PADA 2 November 2022, Indonesia resmi meninggalkan siaran televisi analog dan beralih ke siaran digital. Bagi sebagian besar dari kita, ini mungkin sekadar perubahan teknis—tapi apakah kita sudah benar-benar siap?
Di tengah antusiasme dan juga kebingungan masyarakat, kita perlu menggali lebih dalam, apa makna perubahan ini bagi kita sebagai sebuah bangsa? Apakah kita hanya sekadar “beralih” atau sebenarnya sedang dihadapkan pada sebuah momen yang bisa membawa kita ke dalam sebuah perjalanan besar menuju masa depan digital?
Pengalihan ini bukan hanya persoalan teknis yang menyoal gambar dan suara yang lebih jernih, tapi juga cerminan dari cara kita bergerak maju, beradaptasi, dan mengelola dampak dari perkembangan teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sherry Turkle, seorang psikolog sosial sering mengingatkan bahwa teknologi seharusnya menghubungkan kita secara manusiawi, bukan malah membuat kita terjebak dalam alienasi (Turkle, 2011). Jadi, dalam konteks siaran digital, bagaimana kita bisa mengembangkan teknologi yang tidak hanya canggih tetapi juga mampu menyatukan, mendidik, dan memberdayakan masyarakat Indonesia?
Peluang Konten Lokal di Era Digital
Dengan siaran digital, sebenarnya adalah membuka peluang yang semakin luas bagi konten lokal. Teknologi ini memungkinkan lebih banyak saluran penyiaran, sehingga produsen konten lokal, yang sebelumnya mungkin terabaikan, dapat memiliki ruang untuk berkembang. Namun, apa maknanya bagi masyarakat luas?
Dalam siaran digital, konten budaya lokal kini memiliki panggung baru untuk menampilkan kekayaan seni dan identitas yang menggambarkan Indonesia yang kaya. Namun, kita juga harus mengakui banyaknya tantangan yang dihadapi oleh para pengembang konten lokal ini. Ambil contoh misalnya, soal biaya produksi, penyiapan teknologi yang lebih canggih, dan persaingan dengan konten global yang telah mapan, di mana hal-hal tersebut bisa menjadi kendala tersendiri.
Nicholas Carr, seorang kritikus teknologi seringkali mengingatkan bahwa setiap teknologi baru membawa konsekuensinya sendiri, terutama bagi mereka yang kurang siap (Carr, 2010). Hal ini sepertinya juga berlaku di sini, bahwa konten lokal yang kurang didukung oleh kemajuan teknologi, mungkin terpinggirkan oleh konten internasional yang lebih profesional.
Namun di sisi lain, potensi ekonomi dari siaran digital dapat berdampak pada perekonomian daerah. Misalnya, jika sebuah daerah mampu menyajikan konten yang unik, seperti budaya, kuliner, atau wisata lokal, dampaknya bisa sangat positif. Konten semacam ini bukan hanya memberikan hiburan, tapi juga berfungsi sebagai media promosi yang berdampak langsung pada roda perekonomian masyarakat lokal.
Peralihan ini juga merupakan upaya Indonesia untuk bersaing di tingkat global. Siaran digital membawa standar penyiaran kita ke level internasional, dan ini memungkinkan kita untuk berdiri sejajar dengan negara-negara lain dalam teknologi penyiaran.
Jaron Lanier, seorang pionir internet dalam karyanya sering membahas bahwa teknologi seharusnya memberi kita lebih banyak “pilihan”, bukan membatasi kita dalam satu cara berpikir atau berperilaku (Lanier, 2010). Siaran digital memberi kita kebebasan untuk mengekspresikan keunikan budaya lokal yang sangat kaya dan beragam ini, dengan membawa narasi kita sendiri ke panggung dunia.
Konsekuensinya, hal ini menuntut kita untuk berpikir lebih inovatif. Penyiar lokal perlu menyesuaikan diri dengan cara kerja digital, memanfaatkan platform yang lebih canggih, dan beradaptasi dengan cepat. Pemerintah dan pelaku industri harus memastikan bahwa siaran digital ini bukan sekadar “ikut-ikutan global”, tetapi menjadi langkah pasti untuk menuju industri penyiaran yang mandiri dan kompetitif.
