JANTUNGKU berdegup kencang diiringi air mata yang perlahan mengalir di pipiku. Takut akan kehilangan kebahagiaan yang selama ini mengisi duniaku. Tempat ini sudah menjadi rumah yang membuatku nyaman. Segala sesuatu terasa sempurna, teman-teman yang selalu ada, rumah yang unik, dan tetangga yang penuh perhatian. Rasanya mustahil meninggalkan semua itu, bahkan sekedar berpamitan pun terasa berat. Siapa yang akan kutemui di tempat baru? Hanya satu harapanku pada ibu, jangan pindah dari rumah ini. Sayangnya, keputusan telah diambil.
Kini, semua tinggal kenangan. Teman-temanku tak akan bisa lagi kutemui. Tak ingin membuat perpisahan terasa lebih berat, kami bahkan tak saling mengucapkan selamat tinggal. Aku memilih diam membiarkan kepergian ini menjadi rahasia antara aku dan waktu. Semua barang diboyong ke rumah baru, perasaan tak nyaman langsung menyergap. Rumah baru ini berada di antara rimbunnya pohon dan jauh dari keramaian. Tak ada rumah di sekitar, tak ada teman untuk bermain, tak ada suara tawa anak-anak. Padahal, saat itu, teman adalah yang paling kubutuhkan. Yang ada hanyalah keheningan yang menggantung di udara.
Meski tembok rumah ini dipenuhi dengan hiasan mewah, tapi suasana ceria yang dulu kurasakan menghilang. Rasa takut sering menyelimuti, dan tidur sendirian menjadi sesuatu yang tak sanggup kulakukan. Aku merindukan rumah lamaku, bilik kecil yang hanya cukup untuk lima orang. Walau sempit, tempat itu jauh lebih berharga. Setiap malam kami berkumpul, menonton serial favorit sambil bercengkerama hingga aku terbatuk. Bahkan menunggu ayah pulang dari kerjanya hingga kami tertidur di kamar tamu
Di sini, hanya kami yang selalu berada di rumah. Kami menghabiskan waktu bersama, bermain dari siang hingga petang, belajar dan menonton televisi bersama. Jika ibu bekerja pagi, terkadang ia menemani kami, tetapi lebih sering ia dan ayah pulang larut malam karena sibuk bekerja. Di malam-malam sunyi itu, kami menyalakan televisi dengan suara keras, menutup rapat semua pintu dan jendela, tak berani melirik ke kanan atau kiri. Kami hanya terfokus pada layar, hingga akhirnya tertidur.
Belum genap setahun kami tinggal di sini, kejadian aneh mulai bermunculan. Siang itu, rumah dipenuhi keceriaan karena bibi dan paman datang. Aku begitu senang karena akhirnya punya teman. Paman datang membawa mangga dan meminta aku mengambil pisau serta mangkuk. Dengan sigap, aku berlari ke dapur, yang terletak di belakang rumah sebelum gudang. Ini masih siang, jadi aku merasa tenang.
Namun sebelum sempat mengambil mangkuk, aku terpaku. Seekor ular melingkar di rak piring. Aku menjerit dan melemparkan pisau.
“Ibu, ada ular!”
Semua panik, mengira aku digigit. Ibu buru-buru menghampiri, bertanya dengan nada cemas.
“Di mana ularnya?”
Aku tak sanggup menjawab, ular itu menghilang begitu cepat. Sejak kejadian itu, aku enggan ke dapur sendirian.
Untuk menenangkan kami, nenek dipanggil untuk menjaga, terutama adikku yang masih balita. Tak hanya ular, kini tokek juga kerap mampir, suaranya bergema setiap malam. Awalnya kami menganggapnya penjaga rumah, tapi sebulan kemudian, kehadirannya mulai mengganggu. Malam-malam menjadi bising karena suara tokek yang bergema dari plafon, membuat kami sulit tidur.
Akhirnya, nenek turun tangan, memasang penangkal, dan menangkap tokek-tokek itu. Meski berbahaya, tak ada pilihan lain. Dengan cepat, hampir sepuluh tokek terperangkap dalam karung yang dibawa nenek. Namun tiba-tiba, adikku yang masih berusia dua tahun menangis meminta tokek itu dilepaskan. Nenek yang tak tega, menuruti permintaannya. Tapi akibatnya fatal, jari nenek hampir putus digigit oleh tokek yang marah.
