- Ditulis bersama: Indrasari Kresnadjaja dan I Made Pria Dharsana
LATAR BELAKANG
Menarik debat antara paslon Gubernur Bali, beberapa hari lalu berkaitan dengan usulan pembuatan peraturan daerah nominee agreement tentang penguasaaan tanah oleh orang atau badan hukum asing.
Apa dan bagaimana pengertian Nominee, apa saja payung hukum yang mesti dipahami agar apa yang mau diatur dalam ketentuan Perda Bali? Apa pentingnya Perda Nominee bagi Bali?
PERJANJIAN dalam bidang pertanahan adalah perjanjian yang dibuat seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni Warga Negera Asing dengan Warga Negara Indonesia, dengan maksud agar warga negara asing tersebut dapat menguasai (memiliki) hak milik atas tanah.
Praktik pinjam nama ini sudah marak terjadi di berbagai propinsi di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti, Jakrta, Surabaya, Bali dan Kepulauan Riau. Umumnya, praktik orang asing ingin memiliki atau menguasai tanah melalui perjanjian nominee dengan memanfaatkan lahan tersebut sebagai kegiatan usaha. Dan praktik ini sebagai pilihan dengan alasan, sejak diberlakukannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 10 tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Mahkamah Agung Tahun 2020. SEMA tersebut menegaskan bahwa pemilik sebidaang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang, harta atau asset milik pihak lain dalam hal ini Warga Negara Asing (WNA).
Selain itu, WNA yang ingin melakukan investasi berbasiskan tanah dan bangunan sebelumnya juga mengalami kesulitan untuk memliki hak atas tanah, karena terbentur aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang melarang WNA memiliki tanah dengan status hak milik di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa WNA tidak boleh memiliki status hak milik atas tanah di Indonesia?
Hal ini disebabkan karena memang dalam UUPA sebagai asas hukum tanah nasional disebutkan dalam salah satu penjelasannya pada angka lima, yaitu asas hanya Warga Negera Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Asas ini menegaskan bahwa hanya WNI yang berkedudukan sebagai subyek hak milik, yaitu orang yang berkewarganegaraan Indonesia disamping juga berkewarganegraan asing juga tak dapat mempunyai hak milik. Dan orang asing yang berkedudukan di Indonesia tidak dapat mempunyai tanah yang berstatus hak milik, melainkan hanya dapat mempunyai tanah yang berstatus hak pakai dan hak sewa, dan itupun juga dengan waktu yang terbatas.
Dengan latar belakang tersebut di atas tidak mengherankan jika para WNA yang ingin berinvestasi di Indonesia banyak yang mengambil jalan pintas dengan meminjam nama orang Indonesia untuk memanfaatkan tanah sebagai bagian dalam menopang kegiatan usahanya.
Oleh karenanya, menurut pandangan penulis dirasa penting materi ini penting untuk dipahami dan harus menjadi perhatian yang lebih besar masyarakat pada umumnya dan utamanya kepada para Notaris PPAT, agar berhat-hati dalam menjalankan tugas jabatannya yang berkaitan dengan pelaksanaan jual beli tanah yang berhubungan dengan WNI dan WNA yang berkaitan dengan perjanjian Nominee.
Pasal 20 ayat (2) UUPA, pada prinsipnya3 menegaskan bahwa dialihkannya tanah diartikan berpundahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain disebabkan oleh perbuatan hukum. Perbuatan hukum dimaksud adalah perbuatan ynag menimbulkan akibat hukum. Contoh perbutan hukum adalah jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan (inbreng) dan lelang.
Selanjutnya, subjek hak milik atas tanah ditetapkan pada pasal 21 dan peraturan pelaksanaannya, yaitu: Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang ditetapkan pemerintah.
Memang, pada dasarnya pemilik tanah berkewajiban menggunakan dan mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif. Dalam hal ini, tapi UUPA juga mengatur bahwa hak milik atas tanah hanya dapat digunakan dan atau diusahakan oleh bukan pemiliknya, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 UUPA, yaitu penggunaan tanah hak milik oleh bukan pemilknya, hanya saja dibatasi dan diatur dengan peratuaran perundang-undangan. Beberapa bentuk penggunaan tanah atau pengusahaan tanah hak milik oleh bukan pemiliknya, yaitu, hak milik atas tanah dibebani HGB, hak milik atas tanah dibebani hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa pertanian.
Berkaca dari paparan diatas, sebelum membahasa lebih jauh soal “Nominee Dalam Praktik Jual Beli Tanah Di Indonesia”, alangkah lebih baik mengetahui dulu ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang melarang orang asing memiliki tanah dengan status hak milik di Indonesia.
Ilustrasi pada Pasal 26 ayat (2) UUPA, ialah sebagai berikut; bahwa setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsing serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat ditentukan kembali.
Adanya keinginanan negara Indonesia untuk mempunyai tatanan hukum yang mengatur soal jual beli tentunya memenuhi asas-asas hukum yang sudah digariskan dalam UUPA. Kemudian aturan itu juga di pertegas dengan ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA. Ditambah lagi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia yang mengatur larangan yang sama.
Secara hukum, dengan adanya larangan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan, maka praktik perjanjian nominee dalam hukum perjanjian di Indonesia dikategorikan sebagai indikasi menciptakan penyelundupan hukum.
Dapat pula dikatakan bahwa eksistensi Nominee Arrangement (perjanjian pinjam nama) harus didasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Artinya apa, meskipun asas kebebasan berkontrak membolehkan orang untuk melakukan perjanjian apapun dan dengan siapapun, akan tetapi perjanjian yang dibuat tersebut harus tetap memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam dalam pasal 1320 KUHPerdata yang masyaratkan perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu: kesepakatan, kecakapan, obyek tertentu dan causa yang halal.
Causa halal dimaksud, sesuai dengan ketentaun pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata, dimana suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Intinya, perjanjian pinjam nama ini “memungkinkan” WNA yanag namanya tidak terdaftar dalam sertifikat hak milik atas tanah, tetapi bertindak seolah-olah sebagai pemilik tanah merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Oleh karenaya, bisa disebut perjanjian pinjam nama dalam praktik jual beli tanah dianggap sebagai bentuk penyelundupan hukum yang merusak tatanan hukum. Berkaitan dengan sisitem hukum kita, sebenarnya tidak mengakui adanya perbedaan legal owner dan beneficiary. Indonesia hanya mengakui pemilik sah dibukti kepemilikan seritifikat.
Artinya, para pemilik uang yang meminta bantuan pinjam nama (nominee) tetap tidak bisa diakui sebagai pemilik hak atas tanah. Karena belum ada dasar hukum yang bisa membatalkan dokumen bukti kepemilikan atas dasar adanya perjanjian nominee. Justru perjanjian nominee dianggap batal demi hukum, meski begitu menurut Hotma Paris Hutapea SEMA Nomor 7 Tahun 2012 membuka peluang bagi pemilik uang sebagai beneficiary untuk menggugat ganti rugi kepada orang yang dipinjam namannya.
PERJANJIAN PINJAM NAMA (NOMINEE ARRANGEMENT) DALAM PRAKTIK JUAL BELI TANAH DI INDONESIA
Sebelum membahasa mengenai Nominee agreement atau perjanjian pinjam nama maka terlebih dahulu perlu diketahui dari pemahaman soal perjanjian. Sejatinya, perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan perundang-undangan. Sehingga, perjanjian yang dibuat oleh pihak tertentu dapat dijadikan dasar hukum bagi yang membuatnya. Hanya saja, yang membedakan perjanjian kontrak dengan dengan peraturan perundang-undangan adalah bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.
Adapun peraturan perundang-undangan berlaku bagi seluruh masyarakat ataupun pihak-pihak yang menjadi subjek pengaturannya. Beberapa pakar ekonomi berpandangan istilah kontrak atau perjanjian merupakan kontrak yang secara eksplisit tertulis,akan tetapi tidak disimpulkan dari keadaan maupun perbuatan yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut. Sehingga kontrak tersebut terkesan dipaksakan dan berlaku melalui msistem mekanisme pasar seperti halnya berpengaruh pada reputasi seseorang dan tidak dipaksakan melalui pengadilan.
Hanya saja, cara pemaksaannya belum tentu memberikan kepuasan bagi pihak yang diciderai, akan tetapi menghukum pihak yang melanggar perjanjian dalam suatu jangka waktu tertentu.
Berbeda halnya dengan pandang para pakar hukum, terkait istilah “Kontrak” atau “Perjanjian” merupakan suatu perjanjian para pihak dalam suatu system hukum dan kemudian akan dipaksakan untuk berlaku apabila salah satu pihak dari perjanjian tersebut tidak memenuhi janjinya.
Sehingga para pakar hukum menyimpulkan definisi kontrak dan perjanjian menurut pakar ekonomi lebih mempunyai arti yang lain bila dibandingkan dengan pengertian atau definisi menurutn pakar hukum.
Mendasarkan pada permasalahan praktik Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah dalam hal ini tunduk pada peraturan perjanjian pada umumnya sebagaimana dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Adapun syarat sahnya PPJB tunduk pula pada syarat sahnya perjanjian sebagaimna diatur pada Pasal 1320 KUHPerdta yang yaitu adanya kata sepakat, para pihak merupakan pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian, adanya suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Intinya, syarat sahnya suatu perjanjian wajib memenuhi empat syarat tersebut, maka apabila salah satu syarat sahnya tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Berbicara mengenaipraktik perjanjian nominee atau perjanjian pinjam nama telah terjadi di Indonesia berulangkali, biasanya perjanjian tersebut menggunakan kuasa dimana perjanjian itu menggunakan nama WNI menyerahkan surat kuasa kepada WNA untuk bebas melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilkinya.
Prof Maria Sri Wulan Sumardjono mengatakan bahwa Perjanjian Nominee merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni orang asing dengan WNI, dengan maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut diatasnamakan WNI.
Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing untuk bertindak sebagai Nominee.
Secara harfiah, perwujudan perjanjian Nominee menurut Prof Maria Sri Wulan Sumardjono ada pada surat perjanjian yang dibuat oleh dua belah pihak, yaitu antara WNI dan WNA sebagai pemberi kuasa (Nominee) yang diciptakan melalui satu paket perjanjian itu pada hakekatnya bermaksud untuk memberikan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara seseorang dengan tanahnya kepada WNA selaku penerima kuasa untuk bertindak layaknya seorang pemilik yang sebenarnya dari sebidang tanah yang menurut hukum tidak dapat dimilikinya (Hak Milik atau Hak Guna Bangunan).
Dalam perjanjian mana meminjam nama WNI sebagai Nominee, dan hal ini merupakan penyelundupan hukum karena substansinya bertentangan dengan UUPA.
Selanjutnya, adanya perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menurut Prof Maria Sumardjono, secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyeludupan hukum.
Maka, dihubungkanperjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Notaris dengan tujuan untuk mengamankan asset-aset yang menjadi objek Nomonee tersebut pada hakekatnya adalah dilatarbelakangi dengan itikad tidak baik sehingga dapat dikatakan perjanjian yang dibuat oleh Notaris tersebut justru telah mencederai wibawa dari profesi Notaris itu sendiri dan tentu saja sangat bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.
Dengan mencermati argumentasi diatas, Notaris – PPAT, harus selalu berpedoman terhadap mekanisme dan peraturan yang ada. Karena menurut Agus Yudha Hernowo perjanjian nominee bertentangan dengan beberapa peraturan yang ada misalnya, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
Agus Yudha Hernowo mengingatkan pentingnya interprestasi dalam isi perjanjian terutama oleh apa yang saling diperjanjikan para pihak. Notaris, dalam hal ini memang hanya mengikuti para pihak terkait. Hanya saja, dalam keadaan tertentu, Notaris dilarang membuat akta jika ada subjek hukum yang dilarang. Tugas dan kewajiban Notaris harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku dan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Intinya, Notaris harus mematuhi syarat-syarat dalam pembuatan akta tersebut, karena bila ada perbuatan melawan hukum Notaris juga yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Penulis berpandangan, menyikapi hal tersebut diatas tentunya diperlukan sikap dan pemahaman yang obyektif serta komprehensif dari Notaris dalam menilai isi perjanjian, terutama terkait dengan isi perjanjian yang berat sebelah. Karena, sejatinya perrjanjian nominee menurut pandangan penulis, memang tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, karena tujuan dari perjanjian ini ada unsur etikad tidak baik. Kemudian kepada WNI sebagai pihak yang meminjamkan namanya dalam perjanjian nominee akan berdampak terhadap status hak atas tanah yang menjadi obyek perjanjian, yang mana WNI secara otomatis bertanggungjawab terhadap pajak dan pemiliharaan atas tanah tersebut.
Menurut pendapat ahli, hal perjanjian nominee tersebut termasuk dikategorikan sebagai perjanjian pura-pura, karena dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak dikenal adanya istilah Nominee dan tentunya penerapan Nominee sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku. Karena, dalam perjanjian sewa menyewa misalnya, antara WNA dengan WNI tidak diperlukan Nominee, sepanjang orang tersebut cakap untuk bertindak secara hukum untuk melakukan perjanjian.
Terkait dengan perjanjian pura-pura, menurut Herlien Budiono, perjanjian pura-pura merupakan penyimpangan terhadap kesepakatan untuk melaksanakan suatu tindakan hukum tertentu yang bertentangan dari yang seharusnya terjadi dilakukan oleh para pihak secara diam-diam dan sadar. Oleh karenanya, hal yang dituangkan dalam perjanjian atau akta tidak sesuai dengan perbuatan hukum yang sebenarnya terjadi. [T]
Indrasari Kresnadjaja: Lahir di Bandung, besar di Jakarta. S1 di Universitas Atmajaya Jakarta, S2 Notariat Universitas Indonesia. Notaris/PPAT di Jakarta Selatan sampai sekarang
- BACA artikel lain tentang kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA
Notaris dan Prinsip Kehati-hatian dalam Menjaga Harkat Martabat Jabatan