3 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan

Buku Puisi “Penulis Mantra”: Eksplorasi Kegelisahan “Poetic” Sahadewa

Gde Artawan by Gde Artawan
February 2, 2018
in Ulasan
9
SHARES

#Judul Buku: Penulis Mantra #Penulis: Dewa Putu Sahadewa #Penerbit: Dedari Foundation dan Penerbit HW Project #ISBN: 978-602-14750-4-1

 

Tanpa pintu, aku memasuki kenangan

gambar tak bergerak kasur setengah

rusak

 

Begitulah penyair  Dewa Putu Sahadewa memulai antologi puisi Penulis Mantra lewat puisi “Memasuki Akhir Tahun”, dan penggalan bait pertama itu menjadi pintu masuk ke proses kreatifnya,semacam konklusi untuk keseluruhan ‘statemen poetic’ yang ditulis penyair yang juga menulis antologi sebelumnya berjudul “69 Puisi di Rumah Dedari”.

Bukan tanpa latar belakang kesadaran diri, jika angka 9 tetap menghadirkan efek misteri bagi pemilihan jumlah puisi dalam antologinya. Antologi “69 Puisi di Rumah Dedari” yang terbit tahun 2015 berjumlah 69. Sedangkan antologi “Penulis Mantra” yang terbit tahun 2016 berjumlah 29.

Angka 9 sebagai angka akhir jumlah pada antologi ini bisa multi tafsir jika dikaitkan dengan interpretasi personal dalam format zona sosio-kultural dan sosio-religius baik di tataran penyairnya yang berinterelasi dengan sosio-kultural-religius tempatnya berproses maupun di tataran  pembaca dalam perspektif resepsi sastra.

Sahadewa seakan membantah tesa IA Richard yang telah naif mengasumsikan bahwa puisi tidak lebih dari sekadar medium transparan dimana kita dapat menjamah proses-proses psikologis pengarang, dan membaca hanya merupakan perrmasalahan menciptakan kembali kondisi mental pengarang dalam benak kita.

Puisi dikatakan lebih menjadi fitur spasial ketimbang proses temporal. Tentu statemen ini masih bisa diperdebatkan lebih proporsional jika kita memandang betapa besar arti ‘temporal’ bagi proses kreatif yang disebut banyak pengarang sebagai sebuah perjuangan dan (bahkan) bukan lagi pilihan hidup,tapi jalan hidup.

Dalam “Penulis Mantra” dapat dirunut, berbagai kenangan sebagai eksplorasi gambar tak bergerak dapat dirasakan pembaca berdasarkan kumpulan rasa yang ditulis dengan instrumen terpilih dari penyairnya, mulai dari diksi, objek, kontemplasi, style, dan instrumen poetic.

Keseluruhan itu menggambarkan –sekali lagi seperti pada antologi sebelumnya- kegelisahan penyair Sahadewa dalam melacak dan mereguk secara  substansial sangkan paraning dumadi; eksistensial diri. Konsistensi diri inilah membuat Sahadewa bisa menghadirkan keberagaman tematik, baik secara prismatis maupun secara transparan dalam puisi-puisinya.

Puisi Sahadewa bisa merepresentasikan impuls mistis-religius atau hasil pembacaan sekaligus penyikapan terhadap interelasinya dengan sosio-kultural. Keduapuluh sembilan puisi Sahadewa dalam “Penulis Mantra” tetap dapat dipandang sebagai ruang tempat terimplementasikannya ketegangan, paradoks dan ambivalensi dan dapat dipandang sebagai ruang refleksi diri.

Di ketinggian Ende//tubuhkku tenggelam dalam lapisan lembab//Taman perenungan, rumah pengasingan//beberapa sloki minuman dan beratus puisi. (hal.15).

Bahasa puisi yang dibuat sebagai sarana estetika untuk memberikan tenaga ekspresif serta emotif dalam mengungkapkan gambaran suasana batin penyairnya .Maka untuk dapat mengungkapkan nuansa konkretisasi pengalamannya, penyair memunculkan kata-kata metaforis,simbolis.Bahasa kiasan puisi dapat menunjukkan sejauh mana interaksi pengarang dengan lingkungannya.Kemampuan sebuah puisi dalam memberikan kemungkinan interpretatif.

Hal menarik lainnya pada sebagian puisi Sahadewa pada “Penulis Mantra” adalah upaya menampilkan eksplorasi majas.

Pada puisi “Insomnia” (hal.11) Sahadewa menulis:

 

            aku telah kehilangan lembut bantal

             segala yang meredup

             kini berdenyar seperti cermas

             yang digulung berutas kabel

             menghubungkan aku dengan siang

             dengan ruang dan gelisah

 

Memang secara psikologis ada kegelisahan dirasakan penyair Sahadewa ketika merasakan rasa lembut bantal yang merepresentasikan objek yang lepas dari referensialnya. Bantal yang mengejawantahkan kelembutan telah begeser secara semantis dari tataran rasa.Ada rasa yang tereliminir atau tergradasi sehingga ketumpulan rasa menjadi gempuran secara ekstesial dirasakan penyair.

Atau Sahadewa telah menggeser posisi ‘aku’ personalnya menjadi ‘kalian’ atau ‘kita’ yang mengalami pergeseran bahkan kehilangan substasi rasa sehingga imun/kebal terhadap sensibilitas sekitar. Ini yang menimbulkan kita kehilangan spirit humanis, spirit kebersamaan dalam ruang tempat berinterelasi di masyarakat.

Aksentuasinya pada beberapa puisi Sahadewa beragam, lebih naratif dan linear.Interelasi yang kuat antara aku dan kamu dalam petualangan imagi Sahadewa membuat puisi-puisinya menimbulkan kesan yang impresif untuk membangun suasana dialogis. Bangunan dialogis ini terkadang tampak sebagai igauan penyair yang merefleksikan kegelisahan dirinya.

Igauan itu bisa menjadi sarana catharsis untuk mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan tentang sesuatu. Ikon yang digunakan instrumen menimbulkan keluasan ruang untuk merefleksikan hasil perenungannya. Memainkan fungsi poetic adalah salah satu perjuangan penyair untuk menimbulkan impresi yang mendalam, sementara pada puisi yang bernuansa kritik Sahadewa bisa leluasa lebih ekpresif ‘berteriak’ mengadakan perlawanan. Prinsip proyeksi ekwivalensi dalam beberapa hal bergerak dari poros seleksi ke poros kombinasi.

 

BALI HILANG KENDALI

                       

kau beri luka kecil kepadaku

sungguh tikaman di perutku

tanpa darah bercucuran

tanpa kerasnya jeritan

hanya kejadian tak menentu

pengeboman Bali yang pilu

 

ledakan surgawi

ciuman gila tak terperi

……………………………………….

(hal. 41)

 

Penyair seakan memotong abstraksi pemikiran rasionalitas terhadap realita ketika daya impresinya begitu kuat untuk mempercayai paradigma mistis-religius, misalnya pada puisi Penulis Mantra  (hal.19)

 

PENULIS MANTRA

orang-orang telah dipilih

untuk menulis

kata yang mengurai e3mbun

menjadi cahaya

kecil dan ligat

menumbuhkan bunga hanya dari

semburat cinta

 

sadarkan aku

: bagian kecil darikisah

yang berulang dinyanyikan

hanya karena satu tulisan

 

tinta telah digoreskan

sebelum dan setelah perjalanan

 

Perjalanan diri dalam mengarungi kehidupan real, diungkapkan Sahadewa seperti sebuah catatan diri secara metaforis; merasa dilahirkan sebagai bayi, segera mengingatkan masyarakat Hindu pada konsep dwijati, kelahiran kembali dalam konstruksi baru, esensi baru, tugas dan kewajiban baru dalam konsep ngayah.

 

DEDARI

 

sebelum tahun berakhir

kau memulainya sebuah perjanjian

ditulis dengan nyanyian

 

…..dilahirkan sebagai bayi

yang menangisi

kegelapan

dan dingin dunia

tapi segala cahaya terang di jiwanu

menyinari matahari

memutar semua planetku

 

kau menjadi kata dalam bahasa

menjadi ibu bagi dirimu

dan tanah bagi orang-orang susah

…………………………………………….(hal 21)

 

 

Secara humanis, Sahadewa menghargai sebuah interelasi personal yang memberi warna dan arti bagi perjalanan hidupnya. Sosok mahaguru Umbu Landu Paranggi menjadi warna yang inspiratif sehingga Sahadewa ingin membangun dialog  yang membangunkan spirit personalnya.

