SETIAP manusia, kelompok manusia bahkan suatu bangsa dan negara di mana pun di muka bumi ini sangat dipastikan memiliki kisah, cerita atau catatan-catatan tersendiri yang diabadikan dan disimpan secara rapi. Kelak di kemudian hari anak-cucu atau keturunan mereka bisa membaca, menggali, mengetahui, memahami, menyadari keberadaan dirinya serta kewajiban dirinya sebagai keturunan anak bangsa untuk melanjutkan keterlangsungan dari segala jerih payah kekaryaan yang telah dirintis leluhur mereka.
Dalam bahasa ilmu pengetahuan narasi atau frase di atas dikenal dengan istilah sejarah. Sejarah menurut penulis juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan fakta-fakta atau bukti-bukti tertulis maupun bukti berupa materi (kebendaan) yang dapat menunjukan keabsahan atau kesahihan suatu situasi, kondisi atau suatu komunitas tertentu. Adanya masa kekinian sesungguhnya karena adanya masa lalu.
Satu lagi opini liar yang tetap berkembang di masyarakat umum luar Baduy yang sulit terhapus yaitu pandangan atau pendapat dan pemahaman yang masih kental dan melekat terhadap kesukuan Baduy terutama di kota-kota besar adalah adanya anggapan atau lebih tepatnya ada pengistilahan “Baduy 40 Suhunan “atau “Baduy 40 Keluarga atau Jiwa “dan ‘Baduy Dalam 40 Rumah”.
Sampai saat ini jujur penulis belum membaca pendapat tersebut ada di buku mana, karangan siapa atau artikel mana. Selama kurun waktu 30 tahun (1995- 2025) bergaul dengan masyarakat Baduy kesimpulan sementara dari orang-orang yang berkunjung ke Baduy tentang cerita Baduy 40 jiwa atau 40 rumah atau 40 keluarga penulis sering dengar, bahkan ditanya secara langsung saat memandu para pengunjung dan peneliti Baduy.
Penulis sering menjawab dan membuktikan bahwa anggapan tersebut adalah suatu anggapan yang keliru sangat salah dan sangat tidak bisa dipertanggunjawabakan kebenarannya. Kami membantah pendapat tersebut dengan cara langsung membawa mereka ke lokasi untuk membuktikan secara visual tentang ketidakbenaran anggapan tersebut.
Fakta membuktikan, bahwa di Baduy dalam Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik jumlah penduduk, jumlah rumah dan jumlah keluarga sudah lebih dari 40, dari data penduduk tahun 2018 tercatat 539 jiwa, 163 KK, 96 rumah untuk kampung Cibeo, 141 jiwa 39 KK 41 rumah di Cikartawana dan 528 jiwa 156 KK 93 rumah di kampung Cikeusik. Lalu mengapa muncul mitos atau cerita tentang Baduy 40 Suhunan?
Bantahan dan Penjelasan Tokoh Adat
Menurut penjelasan Almarhum Jaro Dainah mantan Kepala Desa Kanekes, Ayah Mursid, dan juga pemuka adat lainnya, cerita tentang 40 suhunan tersebut dimungkinkan muncul atau dimunculkan oleh orang-orang Belanda yang menjajah kepulauan kita saat itu.
Konon ketika Belanda berkunjung ke Lebak Gedong (ibu kota Kabupaten Lebak masa lalu) pernah bertanya pada tokoh adat masyarakat Baduy yang menghadiri saat itu dengan pertanyaan di mana lokasi dan berapa jumlah warga Suku Baduy?
Demi untuk mempermudah dan mempersingkat, maka aparat desa saat itu menjawab jumlah mereka 40 suhunan dan berada di hutan belantara. Jawaban inilah yang kemudian hari diberitakan secara luas oleh penjajah sehingga menyebar dan akhirnya menimbulkan keragaman tentang adanya cerita atau mitos Baduy 40 Suhunan dengan variasi cerita yang berbeda-beda.
Komentar tegas dari Ayah Mursid tentang mitos tersebut adalah:
“Carita 40 suhunan eta carita atawa pendapat anu salah kacida gedena. Istilah opat puluh suhunan dikami euwueh carita jeung kanyataanana, batas jumlah opat puluh lain dibelotkeun kana batasan opat puluh jiwa, opat puluh kaluarga atau opat puluh suhunan. Nu jelas jeung nu tegas kudu ditetapkeun mah nyaeta Baduy dalam kudu tetep jumlahna tilu tangtu ulah dirobah atawa ditambah-tambah salain Tangtu Cibeo, Cikartawana oge Tangtu Cikeusik. Masalah jumlah suhunan, warga atawa jiwa jeung jumlah kaluarga euweuh hukumna kudu dibatesan. Nu jelas mah imah bisa nambah, jiwa bisa nambah keluarga oge bisa nambah“.
