SEBAGAI seorang calon bidan, Ni Luh Putu Lia Diantini Putri (19), cukup serius untuk peduli pada kesehatan, terutama pada kesehatan perempuan. Tentu, karena ia akan bergelut dengan kesehatan ibu suatu saat nanti. Atau suatu saat nanti juga ia akan menjadi seorang ibu—yang manis. Menjadi bidan yang manis.
Sebab itulah ia menampakkan dirinya sangat peduli pada moment Uji Publik Calon Pemimpin Bali yang digelar oleh BEM Rema Undiksha di Gedung Auditorium pada Rabu, 6 November 2024 lalu. Ia datang sangat pagi. Pukul 07.20 WITA dari waktu yang telah ditentukkan.
Di sana hanya ada beberapa panitia sedang bertugas, dan mereka tidak kepagian. Ia sengaja datang pagi. “Saat saya ke situ, mahasiswa yang lain belum sepenuhnya datang. masih tampak sepi. Terlalu pagi barangkali,” kata Lia Diantini.
Ia masih semester 1 Prodi Kebidanan, Undiksha.
“Saya datang bersama teman saya, tiga orang. Sama-sama dari fakultas kedokteran juga,” lanjutnya.
Ni Luh Putu Lia Diantini Putri saat bertanya dalam acara uji publik calon pemimpin Bali di Undiksha Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Setelah tiga puluh menit lebih menunggu, mahasiswa yang lain mulai berdatangan—dari berbagai macam jurusan, sendiri-sendiri, juga ada yang bergerombol menggunakan jas yang sama.
Setelah tampak banyak mahasiswa yang datang dari segala arah itu, lima belas menit kemudian ia bergegas ke ruang auditorium melangkahi anak tangga satu persatu. Ia duduk di lantai dua sebelah barat. Tidak lama juga, Wayan Koster dan Giri Prasta, calon Gubernur dan Wakil nomor urut 02 itu datang dari pintu utama.
Berderet beberapa panitia menyambut kedatangannya dan yang lain—tentu saja tepuk tangan bersamaan, termasuk Lia Diantini dan dua temannya. Bergema. Ramai. Menyala wii…
Di sana, Wayan Koster bersama sang wakil, membawakan grand design—Bali dalam lima tahun ke depan. Dan dalam waktu sepuluh menit, Koster—yang diusung oleh delapan partai nonparlemen itu, menekankan kembali Keluarga Berencana (KB) Krama Bali dengan empat anak—agar nama “Nyoman” dan “Ketut” tidak punah, katanya.
Bali yang sampai saat ini memiliki desa adat sebanyak 1500 dengan utuh. Dan sekitar 4,4 juta penduduk Bali secara keseluruhan itu, sempat meningkat 1,10 persen di tahun 2020 di bawah pertumbuhan penduduk nasional sekitar 1,2 persen. Dan sekarang, populasi penduduk di Bali justru menurun 0,067 persen.
“Ini harus kita waspadai. Populasi penduduk Bali itu cenderung menurun. Kalau terus ini dibiarkan, tidak antisipasi, lama-lama nak Bali ne makin menurun. Nyoman dan Ketut sudah hampir punah di Bali. Hati-hati!” kata Wayan Koster saat menyampaikan grand design ditemani Giri Prasta.
Mahasiswa Undiksha saat acara uji publik calon pemimpin Bali | Foto: tatkala.co/Son
Untuk menunjukkan—bahwa ia tidak berbohong dan ini isu gawat, ia langsung menguji mahasiswa untuk angkat tangan. “Adik-adik siapa yang nama depannya Ketut, coba angkat tangan!? Ayo tinggi-tinggi,” kata Wayan Koster.
Satu, dua, tiga… para mahasiswa mulai mengangkat tangannya mengaku. Di samping Koster, Giri menghitung dan jumlahnya terhitung jari—alias tidak banyak.
“Nah, dikit. Ini dari 1300 mahasiswa enggak ada seratus yang Ketut-nya, coba? Tepuk tangan untuk Ketut,” lanjut Wayan Koster, dan tepuk tangan menghujaninya kemudian. Giri tersenyum.
Di Bali, kata Wayan Koster, nama “Ketut” tinggal 6% dan “Nyoman” tinggal 18%. Dari mahasiswa yang duduk di kursi lantai pertama atau duduk di lantai ke tiga, ditekankannya agar terus waspada.
“Karena itu nanti akan diberlakukan kebijakan insentif untuk Nyoman dan Ketut!” terang Koster.
Alih-alih Mengembangkan nama “Nyoman” dan Ketut”, Stunting bisa ikut? Waspadalah!
