TIDAK mudah mendapatkan pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga di saat ini. Banyak lowongan pekerjaan ditawarkan, namun yang mendaftar lebih banyak daripada jumlah lowongan pekerjaan itu.
Apalagi bagi Bejo Suradi yang hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP). Sebagian besar lowongan pekerjaan ditujukan bagi lulusan sarjana maupun diploma perguruan tinggi. Paling rendah lulusan sekolah menengah atas (SMA). Nyaris tak pernah ada instansi pemerintah maupun swasta yang membuka lowongan pekerjaan untuk lulusan SMP.
Ayah Bejo hanya buruh tani milik seorang perangkat di desanya. Ibunya juga hanya penjual sayur keliling di desa. Bejo tak mampu melanjutkan sekolah ke SMA. Selain masalah biaya sekolah, Bejo juga merasa sudah bosan harus belajar terus di sekolah. Apalagi SMA di kota letaknya sangat jauh dari desanya.
Bejo memilih untuk mewarisi pekerjaan ayahnya, menjadi buruh. Namun ia memilih untuk menjadi buruh bangunan. Awalnya memang Bejo tak paham soal seluk-beluk bangunan. Ia banyak belajar dari pamannya yang kebetulan menjadi mandor bangunan dari satu proyek ke proyek lainnya.
Menjadi buruh bangunan tentu saja bukan cita-cita Bejo. Keadaanlah yang mengantarkannya menggeluti pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah ini. Meskipun bekerja sebagai buruh bangunan, Bejo menyukainya. Apalagi ia masih bujangan. Upah yang ia terima cukup jika hanya untuk makan dan jajan sehari-hari. Termasuk untuk membeli sebungkus rokok murahan di warung.
Kota demi kota sudah Bejo kunjungi untuk menjadi buruh bangunan. Ia pulang ke rumahnya di Cirebon sebulan sekali. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di kota tempat ia bekerja. Sedangkan untuk tidur, Bejo hanya menggelar tikar di lantai bangunan yang sedang ia kerjakan. Awalnya memang tidak nyaman. Namun kelamaan Bejo menjadi terbiasa, dan tidur dengan nyenyak.
***
Paman Bejo mendapat borongan pembangunan proyek kampus di kota Purwokerto. Bejo kembali diajak untuk menjadi buruh bangunan. Ia tidak sendirian. Teman-teman buruh yang lain berasal dari Brebes, Tegal, dan Purwokerto. Karenanya Bejo merasa senang bekerja dengan teman dari berbagai daerah. Mereka biasanya saling bercerita saat istirahat siang atau menjelang tidur malam.
Paman Bejo pernah menasehatinya agar bekerja dengan serius. Jangan meninggalkan sembahyang, dan selalu berdoa sebelum bekerja dan sebelum tidur malam. Menurut pamannya, lokasi proyek bangunan di kampus kali ini termasuk angker. Bangunan bekas gedung perpustakaan itu akan dijadikan pusat perkuliahan lima lantai. Banyak makhluk halus yang sering berkeliaran di sekitaran kampus.
Benar saja, saat Bejo hendak terlelap, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sekelebat bayangan putih di atas beton proyek bangunan. Bejo berusaha mengamati dengan seksama. Bukan hanya sekali bayangan itu melintas tepat di atas tempatnya tidur. Bayangan itu seperti sengaja mondar-mandir.
“Apa yang terbang di atas ?“ pikirnya.
Awalnya ia menduga itu adalah bayangan tiang pancang bangungan yang memantul terkena sorot lampu mobil yang lewat di jalan sebelah kampus. Namun bayangan itu berkali-kali melintas di atas.
Bejo bangun berdiri. Sementara Pardi dan Yono rekan kerjanya sudah tertidur pulas. Ia tak ingin mengganggu mereka yang kecapaian bekerja seharian. Selain itu Bejo juga hanya ingin memastikan apa sosok yang beterbangan itu. Belum lagi terjawab rasa penasaran Bejo, terdengar suara perempuan yang melengking keras.
“Hiii…hiii…hiii…” Bejo dengan jelas mendengar suara itu. “Hahh… kuntilanak!” teriaknya.
Bejo segera membangunkan Pardi dan Yono.
“Bangun… bangun.. ada Kuntilanak terbang..!”, kata Bejo sambil menggoyang-goyang tubuh temannya. Pardi dan Yono terkejut. Di tengah kesadarannya yang belum penuh, mereka melompat berdiri berbarengan.
“Mana kuntilanak?!” tanya Pardi.
“Itu di atas atap bangunan,” jawab Bejo sambil menunjuk ke arah atas.
Pardi dan Yono melihat ke atas. Kuntilanak itu masih terbang kesana-kemari sambil tertawa cekikikan. Mereka tak habis pikir, dari mana Kuntilanak itu datang? Mengapa di kampus yang akan didirikan bangunan megah ini ada kuntilanaknya?
Bejo berdiri sambil membuka telapak tangannya. Ia komat-kamit membaca ayat kursi yang ia percayai dapat mengusir hantu. Sementara Pardi yang dikenal pemberani justru mengacungkan kepalan tangannya ke atas.
“Hai…, Kuntilanak, sundel bolong… pergi kamu..!” katanya menantang.
Kuntilanak itu bukannya pergi, malah tertawa keras ke arah mereka. Pardi merasa dongkol. Sementara Yono merasa ketakutan. Ia berdiri di belakang Bejo yang masih berdoa. Seumur hidup baru kali ini Yono melihat langsung kuntilanak. Biasanya ia hanya menyaksikan hantu perempuan itu di film-film horor.
Cukup lama kuntilanak itu beterbangan di atas proyek bangunan. Hal itu membuat Bejo dan teman-temannya kelelahan mengusirnya, selain juga ketakutan di malam hari. Apalagi wajah kuntilanak itu tampak rusak, hancur, dan sangat menyeramkan.
Setelah berkali-kali Bejo melafalkan doa, kuntilanak itu pergi sambil tertawa nyaring. Suasana malam dan sedikit gelap lantaran minimnya penerangan membuat buruh bangunan itu gemetaran. Rasa kantuk yang begitu kuat mengantarkan mereka untuk kembali tidur dengan perasaan tak tenang.
***
Kuntilanak terbang di area proyek bangunan bukan hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Hampir setiap hari kuntilanak itu datang, terutama ketika mereka sedang bersiap diri untuk tidur malam. Bukan hanya terbang dan tertawa cekikikan. Kuntilanak itu kadang juga menjatuhkan material bangunan yang ada di lokasi proyek.
Malam Jumat menjadi hari di mana kuntilanak itu seringkali muncul. Seperti malam ini, Kuntilanak itu datang dengan diawali dengan bau busuk di area proyek bangunan. Begitu menyengat seperti bau bangkai.
Bejo, Pardi, dan Yono sudah tertidur pulas ketika tiba-tiba mereka mencium bau busuk di atas proyek bangunan. Kuntilanak itu menggantung dengan kepala menghadap ke bawah seperti kelelawar. Matanya seperti menyala, menatap ketiga buruh bangunan itu. Saat mereka bangun, kuntilanak itu tertawa keras sambil menampakkan lidahnya yang merah.
Tidak terlihat dengan jelas apakah kuntilanak itu berlubang di punggungnya. Sebab, menurut cerita banyak orang, kuntilanak punggungnya berlubang. Mereka tidak mempermasalahkan itu. Bagi mereka yang penting makhluk yang biasa disebut sundel bolong itu bisa segera pergi dari proyek bangunan.
Seperti biasa, Pardi bangun dan mencoba mengusir kuntilanak itu. Namun bukannya kabur, kuntilanak itu kembali terbang dari satu tiang beton bangunan ke tiang beton lainnya. Sambil sesekali ia meraih besi cor di atas bangunan untuk dijatuhkan.
Pardi semakin berang. Ia mengambil potongan bambu yang ada di proyek bangunan. Kata orang, kuntilanak takut pada potongan bambu, karena tak mau punggungnya tertancap bambu. Pardi tak peduli benar atau tidak omongan orang. Kali ini ia ingin mengujinya sendiri.
“Hai.. kuntilanak jelek… pergi kamu.. kalau nggak mau aku tusuk pakai bambu ini..!” teriak Pardi sambil mengacung-acungkan bambu dengan gerakan menusuk.
Benar saja. Kuntilanak itu segera pergi keluar area proyek bangunan. Namun sebelum kabur, hantu perempuan itu masih sempat tertawa panjang. Seolah sengaja mengejek mereka. Pardi pun melemparkan bambu yang dipegangnya ke arah Kuntilanak. Sekejap kuntilanak pun lenyap.
***
Bejo mengadu kepada pamannya yang mandor proyek bangunan di kampus. Ia bercerita tentang hantu kuntilanak yang beterbatangan di atas bangunan. Bejo berharap pamannya dapat mengatasi, karena menganggu tidurnya. Selain itu, teman-teman Bejo juga merasa tidak nyaman bekerja jika setiap malam diganggu hantu perempuan itu.
Paman Bejo hanya tersenyum mendengar cerita itu. Katanya hal itu biasa terjadi pada proyek yang berasal dari bekas bangunan tua. Hantu yang bergentayangan di proyek bangunan adalah para penghuni di bangunan yang lama; atau bisa juga lokasi bangunan itu memang awalnya tempat angker.
Esoknya, paman Bejo membawa Mbah Karto, “orang pintar” atau paranormal ke proyek bangunan di kampus. Mbah Karto di kampungnya dikenal sebagai dukun yang mampu mengusir roh halus atau hantu. Biasanya dilakukan melalui ritual layaknya seorang dukun.
Sebelum melakukan ritual, Mbah Karto mengamati seluruh area proyek bangunan. Kemudian ia mengeluarkan bungkusan dari dalam tas kresek. Isinya bunga atau kembang tiga rupa yang terdiri dari mawar, kenanga, dan cempaka. Sejurus kemudian ia membakar kemenyan.
“Saya akan pindahkan dia ke tempat lain. Bukan mengusirnya,” kata Mbah Karto sebelum membacakan mantra. Ia lantas secara khusyuk membaca mantra dalam bahasa Jawa. Sesaat kemudian terdengar suara perempuan tertawa keras dari atas bangunan. Persis seperti yang Bejo dengar pada malam itu. Kuntilanak berambut panjang yang terbang kian-kemari di proyek bangunan.
“Ayo ikut aku ke hutan Limpakuwus,“ kata Mbah Karto pada kuntilanak itu. Tidak terdengar jawaban apa pun. Namun suara tertawa itu sekejap berhenti. Mbah Karto menyampaikan kepada Bejo dan pamannya akan membawa kuntilanak itu pindah rumah ke bebukitan Limpakuwus, Baturraden, di sebelah utara kampus.
Bejo percaya saja kepada Mbah Karto. Apalagi dukun itu memang memiliki pengalaman yang banyak tentang perhantuan. Dan itu terbukti. Malam-malam berikutnya, Bejo dan kawan-kawannya tidak lagi melihat dan mendengar suara kuntilanak itu. Kalau pun ia terbangun tengah malam; itu karena ia digigit nyamuk yang beterbangan di seputar proyek bangunan.
- Ini adalah cerita fiksi misteri bersambung. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa hanyalah kebetulan dan rekaan penulis semata