Artinya: Cerita 40 rumah itu adalah cerita atau pendapat yang salah besar sekali, istilah empat puluh rumah di Baduy tidak ada ceritanya bahkan kenyataan atau buktinya pun tidak ada, batasan empat puluh bukan dibelokan pada batasan empat puluh jiwa, empat puluh keluarga atau empat puluh rumah.
Yang jelas dan tegas yang harus ditetapkan adalah bahwa Baduy dalam harus tetap jumlahnya 3 Tangtu (Kampung), jangan diubah atau ditambah-tambah selain Tangtu Cibeo, Cikartawana dan Tangtu Cikeusik. Masalah jumlah rumah, warga atau jiwa, serta jumlah keluarga tidak ada hukumnya harus dibatasi. Yang jelas rumah bisa bertambah, jiwa atau warga bisa bertambah, keluarga juga bisa bertambah “.
Penjelasan yang senada juga diberikan oleh Almarhum Jaro Dainah pada saat Seba Leutik 2010 bahwa: “Istilah Baduy 40 jiwa atawa Baduy 40 kuren atawa kaluarga, Baduy 40 suhunan atawa imah asal muasalna tina kajadian jaman pamarentahan Belanda waktu nanyakeun sabaraha jumlahna masyarakat Baduy. Waktu harita dijawab masyarakat Baduy mah jumalahna loba nu dipimpin ku tokoh adat nu jumlahna kurang leuwih 40 urang. Tah kajadian eta nu ngajadikeun aya anggapan atawa pendapat diluar yen masyarakat Baduy dalam disebut Baduy 40 suhunan“.
Artinya: Istilah Baduy 40 jiwa atau Baduy 40 keluarga, Baduy 40 rumah berasal atau berawal dari kejadian jaman pemerintahan Belanda waktu menanyakan berapa jumlahnya masyarakat Baduy. Waktu itu dijawab masyarakat Baduy jumlahnya banyak yang dipimpin oleh tokoh adat yang jumlahnya kurang lebih 40 orang. Nah kejadian tersebut yang mengakibatkan adanya anggapan atau pendapat di luar bahwa masyarakat Baduy Dalam disebut Baduy 40 suhunan.
Ayah Mursid juga mempertegas bahwa dampak dari menyebarnya pendapat Baduy 40 suhunan menimbulkan praduga bahwa di Baduy Dalam adanya aturan pembatasan jumlah jiwa, rumah, keluarga yang mendiami kampung Baduy Dalam itu jumlahnya harus 40. Sehingga muncul pula anggapan bahwa kalau warga bertambah dan lebih dari 40 maka harus dikeluarkan dari perkampungan Baduy Dalam. Pendapat ini sangat bertentangan dengan hukum adat dan kenyataan yang ada.
Komentar lanjutan Ayah Mursid:
“Di Baduy Dalam teu dikenal hukum adat pembatasan jumlah jiwa atau jumlah imah, komo deui kudu ngaluarkeun warga nu geus aya. Eta sarua bae jeung ngusir jelema tanpa dosa. Di Baduy mah justru ngamumule hak jeung pilihan masing-masing. Malah lamun aya nu ngalanggar kana hukum adat oge teu sagawayah dihukum atawa dikalurkeun kudu diproses secara musyawarah heula. Sakali deui eta anggapan Baduy 40 suhunan kudu geura diluruskeun sabab bisa terus-terusan nimbulkan fitnah atawa carita nu teu bener, nu akhirna nimbulkeun carita goreng keur suku Baduy”
Artinya: “Di Baduy Dalam tidak dikenal hukum adat pembatasan jumlah jiwa atau jumlah rumah, apalagi harus mengeluarkan warga yang sudah ada. Itu sama saja dengan mengusir manusia tanpa dosa. Di Baduy justru sangat menjunjung tinggi hak dan pilihan masing- masing. Jikalau ada warga yang melanggar pun tidak seenaknya dihukum atau dikeluarkan harus melalui proses musyawarah terlebih dahulu. Sekali lagi anggapan Baduy 40 suhunan harus segera diluruskan sebab secara terus-menerus dapat menimbulkan fitnah atau cerita yang tidak benar dan itu akan berdampak negatif pada kesukuan Baduy.”
Secara khusus penulis kembali mempertanyakan tentang kebenaran mengapa muncul angka 40 suhunan atau jiwa yang masih tetap melegenda di masyarakat luar Baduy pada Jaro Saija sebagai kepala Desa Kanekes baru (Jaro Pamarentah). Alhasil beliau mengomentarinya seperti ini: “ Di Baduy euweuh jeung teu nyimpen carita atawa dongeng 40 suhunan atau 40 jiwa. Nu aya hukuman adat 40 poe keur warga Baduy Dalam anu ngalanggar adat anu beurat. Jigana baheula aya jelema anu nanyakeun atawa naliti tapi salah ngadenge akhirna jadi salah nyaritakeun“.
Artinya: “Di Baduy tidak ada dan tidak menyimpan ceritera atau kisah 40 suhunan atau 40 jiwa. Yang ada adalah hukuman adat 40 hari bagi warga Baduy Dalam yang melanggar adat secara berat. Sepertinya dahulu ada manusia yang bertanya atau meneliti tetapi salah mendengar.. akhirnya jadi salah menceriterakan…”. (Kunjungan Mahasiswa AKBID Mitra Ria Husada, 2018).
Kerugian dari Mitos Liar Baduy 40 Suhunan
“Kebohongan yang diulang-ulang bisa menjadi kebenaran dan pembernaran yang terus menerus dilakukan pada hal yang tidak benar akan menjerumuskan pengetahuan dan bias keilmuan.” (Asep Kurnia, Februari 2025 ).
Mitos liar di atas sangat dipercaya ratusan tahun oleh publik karena tidak ada yang berani meluruskan cerita yang sebenarnya berupa tulisan resmi, sehingga terus menerus mengakibatkan pembohongan publik. Sampai para akademisi pun ikutan terbawa arus atau terperosok oleh informasi yang tidak berdasar itu.
Artinya kesahihan informasi terus terpolusi, dan ilmu pengetahuan terutama kesejarahan menjadi bias dan atau membelok atau menyimpang dari fakta yang sebenarnya. Itu kerugian pertama yang penulis istilahkan atau sebut adanya “Kekacauan dan Kesesatan Pengetahuan.”
Kerugian kedua, dari kerugian adanya kesesatan pengetahuan maka berlanjut pada kesesatan keyakinan yang melekat pada publik yang berdampak pada makin bertambahnya korban pembohongan pengetahuan di masyarakat. Tentunya situasi tersebut menjadi situasi dan kondisi yang rumit dan amat negatif, karena mengarahkan dan menterlanjutkan sikap berdosa masyarakat luar Baduy yang terus memandang bahwa warga Baduy Dalam itu dibatasi hanya 40 rumah, padahal berita itu terus diselimuti oleh kebohongan.
Kerugian ketiga, adalah adanya efek psikologis pada masyarakat Baduy karena harus menanggung beban atas kebohongan cerita tersebut yang nyata-nyata bertentangan dengan fakta yang ada. Di dunia luar, Baduy Dalam masih selalu dinyatakan aman, nyaman dan sejahtera karena mampu swasembada pangan, padahal kenyataan yang nyata adalah sedang terjadi krisis pangan karena tanah garapan untuk “Ngahuma” ( berladang ) makin menyempit dan tidak lagi subur. Kalau 40 suhunan menjadi alasan bahwa Baduy Dalam aman, nyaman sejahtera penulis bisa terima, tapi sekarang jumlah penduduk dan KK di Baduy Dalam itu bukan 40 tapi sudah diangka 1400 jiwa lebih dan hampir 400 KK lebih dengan luas tanah garapan berladang luasnya tidak bertambah.
Ilustrasinya : “ Dulu satu hektare digarap hanya oleh satu keluarga dengan masa bera (istirahat) 7 tahun ke atas. Sekarang satu hektare digarap oleh 5-8 KK dengan masa bera cuma 2 tahun. Sekarang bagaimana hasil padinya? Banyak gagal panen dan paceklik. Stiuasi dan kondisi sering gagal panen susah cari bibit padi untuk ngahuma di tahun berikutnya ini sudah terjadi dari sekitar 15 tahun lalu. Pemerhati dan pemerintah ikut terbohongi oleh “mitos liar” tersebut, sehingga kebijakan pada kesukuan mereka belum clear dan clean sebagaimana mestinya karena terhalang dan tersandung oleh kesalahan data dan kesalahan informasi.
Tentunya masih banyak kerugian-kerugian yang sama fatalnya akibat cerita liar yang tak berdasar di atas. Silahkan pembaca kaji dan analisis sendiri secara teliti dan sahih. Semoga tulisan ini lebih memberi manfaat pada semua pihak, untuk bisa hijrah pengetahuan tentang kekinian seputar dan sekitar suku Baduy. Bisa mengubah persepsi dan pandangan semua pihak, sehingga bisa menterjemahkan bentuk bantuan dan kebijakan apa yang pantas, layak dan tepat diberikan pada mereka. Kalua bukan sama kita-kita, lalu sama siapa lagi mereka diperhatikan? [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA