membiarkan kata ibu ditulis sebagaimana bahasa lisan, yakni ibuk. Padahal dalam bahasa tulis, tidak pernah kita jumpai penulisan ibuk. Namun Andy membiarkan kata itu ditulis apa adanya. Terlihat kesederhanaan dan kedekatan penulis dengan alam, bagaimana dia mengungkapkannya pada kalimat terakhir sajak itu. Hal serupa dapat dirasakan juga dalam sajak Di Bawah Fajar Menyingsing: Ir Soekarno. Andy bahkan membuatnya seperti seseorang tengah mendongeng.

Pada banyak sajak-sajaknya, Andy memang kerap meminjam alam sebagai metafor-metafornya, semisal laut, bunga, gunung, bukit, langit, udara, air, matahari, padi, angin, ombak, bintang, cahaya bulan, tanah. Alam Bali pun ternyata menggoda Andy untuk menuangkannya dalam puisi.

Ada beberapa sajak yang ditulisnya di Bali, sebagian besar di daerah Budakeling. Upaya Andy untuk memahami Bali, tersurat pada “Cita-cita untuk Ibu Suasti”. Meskipun tidak sepenuhnya memahami tradisi dan kultur Pulau Dewasa, ia berusaha menuliskannya apa adanya. Misalnya pada puisi itu, dia menuliskan, beras doa menempel di antara kedua alisnya. Jelas yang dia maksudkan adalah bije.

Gugatan

Sebagian besar puisi Andy dalam buku ini mencerminkan kedamaian, persabahatan, keharuan, dan kepekaannya memperhatikan hal-hal kecil di alam. Namun bukan bearti ia enggan untuk ambil bagian pada isu-isu besar, semisal terkait peristiwa 1928, 1945, 1965, dan 1998. Ekspresi ini muncul pada karya-karyanya bertahun 2015. Bisa dibaca puisinya Aku Menggugat Kepada Lupa. Puisi terpanjang dalam buku ini. Keberanian Andy terkesan juga muncul pada sajak Merenung di Kamar Bangsat: Pang.

Tapi saya rasa sangat penting untuk diingat pula, puisi bukanlah tempat sampah yang bisa sekenanya diluapkan dengan umpatan-umpatan kotor. Kadang kita perlu untuk tahan dan sabar, tidak terpancing untuk reaktif, terlebih jika hendak merespon persoalan-persoalan sosial. Saya percaya, siapapun yang memahami kedalaman puisi, akan bertimbang untuk ini.   

Upaya Andy selama ini patut kita apresiasi, selain produktif berteater, ia tetap bersetia tumbuh bersama puisi. Kebahagiaan sederhana yang kerap luput dari perhatian kebanyakan orang. Andy dan kita beruntung masih memiliki kesadaran untuk setidaknya berusaha mengundang puisi, singgah dan mengentuk pintu ‘rumah’ kita, lalu bersama menyeruput satu dua cangkir kopi semalaman. (T)

 

 

Tags: BukuPuisiresensi
Ni Ketut Sudiani

Ni Ketut Sudiani

Sastrawan dan wartawan. Tumbuh besar dalam pergaulan di Komunitas Sahaja, Denpasar. Pernah menjadi moderator di panel Bali Emerging Writer Festival (BEWF) 2014. Sejumlah puisinya memenangkan sejumlah lomba dan tergabung dalam berbagai antologi.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

TIGA BAHASA HINDU BALI | 1.107 tahun pemakaian Sanskerta, 1.019 tahun pemakaian Jawa Kuno di Bali

— Catatan Harian Sugi Lanus, 24 Desember 2020 1. Warisan teks tertulis dan praktek ritual Hindu di Bali menggunakan 3 ...

December 24, 2020
Ulasan

Sabda Palon I, Kisah yang Disembunyikan, Kisah Nusantara yang Dibuka

  TAHUN lalu. Tepatnya tanggal 25 Desember 2017, Mas Dedy, memberikan tiga buah buku kepada saya. Sebelum pulang kampung, katanya. ...

February 2, 2018
Lukisan candi karya Asehou Jayakatowan
Ulasan

Lukisan Asehou Jayakatowan: Terpesona Peradaban Lama

  SIAPA yang tak tahu keberadaan Candi Borubudur dan Prambanan dengan kemegahan arsitekturnya yang disajikan luar biasa? Tak ada yang ...

February 2, 2018
Puri Ubud
Esai

Buku Tamu 13 Juli 1949 || Catatan Kecil dari Ubud

Pagi 13 Juli 2020, Kami (saya dan istri) melaksanakan rutinitas awal minggu seperti biasanya. Senin itu terasa lebih spesial karena ...

July 16, 2020
Pelabuihan Buleleng . (Foto: Mursal Buyung)
Esai

Meboya – Jejak “Laut” Orang Buleleng?

Persembahan untuk Hari Jadi Kota Singaraja ke-415 -- Glukkige Verjaardag Mijn Stad Akhir pekan kemarin, 30 Maret 2019, saya bersama ...

April 1, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Sayang Kukiss/Diah Cintya
Esai

7 Jurus Memperbaiki Diri untuk Melangkah pada Rencana Panjang | tatkalamuda

by Sayang Kukiss
January 25, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1360) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In