Cerpen: I Putu Agus Phebi Rosadi
DI ruang tamu, tiga orang interogator telah duduk di depanku. Matanya tajam. Seperti ingin mencengkram leherku.
“Tuan-tuan. Jangan memandang seperti itu. Kita santai saja. Hembuskan napas dan carilah posisi duduk sampai merasa nyaman. Sebentar lagi saya akan menceritakan bagaimana ia mati hari itu. Seperti kabar burung yang tuan-tuan dengar, ia memang mengidap gangguan afektif.
Saat pertama kali lelaki itu memiliki pacar dan menceritakan semuanya padaku, lelaki itu tiba-tiba merasa sedih secara berkelanjutan, lalu merasa senang beberapa menit kemudian, kemudian bersedih lagi. Lama sekali seolah-olah itu terjadi secara fluktuatif.
Kalau tuan-tuan melihat sendiri bagaimana lelaki itu memerankan hidupnya, niscaya tuan-tuan akan benar menganggap bahwa lelaki itu adalah keturunan dewa dan setan sekaligus. Saya sendiri, selaku orang yang paling dekat dengannya selalu merasa iba dan terharu pada setiap keluh-kesahnya.
Terlebih, saat dia mabuk hingga dini hari. Dia benar-benar sanggup menyirih untuk berdebat dengan bahasa yang bahkan kami berduapun tak mengerti. Dalam keadaan seperti itulah, saya harus selalu mengerti bahkan pada apa yang belum dia katakan dan turut meniru apa yang dia lakukan.
Itulah hari pertama bahwa saya tahu lelaki itu sering mengalami gangguan kiklomitik yang membikin mood-nya berubah dari sedih ke senang atau senang ke sedih secara signifikan. Tidak hanya itu, ia juga seperti mengidap enosumonia. Segala yang dilakukannya selalu berhati-hati.
Misalnya ketika makan, ia selalu mencium terlebih dulu makanan, atau melihat penampakan apa yang akan dia makan. Apakah makanan itu berjamur atau mengandung racun. Kadang-kadang sifat lelaki itu membikin setiap orang yang dekat dengannya menjadi penuh amarah seolah mendapat kecurigaan yang luar biasa. Lelaki itu sangat takut melakukan kesalahan sekecil apapun.
Tapi tuan-tuan jangan salah duga, lelaki itu mati bukan karena penyakit yang dia idap. Bukan sama sekali. Dia juga bukan mati karena usia. Tuan-tuan sendiri tahu, bahwa usianya masih sebaya denganku. Masih dua puluh enam tahun. Di usia seperti itu, manusia normal tentu sedang berada di puncak ketahanan tubuh.
Lelaki itu adalah manusia normal, tuan-tuan. Dia tak memiliki satupun cacat pada fisik. Tubuhnya bugar. Dia amat sehat dengan otot yang kekar. Saya bahkan sempat menganjurkan padanya untuk menjadi atlet gulat atau atlet panco saja. Tapi dia senantiasa menolak. Katanya, di Indonesia, menjadi atlet sama saja tidak menjadi apa-apa. Entah apa maksud perkataanya. Saya merasa tidak perlu menggali makna lebih dalam mengenai pernyataan yang tidak penting itu.
Lelaki itu, tuan-tuan, dia kadang-kadang mengajakku pergi ke suatu tempat hanya karena ingin merasakan suasana semata di tempat itu. Dan ketika kami sampai di tempat itu, kadang-kadang lelaki itu tiba-tiba langsung mengajakku pulang. Perlakuan yang seperti itu sudah biasa. Dia tak pernah merasa bersalah karena membohongi.
Dia adalah satu-satunya orang yang pernah mengajariku bagaimana membangun sebuah rumah dengan menanam bermacam-macam tanaman yang berguna di halaman. Setiap tanaman memiliki fungsinya sendiri. Begitu menurutnya. Dia juga menyarankan agar tidak memasang tangga pilin di tengah rumah. Itu adalah sumber penyakit bagi keluarga. Begitu menurut salah satu tokoh fengshui yang ia kagumi. Entah siapa tokoh itu. Lagi-lagi menurut saya bukanlah sesuatu yang penting.
Bahkan untuk tuan-tuan ketahui. Menurut saya, tak ada hubungannya antara tangga pilin dan kesehatan keluarga. Kesehatan bagi saya selalu datang dari dalam diri. Tapi, toh, akhirnya saya percaya pada perkataan lelaki itu untuk tidak menaruh tangga pilin di dalam rumah. Hal ini semata-mata hanya untuk membuat seolah laki-laki itu memiliki perkataan yang mujarab untuk mengubah hidup orang lain yang hidup di alam semesta ini.
Oh, ya, sambil bersantai ria, silakan tuan-tuan menikmati kopi yang telah disediakan istri saya. Ini kopi rubosta yang saya datangkan dari Bali. Bukan hanya jenis kopi yang menjadi daya tariknya, tuan-tuan juga harus mempertimbangkan daerah asal ketika hendak menikmati. Kopi ini rasanya sedikit masam, tapi menusuk langsung ke dalam kepala tuan-tuan sekalian. Kepala tuan-tuan akan merasa ringan sekali. Maklum, proses pengolahannya sangat alami tanpa sedikitpun sentuhan pembubuk skala lanoratorium. Ia dipetik, dijemur, disangrai, kemudian ditumbuk.
Istri saya menyeduh kopi itu dengan air rendaman cengkeh, kapulaga, kayu manis, dan satu ramuan rahasia. Khasiatnya luar biasa. Setelah meminum kopi ini, akan terjadi sesuatu pada badan tuan-tuan. Silakan tuan. Nah, bagaimana aromanya, sangat wangi bukan? Kalau rasanya tidak cocok dengan apa yang diaharapkan tenggorokan tuan-tuan sekalian, berpura-puralah menikmatinya. Begitu hal yang biasa saya lakukan untuk menyenangkan hatinya.
Sambil menemani tuan-tuan minum kopi, sebaiknya saya lanjutkan saja.
Tepat di hari kematiannya, memang benar saya ada di situ. Saya menyaksikanya. Saya tahu persis bagaimana ia mati, siapa pelaku dan apa motifnya. Saya tahu persis. Tuan-tuan tidak usah khawatir. Saya akan menceritakan semuanya. Sebagai saksi yang baik, tentulah saya memiliki tugas untuk jujur. Dan kejujuran saya ini tentulah buntut dari kesuksesan tuan-tuan selaku anggota penyelidik.
Apakah tuan-tuan mengantuk? Mengapa memejamkan mata seperti itu? Nah kalau tuan-tuan sudah tidak sabar dan merasa terlalu lama menunggu sampai saya tiba di pokok cerita. Bersabarlah sebentar lagi. Tentu tuan-tuan tidak mau rugi bukan, karena datang pagi-pagi sekali bertamu ke rumah kami? Maka baiklah tuan. Saya juga bukan tipe orang yang ingin merugikan usaha orang lain.
Saya sebenarnya amat menyayangkan kematian lelaki itu seperti saya menyayangkan kepergian seekor anjing yang baru saja saya beli dengan harga tiga bulan gaji. Saya tahu memang tidak baik membandingkan manusia dengan anjing. Tapi bukan begitu maksud saya. Bukan. Saya adalah orang sering menggolongkan rasa sayang.
Rasa sayang yang saya miliki terhadap sesuatu memiliki peringkatnya sendiri. Seperti yang saya katakan tadi, saya memiliki seekor anjing kecil. Saya sangat menyayanginya. Rasa sayang yang saya berikan terhadap anjing itu saya golongkan dalam peringkat pertama. Setara dengan rasa sayang saya terhadap lelaki itu.
Tuan-tuan, saya rasa sudah terlalu lama tuan-tuan duduk dengan posisi seperti itu. Jangan tegang-tegang. Sekarang, agar suasana lebih santai, aturlah kembali posisi duduk anda sampai menemukan posisi duduk paling nyaman. Nah, sekarang tibalah saya di pokok cerita.
Tuan-tuan, bersiaplah. Pada akhirnya, tuan-tuan bisa menuduh saya yang bercerita tentang apapun yang saya suka. Saya bisa saja membahas lebih banyak apa saja tentang lelaki itu, namun sebenarnya saya tak beranjak ke mana-mana. Sejak awal tuan telah tahu pokok cerita ini. Tentang kejujuran saya sebagai saksi, dan supaya pengakuan saya lekas selesai dengan singkat, saya ingin bertanya; apa yang tuan-tuan rasakan sekarang ini?
Perasaan yang timbul dalam dada tuan-tuan sampai detik ini, sampai saya selesai bercerita, akan sama persis seperti apa yang dialami lelaki itu sebelum mengebuskan napas terakhirnya. Lelaki itu mati dengan perasaan santai dan menunggu saya selesai bercerita tentang suatu apa saja yang telah ia ketahui sebelumnya. Hanya saja ia meminum kopi. Persis seperti kopi yang baru saja tuan-tuan nikmati. “
Tiga orang interogator masih duduk di depanku. Matanya tajam. Seperti ingin mencengkram lehernya sendiri. (T)