DANAU SUNTER
Pagi ini
Adakah yang menangis
Meratapi jernih yang hilang
Di Danau Sunter?
Siang ini
Adakah yang bertanya
Di mana sejuk udara Jakarta Utara
Disembunyikan megahnya metropolitan?
Dari seberang jalan
Yang memisahkan kamar tidurku
Dengan Danau Sunter
Samar-samar kulihat
Seseorang begitu tenang memancing
Mengabaikan hempasan angin kendaraan
Yang membawa sampah-sampah ke dekat kakinya
Padanya aku ingin bertanya
Berapa harga air minum di Jakarta?
Tapi aku tak berani mengganggunya
Karena aku pikir
Dia juga sedang memancing impian
Tentang masa lalunya yang tenteram
Atau masa depannya yang suram
Yang ditenggelamkan keruh kehijauan
Danau Sunter
MARI MENARI
Hidup yang sibuk
Bumi hiruk-pikuk
Masih adakah waktumu?
Mari bercermin
Menatap wajah dan diri sendiri
Untuk mencermati pakaian berbagai merek
Yang selama ini dengan bangga
Kita beli dari toko-toko pesanan
Lalu kita lekatkan membungkus badan
Dipakai ke mana-mana
Sambil mendengarkan musik kekinian
Dari gawai yang melekat di tangan
Telah lama
Kita meninggalkan songket tenun dan kain mastuli
Yang ada di lemari warisan nenek
Kamben dan kebaya hanya sebagai kewajiban
Yang kita gunakan demi peraturan
Tanpa kita pahami maknanya
Sementara itu
Kita begitu sering lupa
Pada kidung dan irama gamelan
Yang telah membesarkan negeri
Dan mengantarkan kita menuju dewasa
Sebagai bangsa berkepribadian luhur
Mari mainkan lagi gamelan kita
Tapi jangan hanya dijadikan pengiring
Atau sekadar pencitraan di dunia maya
Mari menari
Kenakan songket dan selendang dari ibu
Hias lagi rambutmu
Dengan bunga cempaka, sandat, dan jepun
Kita persembahkan tarian
Dari tradisi daerah dan seluruh suku
Yang menjadi jiwa dan jati diri nusantara
Sebagai perayaan dan ungkapan syukur
Pada hidup dan kehidupan.
TAHUN 90-AN
Sudut-sudut kota
Dengan lampu remang-remang
Kendaraan belum banyak berlalu-lalang
Rumah dominan cat putih
Dengan gorden bunga-bunga
Jangan lupakan lampu gantung di kamar tamu
Siswa berangkat berjalan kaki
Karena pagi-pagi orang tua sudah bekerja
Dengan telepon umum
Menghubungi kekasih
Kadang mengirim surat
Atau naik angkot bersama
Jalan-jalan ke taman kota
Sekalian pergi ke pasar
Semua sederhana, apa adanya
Di tahun 90-an
PESAN UNTUK IBU
1/
Ibu, ada pesan dari putrimu
Panjang umur katanya
Dia Lelah, menata hidupnya yang tidak jelas
Juga malu untuk sekadar mengatakan
“Ibu, aku rindu”
Kemarin kulihat dia
Termenung di tempat rantauan
Sambil memandangi genangan air
Setelah guyuran hujan malam tadi
Namun, dia tak sendiri
Ditemani sepiring bolu pandan
Dari acara tetangga tempo hari
Belakangan ini dia sibuk
Tapi belum sempat kutanyakan
Mungkin lain kali
Saat ada waktu
2/
Ibu, ini putrimu
Ibu, aku lelah
Ibu, sekarang pukul berapa?
Ibu, hari ini apa lauknya?
Ibu, aku lapar
Ibu, ternyata aku bukan anak-anak lagi
Sekarang aku mengerti
Kenapa saat aku pergi
Ibu selalu berkata hati-hati
Karena saat aku tak bersamamu,
Aku tersesat
Terseok
Hilang arah
Ibu, aku tak menemukan jalan pulang
Dari hidup yang merisak-rundung
Suaraku melaung-nyaring
Ibu, aku hilang arah
AMOR FATI
Dalam permainan tak berujung ini aku kalah
Tidak tahu harus apa
Semoga para malaikat memudahkan jalan
Bagi mereka yang terbawa ombak nestapa
Maka di bawah langit kelabu aku berkata
“Ini bukan salah siapa-siapa
Aku tak mengutuk siapapun
Tak juga mengutuk Sang Pencipta
Semua hanya perihal kekosongan
Dari jiwa tak berdaya”
Barangkali Tuhan tahu
Aku tak pantas untuk itu
Bayanganku bergerak kalut
Di Tengah ruangan tak bertepi
Aku meringkuk
Dalam kesedihan yang tak kunjung usai
Aku merelakan diri
Dari keinginan yang memaki
Ah, hidup
Bagaimana caranya mencintaimu?