TUMBANGNYA tapuk kekuasaan orde baru selama 32 tahun dengan karakteristik pemerintahan otoriter memberikan iklim politik yang kurang pluralistis. Berakhirnya kekuasaan orde baru, melahirkan era yang disebut dengan era reformasi dimana era ini menjadi titik awal pemberian ruang-ruang yang lebih terbuka dan demokratis untuk seluruh bangsa Indonesia, tak terkecuali dalam urusan pemilu.
Kebijakan pemilu di era reformasi mengalami perubahan begitu kompleks mulai dari wilayah pusat sampai daerah. Berbicara terkait dengan kebijakan pemilu di daerah berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 kepada daerah dipilih langsung oleh rakyat, yang sebelumnya kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD.
Kontestasi politik memiliki daya tarik tersendiri dalam setiap periode pelaksanaannya. Mengulik pemilu kepala daerah tahun ini yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024, lebih-lebih pemilu yang dilaksanakan di Provinsi Bali tahun ini sangat menarik untuk diikuti prosesnya. Perihal menariknya tertuju pada proses kampanye dari masing-masing paslon untuk mencari simpatisan di masyarakat.
Belakangan ini proses kampanye menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Sebagai misal, kampanye di media sosial menggunakan platform Tiktok, Instagram, Facebook dan mereka masing—masing paslon mempunyai akun pribadi yang dikelola langsung oleh tim pemenangnya. Masing-masing paslon mengemas dan mengiklankan dirinya dengan semenarik mungkin—mengikuti tren saat ini.
Jika mengacu pada data pemilih berdasarkan generasi yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi Bali sebanyak 51% pemilih berasal dari generasi milenial dan generasi z. Artinya, mereka-mereka sebagian besar sudah terkontaminasi oleh teknologi (baca:handphone) dan inilah yang dimanfaatkan oleh paslon masing-masing untuk kampanye secara “senyap”. Mereka yang menonton cuplikan-cuplikan kegiatan masing-masing paslon di platform media sosial dan memungkinkan untuk saling mempengaruhi satu sama lain dalam hak memilih.
Tentu yang menjadi perhatian disini ialah paslon-paslon pejabat publik menggunakan media sosial untuk berkampanye. Lalu, timbul pertanyaan, apakah kampanye secara konvensional menggunakan media spanduk telah usang? atau sudah tidak efektif lagi?. Kalau menurut opini saya, kampanye-kampanye secara konvensional dengan cara menebar spanduk di sepanjang jalan seperti itu masih efektif namun tidak berpengaruh besar dalam dunia yang sudah serba teknologi ini. Jadi, pilihan untuk kampanye di media sosial salah satunya adalah pilihan yang efektif dan efisien. Namun, bagi saya pribadi, kampanye yang dilakukan di media sosial oleh calon pejabat publik ini memberikan kesan semu di masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa perilaku-perilaku yang menunjukan hal tersebut.
Dimulai dari cara berpakaian masing-masing paslon kepala daerah di Bali yang meniru gaya anak muda agar kelihatan paslon memiliki gaya yang sama dengan anak-anak muda yang kebetulan generasi muda sebagai data pemilih dibilang cukup besar. Pemanfaatan cara berpakaian seperti anak muda ini memang betul-betul dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, walaupun secara penampilan, menurut saya mereka kurang cocok mengadopsi itu.
Lagi-lagi ini berbicara tentang bagaimana upaya mereka untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di masyarakat melalui generasi milenial dan generasi z. Mengimitasi cara berpakaian ini secara tidak langsung mereka melakukan kampanye semu. Akan tetapi, ini rasanya cukup efektif untuk mendulang pundi-pundi suara dalam pemilihan kepala daerah tahun ini, walaupun kesannya sedikit memaksa.
Kemudian, dengan melontarkan jargon-jargon yang sedang viral di media sosial. Notabene jargon-jargon yang tengah viral di media sosial ini dicetuskan dan diadopsi oleh anak-anak muda. Lalu, calon-calon pejabat publik itu ditengah-tengah melakukan kegiatan orasi, datang ke masyarakat selalu menyelipkan jargon ciri khas mereka.
Lalu apakah masyarakat tidak ada yang mengikuti jargon itu ketika dilontarkan? Tentunya, masyarakat menerima dan antusias dengan aktivitas itu, kemudian ini sampai ke merembet kemana-mana penyebsrsnnys. Hal itu merupakan salah satu upaya menyetarakan dirinya dengan kondisi dan situasi di masyarakat sekarang sebagai bagian dari strategi untuk mengumpulkan pundi-pundi suara sebanyak-banyaknya. Aktivitas tersebut merupakan aktivitas kampanye semu yang diadopsi oleh calon pejabat publik tahun ini.
Selain, melontarkan jargon-jargon ada hal yang lebih menarik lagi calon-calon pejabat publik di Bali ini untuk menarik simpatisan masyarakat. Secara sadar, keberhasilan di pusat kemarin tidak terlepas dari aksi joget-joget dalam proses kampanyenya dan ini menstimulus juga beberapa calon pejabat publik di Bali khususnya mengadopsi cara ini juga untuk menarik simpatisan. Biasanya saat proses kampanye tidak bisa dilepaskan dengan adanya penampilan-penampilan artis-artis lokal maupun nasional untuk memeriahkan acara. Setelah kegiatan inti berlangsung maka acara musik dan joget-joget dilangsungkan. Tentu, aktivitas ini merupakan proses kampanye semu yang diadopsi secara massal.
Dari aktivitas-aktivitas kampanye semu yang dilakukan oleh calon-calon pejabat publik di Bali tahun 2024 bisa dilihat dari teori dramaturgi pemikiran Erving Goffman. Dramaturgi merupakan sebuah aktivitas individu dalam mempresentasikan dirinya di tengah lingkungan masyarakat.
Menurut Goffman untuk menyesuaikan diri supaya diterima di mata masyarakat harus melakukan beberapa aktivitas untuk beradaptasi dengan ekspektasi sosial. Diantaranya, melakukan penyesuaian dalam cara berpakaian, berbicara, dan sejenisnya. Seorang individu akan cenderung berupaya menempatkan dan mengatur image agar dapat diterima oleh masyarakat. Intinya, calon-calon pejabat publik yang ingin diterima di masyarakat, tentunya mereka harus bersikap adaptif dan konformis terhadap situasi dan kondisi yang sedang berlangsung.
Nampaknya teori dramaturgi yang dicetuskan oleh Erving Goffman selaras dengan fenomena pesta demokrasi tahun ini dimana calon-calon pejabat publik ini menampilkan dirinya harus sesuai dengan apa yang diinginkan atau yang dapat diterima masyarakat banyak. Ini seolah-olah memberikan tanda bahwa apa yang dilakukan semacam semu dan harus bisa menyesuaikan di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, Goffman menegaskan bahwa, kehidupan sosial ini semacam sandiwara yang dilakukan oleh individu di tengah panggung masyarakat, begitu juga calon-calon pejabat publik ini memerankan sandiwara di tengah masyarakat. Artinya pada saat mereka melaksanakan kampanye, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan masyarakat di depan panggung. Namun, ketika pertunjukan itu berakhir, mereka akan kembali dalam kehidupan dan kebiasannya masing-masing. Sejatinya kita dipaksa untuk menikmati sandiwara ini, walaupun terkadang ini membawa kebosanan. [T]
Sumber Rujukan
Kurniawan, K.N. (2020). Kisah Sosiologi Pemikiran Yang Mengubah Dunia dan Relasi Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Tri Widiyanti. (2023, 23 September). 3,2 Juta Warga Bali Terdaftar di Pilgub 2024: Gen Z dan Milenial Paling Mendominasi. Diakses pada tanggal 18 November 2024, dari https://metrobali.com/32-juta-warga-bali-terdaftar-di-pilgub-2024-gen-z-dan-milenial-paling-mendominasi/
BACA artikel lain dari penulis I DEWA GEDE YOGA