Berkurangnya nama “Nyoman” dan “Ketut” barangkali imbas dari BKKBN yang ditekankan oleh Orde Baru, Soeharto—yang masih berlaku itu hingga sekarang. Dimana KB dua anak cukup terpacak di telinga masyarakat Indonesia, tentu selain karena tertempel di pintu setiap rumah, juga terbayang di kamar.
Wayan Koster, calon Gubernur Bali (berdiri) dan Rektor Undiksha sekaligus moderator Lasmawan (duduk) | Foto: tatkala.co/Son
Giri Prasta, calon wakil gubernur Bali | Foto: tatkala.co/Son
Dan Wayan Koster menanggapi itu serius—karena ciri khas nama di Bali terancam lebur. Saat menjabat sebagai Gubernur Bali pada lima tahun terakhir itu—yang sekarang ia nyalon lagi—ia menerbitkan Instruksi Gubernur Bali No 1545 tahun 2019 tentang sosialisasi program KB Krama Bali dengan empat anak (Wayan, Made, Nyoman—sampai Ketut) dan sudah gencar dikampanyekan.
Bali memang memiliki ciri khas nama tersendiri—sebagai warisan leluhur. Tetapi antara malas bikin anak atau stunting sebagai ancaman, ini juga—mesti serius dimasukkan dalam perhitungan.
Saat penyampaian grand design itu oleh Wayan Koster, agaknya, Lia Diantini—sangat serius menyimak, bahkan sampai selesai pendalaman yang dilakukan oleh delapan panelis yang di antaranya adalah profesor, tentu juga presma.
Lasmawan, sang moderator—yang sekaligus menjabat sebagai rektor itu, memberi kesempatan kepada mahasiswanya untuk bertanya.
Seakan tak mau melewati kesempatan, Lia Diantini—dari duduk manisnya itu seketika berdiri. Tanpa ragu ia langsung mengangkat tangan kanannya dan berdiri. Kemudian Lasmawan menunjuknya dengan asik.
Di sini, Lia Diantini ikut menyoal KB Krama Bali, bahwa KB tersebut dapat menyebabkan jarak kehamilan yang singkat pada seorang ibu. Apalagi, katanya, ekonomi keluarga kelas menengah ke bawah—pada masyarakat Bali, yang barangkali hanya cukup menghidupi dua anak, dapat menjadi masalah baru. Yaitu stunting.
Kurang gizi—atau imbas dari stunting itu, di Bali saat ini, menurutnya kasus itu sudah berada di angka 14,3%. Sehingga Program empat anak mesti diimbangi juga dengan pekerjaan atau ekonomi yang cukup.
Bukan tanpa sebab, Lia Diantini melihat para pencari kerja akhir-akhir ini kesulitan mendapat pekerjaan karena persaingannya sangat ketat. Apalagi, lanjutnya, kuliah—harus dengan biaya cukup mahal untuk sebuah pekerjaan yang layak.
“Jadi, apakah program Lestarikan Ketut masih bisa dijalankan untuk kesejahteraan rakyat Bali? Dan bagaimana kontribusi Bapak nanti terhadap stunting?” tanya Lia Diantini kepada Wayan Koster dengan kritis.
Soal empat anak, jawab Koster, di jaman dulu, jauh sebelum Orde Baru bahkan, ada yang lima anak, enam anak, sepuluh anak—dari satu ibu. Ada yang hidup dengan jualan canang, jualan macam-macam di pasar, bisa hidup.
“Anaknya dokter semua. Sekarang ini, fasilitas biaya pendidikan, kesehatan, perumahan—segala macam semuanya tersedia. Jadi tak perlu khawatir lagi soal empat anak ini, kalau bisa, kan ada juga yang karena faktor alamiah tak bisa empat anak. Bagi yang bisa? Didorong! Dan akan diberikan insentif,” lanjutnya.
Mahasiswa tampaknya puas setelah mengikuti acara uji publik calon pemimpin Bali di Undiksha | Foto: tatkala.co/Son
Sampai di sini, ia juga menjelaskan terkait lapangan kerja, ekonomi Bali akan tumbuh dalam lima tahun ke depan, akan banyak loker. Pusat Kebudayaan Bali, Pelabuhan Sangsit, dan masih banyak lagi, akan membuka lapangan kerja baru sehingga tak mesti lagi khawatir, kata Koster. Kemudian, ia juga memastikan, terpilihnya nanti, Bali dalam lima tahun ke depan, akan zero stunting.
Mendengar itu, saat acara selesai, Lia Diantini—seakan puas, dan pulang dengan tersenyum tipis ketika menuruni anak tangga ke lantai bawah. Rambutnya tergerai ke belakang dengan tali rambut yang imut.
Selamat istirahat Bu Bidan, eh, Bu Calon Bidan maksudnya hehe…semangat! [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole