Cerpen: Satia Guna
Sebutlah aku wanita, mahluk yang menikmati penderitaan dengan berbagai macam rasa sakit. Sebutlah aku tanah, yang selalu diinjak tanpa menerima rasa terima kasih. Sebutlah aku tembok, yang kau ajak bicara saat kau merasa kesepian. Dan sebutlah aku sumber kenikmatan, karena seluruh tubuhku merupakan kenikmatan bagimu.
Sesajen ini tak pantas kupersembahkan padamu Tuhan. Engkau tahu aku bukanlah hamba yang lahir dari rahim-Mu, aku lahir dari rahim diri-Mu yang lain. Apakah di masa tua ini ajaran-Mu masih bisa Kau sampaikan lewat mimpiku.
Apakah ada manusia lain yang Kau titipkan ajaran-Mu kepadaku, Aku adalah janda dari seorang tentara dan memiliki tiga orang anak. Seharusnya aku adalah wanita yang bahagia secara lahir, namun batinku tak selaras dengan itu.
“Mungkin Tuhan sudah mulai bosan memberi kenikmatannya
Dengan begini aku menikmati masa senja
Masa senja seorang wanita yang berkawan bambu
Dan tembok yang penuh dengan lumut”
Suamiku meninggal tiga tahun yang lalu meninggalkan kenangan dingin yang tak ingin kuingat lagi. Semua anak-anakku sudah meninggal pula, meninggalkan wanita senja ini sendirian di balik rindu. Anakku yang sulung pergi mengikuti istrinya ke tanah Jawa dan menetap di sana, yang kedua pergi entah ke mana tak ada kabar, dan yang bungsu sempat sesekali bertahan namun pergi pula bersama istrinya ke Jakarta karena tak tahan menghadapi kedunguanku.
Sementara aku si wanita senja, memilih tetap bertahan di rumah ini ditemani dua anjing kecilku yang hingga kini ku tak mengerti cara memandikan mereka, terlebih lagi radio peninggalan suamiku sudah rusak dan aku tak mengerti bagamiana mengganti baterainya. Halaman pun kini sudah ditumbuhi rumput liar yang menambah riuh halamanku. Kini aku tak bisa lagi meminum es jeruk kesukaanku karena kulkasku sudah lama sekali rusak, bukan rusak tapi listrik di rumahku sudah padam sehingga pada malam hari yang menyinarinya hanyalah kumpulan kunang-kunang yang berkeliran di sawah dekat rumahku.
Aku bingung, kemana perginya air mataku, dengan kondisi seperti ini harusnya aku masih punya persediaan air mata untuk menghapus sesak. Jika malam sudah memayungi rumahku, itulah saat terindah bagiku, ditemani kunang-kunang yang siap menghantarkanku pada masa lalu di tanah NTT. Aku bukan orang Bali asli tapi karena rayuan tentara itu aku mau melepaskan kepercayaanku dan mengikuti kepercayaanya. Kami menikah di sana, melahirkan anak pula di sana, membesarkan mereka, mendidik mereka agar berguna nantinya. Aku sangat menikmati hidupku di sana, hidup dengan biasa saja tanpa terikat dengan sesuatu.
Berbeda sekali dengan di sini, di Bali. Aku dan suamiku pindah ke Bali tahun 2001, katanya ia sudah mendapatkan jatah tanah untuk menghabiskan masa tuanya, aku mengikuti keinginnanya untuk pergi meninggalkan kampung halamanku dan menetap di Bali.
Tiga tahun kami di Bali sangat tenang, suamiku yang sekarang sudah pensiun menjadi tentara dan anak-anakku yang masih setia menjalani pekerjaannya, sementara aku menebar senyum kebahagian kepada mereka. Tapi semua begitu cepat berlalu dihempas musim, ketiga anakku pergi meninggalkanku entah kemana, dan yang paling menyayat hati suamiku meninggalkanku terlebih dahulu menemui ajalnya.
Setelah kepergian mereka semua, penderitaan baru saja dimulai, wanita yang digadang-gadang sebagai mahluk yang kuat kini meringkuh kesakitan di dalam penderitaannya sendiri. Aku mulai kehilangan kesadaranku sebagai ibu, sebagai pemuja Tuhan bersenjata sesajen, aku sesekali mengamuk kepada Tuhan, kenapa ia tak memberiku seorang anak perempuan, kenapa ia malah memberiku anak laki-laki yang tak ada gunanya bagiku.
Setiap bulan purnama aku selalu kebingungan, kebingunganku bukan mempermasalahkan tentang bagaimana aku melewati malam dengan bulan secerah itu. Permasalahannya adalah apa yang harus aku sajikan pada-Mu Tuhan, terlebih lagi bila ada hari raya, kepalaku ingin pecah melakukan ini semua, menyiapkan sesaji bukan semudah menaruh nasi pada sepotong daun, ini melebihi perkiraanku. Yang aku takutkan pekaranganku sudah tak mau ditinggali lagi oleh para Dewa, aku takut mereka meninggalkanku, sudah cukup keluargaku saja yang meninggalkanku.
Sedihku tak berujung, ditambah rumahku berada di tengah sawah, tetanggaku hanyalah sekelompok kunang-kunang, kumbang air, capung dan burung gereja. Anak-anak takut mendekati rumahku. Karena banyak dari orang tua mereka mengganggap wanita tua sepertiku bisa nge-leak dan berpikir bila anak-anak mereka masuk rumahku, anak-anak mereka akan aku buat sup untuk kumakan. Kadang anak-anak itu melempari rumahku batu dan menertawakannya, aku berusaha kuat, aku tidak mau menambah penderitaanku dengan bersedih.
Tak ada tetangga yang membantuku melewati kegelisahanku dengan Tuhan. Yang aku tahu mereka sudah bosan membantuku karena kedunguanku sebagai wanita senja.
Kenapa Tuhan tak segera mencabut nyawaku, aku sudah puas dengan penderitaan ini, aku sudah puas dengan akhir cerita ini. Masa tua yang dipenuhi penderitaan, ditinggalkan anak dan suami, dan aku takut pula ditinggalkan oleh-Mu.
“Kini malam menambah kedunguanku
Menyiramiku dengan kenangan masa biru
Biru sebiru bibir kolam
Setiba seorang anak perempuan datang dari balik bambu
Memasuki celah hatiku yang kosong
Mengantarku pada kedamaian sejati”
Anak perempuan ini terlihat sedih, mungkin ia tersesat, ia muncul dari balik rimbun pohon bambu, membawa beberapa kenangan yang ia tulis di beberapa lembar daun kelapa. Kutanya dari mana asalnya. Ia hanya menjawab dengan kedipan mata yang tak kumengerti. Ia bermain di halaman rumahku dengan riang gembira. Hatiku tersentak hebat melihat senyum kecil gadis itu menangkapi belalang yang loncat ke sana ke mari di balik rerumputan, tubuhnya lusuh sekali. Kumandikan ia di bawah kran dan kecewanya aku di saat kutahu yang kupunya hanya sabun colek bekas cuci piring.
Saat badannya sudah bersih, aku teringat kalau aku sempat merajut baju anak perempuan yang sudah lama tak keluar dari almari. Aku menyuruhnya memakai baju tersebut, ia sangat gembira menerima pemberianku, aku ingin sekali mengatakan bahwa bukan hanya ia saja yang merasa senang, akupun merasa sangat bahagia melihatnya berputar-putar menikmati baju yang ia pakai. Lalu matanya yang mungil mulai meredup dan badannya yang hangat itu sudah mulai tidur di pangkuanku. Apa Tuhan mendengar doaku, apa Ia mendengar kesedihan nenek tua ini.
Keesokan paginya ia sudah hilang dari pelukanku, mungkin ia pulang ke rumah asalnya. Meninggalkan wanita senja yang sempat ia buat tersenyum, yang sempat dimainkan lagu kehidupan dalam iringan ingatannya.
Adakah ia kembali nanti malam membawa seikat daun kelapa dan beberapa bunga, lalu akan menemaniku membuat sesajen untuk-Mu, ataukah ia akan membuatku tersenyum kembali dengan menaruh kedua tanganya di sela-sela bibirku yang sudah melapuk ini.
Aku tertidur lelap malam ini ditemani suara jangkrik yang menuangkan seribu kehangatan dalam ragaku, aku menunggunya datang kembali, mengajariku menjadi wanita tua yang bahagia, mengajari aku cara untuk melayani-Mu, tapi ia tak kunjung datang jua sampai akhirnya mataku diterpa sorotan sinar matahari dari sela-sela pepohonan.
Galungan dan Kuningan adalah sebuah hari raya termasuk tragedi dalam hidupku di mana semuanya menjadi gelap dan tak beraturan, di mana suara riuh di setiap rumah tak terdengar di gubuk kecilku, di mana kegembiraan dan kemenangan tak kutemui di hari itu, yang aku ketahui hanyalah aku tidak punya uang, tak mengerti apa yang harus aku lakukan, dan sendirian.
Saat-saat hari raya seperti ini sesajen yang kuhaturkan hanyalah buah-buah liar yang aku pungut dari tegalan seperti buah badung, kaliasem, juet, duku, dan sentul. Dan untuk jajanan sesajen yang kuhaturkan hanya jaja gina, jaja uli, dan iwel yang aku terima dari orang-orang yang mengerti keadaanku ini. Aku tak kan bisa membeli buah-buah import dan jajanan yang berharga puluhan ribu untuk-Mu. Gaji pensiunan suamiku tak kan mampu membiayai kehidupanku dan kehidupan-Mu Tuhan.
Saat mencari buah-buah liar di tegalan aku melihat ia lagi, iya, si anak kecil yang membuatku bahagia, ia sedang memetik buah kaliasem yang tumbuh liar di tegalan. Ia lantas memandangku, mungkin ia tahu kalau aku memperhatikan gerak-geriknya selama memetik buah kaliasem. Lalu ia mendekatiku dan bertanya,
“Nenek sedang apa di tegalan ?”
Ia menatapku dengan riang gembira, aku pun menjawab dengan wajah seram diimbangi tertawa
“Nenek sedang mencari anak kecil untuk nenek masak nanti malam.”
Ia hanya tersenyum dan menggoyang-goyangkan roknya
“Nenek hanya bercanda, nenek sedang mencari buah untuk membuat sesajen Galungan”
“Aku ikut bantu ya nek ?”
Aku terkejut akhirnya aku tak kesepian lagi membuatkan-Mu sesajen Tuhan, akhirnya aku menemukan malaikat kecil yang akan menemaniku.
“Ringkuhlah hati saat senja tiba
Membawamu pada gubuk penuh dosa
Sementara kau malaikat kecil menorah rasa
Terperosok menemaniku menyelami manis penderitaan
Tanpa muara”
Tangan mungilnya merajut satu persatu canang, ia sangat terampil sekali, entah siapa yang mengajarinya, tapi aku, aku juga ingin diajari membuat sesajen seperti itu, tolong ajari aku.
Hanya selang beberapa menit sesajennya sudah jadi, sangat apik, dihiasi buah-buah liar lalu dipercantik dengan susunan jajan gina, iwel, dan uli. Kerja kami berdua sangat apik. Aku menghadiahinya semangkok bubur beras merah karena telah menolongku membuat sesajen tersebut. Ia sangat gembira sampai-sampai ia berdiri dan memeluku, sontak aku terenyuh dan seperti berjalan di atas ruang dan waktu melihat beberapa foto yang kuabadikan bersama suami dan anakku, air mataku bak air bah yang tak bisa dibendung lagi, aku bahagia Tuhan.
Setelah selesai menyantap bubur ia lalu berpamitan pulang.
“Mau pulang ke mana Gek ?”
“Gek, mau pulang ke rumah. Nek.”
“Diamlah semalam di sini, nanti kita sembahyang bersama ke Pura “
“Aku harus pulang. Nek, Ibuku menungguku.”
“Bilanglah pada ibumu kalau kau akan menginap di sini semalam. Gek.”
“Tak bisa Nek, Aku harus..”
“Harus apa?”
“Aku harus memandikan ibuku, menyuapinya makanan, memakaikannya baju, serta mencium keningnya sebelum ia tertidur.”
Aku tak dapat bergerak, mulutku terasa kaku, kaki dan tanganku mulai bergemetar, ia hanyalah seorang anak kecil, bagaimana Kau bisa menciptakan seorang anak kecil seperti ia, mengapa wajahnya tak terlihat sedikitpun menderita, mengapa ia begitu tegar. Aku terlalu egois, aku terlalu mendalami lakonku sebagai wanita lemah, dan ingin segera mengakhiri cerita ini. (T)
Gianyar, 21 Januari 2016