Sementara itu, masyarakat diharapkan bisa melihat bahwa sesungguhnya digitalisasi ini adalah peluang bagi generasi muda untuk menciptakan dan menguasai teknologi, bukan hanya sebagai pengguna pasif, atau lebih prah lagi bahkan menjadi korban teknologi.
Kesadaran Digital dan Transformasi Masyarakat
Lebih dari sekadar teknologi, peralihan ini juga membawa suatu misi edukasi yang penting kepada masyarakat. Sherry Turkle pernah menekankan bahwa kita perlu mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan teknologi agar kita tetap bisa “menjaga kemanusiaan kita” di tengah derasnya arus digital (Turkle, 2015).
Peralihan ini seharusnya menjadi momen bagi masyarakat untuk semakin sadar akan peran teknologi dalam kehidupan mereka, bukan hanya dari sisi konsumsi konten melulu, tetapi juga dalam cara mereka memproduksi dan memproses informasi. Tidak pasif dalam penggunaan teknologi namun aktif dan proaktif.
Ada beberapa tantangan dalam hal ini. Banyak dari anggota masyarakat yang masih belum memiliki akses ke perangkat digital atau mungkin kurang mengerti dengan baik cara menggunakannya. Dalam era digital ini, tentu saja risiko kesenjangan akses teknologi menjadi semakin tinggi.
Seorang penulis teknologi, Douglas Rushkoff mengingatkan, bahwa teknologi tidak boleh hanya bermanfaat bagi segelintir orang, melainkan harus menciptakan kesempatan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat (Rushkoff, 2013). Pemerintah memiliki peran penting di sini, untuk mengatasi kesenjangan akses teknologi dan memastikan bahwa transformasi digital ini bisa inklusif, artinya terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat.
Transformasi digital ini adalah suatu panggilan untuk semua pihak, bukan hanya untuk penyedia teknologi saja, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menggunakan teknologi tersebut. Di sinilah kesadaran digital menjadi penting, terutama dalam memahami cara kerja media dan dampaknya pada pemikiran kita sehari-hari. Dengan demikian, literasi digital tidak hanya penting bagi kalangan terdidik saja, tetapi bagi semua orang, siapa pun juga, yang terlibat dalam ekosistem digital di mana semuanya saling terhubung.
Lompatan Besar atau Sekadar Euforia Kosong
Pada akhirnya, kita harus jujur bahwa peralihan siaran televisi dari analog ke digital ini lebih dari sekadar urusan teknologi atau kualitas gambar. Ini adalah sebuah lompatan besar menuju masa depan digital, yang menuntut kita untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi berperan aktif, kritis, dan penuh kesadaran.
Nicholas Carr pernah mengingatkan betapa pentingnya kita mengukur dampak teknologi terhadap kehidupan manusia, bukan sekadar mengagumi kecanggihannya (Carr, 2014). Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton pasif yang kehilangan inti kemanusiaan di balik gemerlapnya digitalisasi. Ini adalah panggilan bagi kita semua, khususnya generasi muda, untuk mengembangkan kesadaran baru bahwa transformasi digital ini membawa dampak besar dalam tatanan sosial.
Teknologi bukan sekadar tren, tapi katalis yang mempengaruhi cara kita berpikir, berkomunikasi, dan melihat dunia. Tanpa pemahaman yang mendalam, peralihan ini bisa menjadi senjata yang merugikan kita sendiri. Apakah kita benar-benar siap menghadapi tantangan ini atau sekadar mengangguk tanpa paham konsekuensinya?
Kita tidak bisa menyambut era digital ini hanya dengan euforia kosong. Transformasi ini akan memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan hanya jika kita mau untuk belajar dan terus kritis. Mari kita berhenti menjadi penonton dan mulai menuntut hak serta tanggung jawab kita dalam dunia digital. Jika kita tidak memiliki kesiapan dan pemahaman yang matang, semua ini hanya akan menjadi tambahan beban dalam perjalanan kita sebagai masyarakat.
Sikap terbuka, tapi tetap kritis, adalah senjata kita untuk bergerak maju tidak hanya sebagai pengikut, tetapi sebagai masyarakat yang solid, siap, dan berdaya dalam menghadapi masa depan yang menantang. Selamat berjuang![T]