 

BANGUNLAH UMBU

 

Umbu bangunlah

jangan berbaring di ranjang kering

membuat puisi berhenti berdenyut

 

dengan apa kami menulis nasib

jika tubuhmu tak mendengar gurau

dan bisik cemas

kata takkan mengalir lewat cairan

yang ditusukkan dipenamu

tapi kata takkan khianatimu

jadi kita kaji ulang

pertemuan anak-anak sajak

 

seperti gambar kuda

ditenunkainSumba

tak perlu kau sebutkan warna

kami dengar ringkiknya kami tahu kaulah gembalanya

…………………………………………………………………….(hal.45)

 

Ada beberapa puisi pendek Rumah Dedari terdiri dari 5 baris (hal,23), Di Ayunan Waktu, 3 baris (hal.25), Bermain Angin, 3 baris (hal. 27), Dalam Satu Nafas, 5 baris (hal.31). Sekalipun puisi ini ditulis pendek, tetap saja imagi dibangun melalui tata kata terjaga sehingga secara sublim, Sahadewa menghadirkan permenungan yang dalam untuk memberi aksentuasi diri pada  posisi aku dan Kau liris.

Demikianlah Sahadewa menyajikan puisinya dalam antologi puisi “Penulis Mantra”. Secara analogis saat membaca 29 puisi Sahadewa dapat dirasakan ketika kita membuka pintu, begitu terkuak beraneka hasil perenungan dari akumulasi kegelisahan poetic dan refleksi diri pada sebagian besar puisi-puisinya, sekalipun sejujurnya Sahadewa menulis: tanpa pindu aku memasuki kenangan,gambar tak bergerak,kasur setengah rusak. Sahadewa dalam antologi puisi keduanya ini memang kembali sedang ‘menari’ menarikan kata dengan seperangkat instrumen dalam puisi-puisinya, mengalir seadanya.Dan kita nyaman menikmatinya. (T)

Singaraja, Desember 2016

Tags: BukuPuisiresensi
Gde Artawan

Gde Artawan

Lahir di Klungkung, 20 Februari 1959. Doktor sastra yang mengajar di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha Singaraja. Menulis esai, puisi, dan cerpen di beberapa media massa. Koordinator Dermaga Seni Buleleng (DSB) ini sudah menerbitkan sejumlah buku, antara lain “Petarung Jambul” mendapat Anugerah Seni Widya Pataka dari Pemerintah Provinsi Bali, 2008. Buku kumpulan puisinya, “Tubuhku Luka Pesisir,Tubuhmu Luka Pegunungan” diterbitkan Mahima Institute Indonesia (2014).

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi diolah dari gambar Google
Cerpen

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

by Juli Sastrawan
March 3, 2021
Pembukaan Bulfest 2019 di areal Tugu Singa Ambara Raja, Singaraja, Selasa 6 Agustus 2019
Khas

Buleleng Festival 2019 – Ini Soal Pariwisata, Bung!

Buleleng Festival (Bulfest) ke-7 tahun 2019 ini sudah dibuka, Selasa 6 Agustus sore, di areal Tugu Singa Ambara Raja. Secara ...

August 6, 2019
Popo Danes (Foto: Bentara Budaya Bali)
Acara

Berkreasi di Kepulauan – Dari “Bali Architecture Week 2019: Popo Danes And Friends”

Selama sepekan, 9-17 Februari 2019, di Bentara Budaya Bali (BBB) dihadirkan sebuah pameran arsitektur bertajuk “Bali Architecture Week 2019: Popo ...

February 11, 2019
Opini

“Kulkul” vs Media Sosial: Bukan Soal Info Cepat, tapi Soal Gerak Cepat

  KUKUL itu keramat, bukan semata karena bentuk dan tempatnya yang khusus dan suci, melainkan terutama karena suaranya yang membuat ...

February 2, 2018
Tobing Crysnanjaya || Ilustrasi tatkala.co || Nana Partha
Esai

Tentang Kopi [2] – Robusta dan Arabika di Wanagiri

Udara yang segar, pemandangan berlembah nan indah, sejauh mata memandang saya melihat hamparan kebun kopi, perjalanan melintasi jalanan berkelok-kelok akhirnya ...

June 26, 2020
Gambar Hardiman diolah dari lukisan karya Alit Suaja
Esai

Orasi Hardiman: Seni, Ambiguitas, dan Manusia

Rekan-rekan seniman, penikmat seni, kaum terpelajar, budayawan, dan hadirin sekalian. Perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada panitia “Festival Monolog 100 ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M.Hum
Opini

Tergerusnya Demokrasi Indonesia

by I Made Pria Dharsana
March 3, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (157) Dongeng (11) Esai (1419) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (480) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (337)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In