Aku panik, hanya mampu menyelamatkan adikku. Tokek itu mencengkeram tangan nenek, dan aku berlari mengambil sapu untuk mengusirnya. Darah mengucur dari tangan nenek. Aku menatap darah itu, perasaan bersalah dan takut bercampur aduk. Ibu dan ayah yang baru pulang kerja terkejut melihat tangan nenek sudah dibalut perban. Mereka hanya bisa menghela napas panjang, sementara adik dibiarkan tanpa hukuman karena masih terlalu kecil untuk dimarahi.
Hari-hari berikutnya, ketakutan menjadi teman setia. Malam semakin panjang dengan rasa cemas yang menghantui. Kami selalu ingin tidur bersama, tak pernah berani berlama-lama sendirian di kamar. Rasanya seperti ada yang selalu mengawasi.
****
Selang beberapa bulan setelah insiden dengan tokek dan ular, nenek kembali ke kampung halamannya. Kami kembali merasa kesepian. Malam itu, teman ayah datang menginap, dan aku berusaha memberanikan diri untuk tidur sendiri. Namun, sekitar dini hari, keadaan menjadi gaduh. Aneh, aku tetap tak terbangun. Keesokan paginya, ibu dengan suara lembut berkata, “Jangan ke dapur dulu ya, kalau perlu sesuatu, bilang saja ke ibu atau ayah.”
Aku merasa bingung, dan kakakku kemudian menjelaskan dengan nada pelan, “Di bawah kulkas ada ular besar, ukurannya sebesar kaki orang dewasa!”
Mendengar itu, bulu kudukku langsung meremang. Aku bahkan tak berani masuk ke kamarku yang terletak dekat dapur. Pikiranku dipenuhi ketakutan bahwa ular itu bisa saja merayap masuk ke kamarku kapan saja. Dapur yang seharusnya tempat hangat, kini penuh ancaman. Aku merasa seolah rumah ini memiliki jiwa yang tak bersahabat denganku. Setiap kali melangkah ke dapur, aku selalu waspada, takut sesuatu akan muncul dari bayang-bayang lagi.
Ayah, tentu saja, penasaran dengan ular besar itu dan sangat ingin memeliharanya. Jika temannya tidak ada, mungkin ular itu masih bersembunyi di sana sampai bantuan datang. Temannya berhasil menangkap ular itu dan membawanya pulang untuk dipelihara.
Sejak hari itu, rumah yang tadinya terasa tenang mulai berubah. Setiap malam, suara tokek bergema dari plafon, dan siang hari ular sering terlihat menghampiri rumah kami. Memang, rumah ini terletak dekat hutan, jadi wajar banyak hewan liar yang datang.
Namun, menurut ibu, ini sudah terlalu berlebihan. Tetap saja ayah selalu berusaha menenangkan kami dengan kalimat bijaknya, “Tidak baik berprasangka buruk. Kita hidup berdampingan dengan alam. Selama kita tak mengganggu, mereka juga tak akan menyakiti!”
Kata-kata itu sedikit menenangkan, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa takut.
Kami tetap tinggal di rumah itu, meskipun setiap hari berada di bawah ancaman. Suatu sore, kami hendak pergi berbelanja. Hari sudah mendekati senja (sandikala), dan aku serta kakakku sudah siap. Namun, ibu masih mengobrol dengan tetangga di depan rumah. Karena bosan, aku mulai bermain-main di sofa ruang tamu. Saat aku tengkurap di sandaran sofa, tiba-tiba terasa ada yang mendorongku. Aku terjatuh, jungkir balik, dan gigiku patah.
Aku lari ke dapur, mencoba menyembunyikan rasa sakit, namun ibu segera menghampiriku.
“Apa yang terjadi, Del?” tanya ibu khawatir.
Aku tak menjawab, hanya terdiam.
Ibu menyuruhku membuka mulut, setelah melihat serpihan gigi di lantai, ia berkata, “Gigimu patah, Del.”
Aku melihat ke cermin dan benar saja, gigiku telah patah separuh.
Kakakku tertawa, “Sudah berapa kali diberitahu, kalau sandikala jangan bertingkah aneh!”
Aku hanya bisa terdiam, merenungi nasib sial yang menimpaku. Ini bukan salahku, ada orang yang tak terlihat telah membuatku terjatuh. Aku yakin, sebab dari atas sofa setinggi lututku, tubuhku terhempas dan berputar seperti melakukan salto. Aku menatap ibu dengan mata berkaca-kaca, berharap dia mengerti bahwa ini bukan sekedar kecelakaan. Jelas saja mereka tak percaya.
****
Malam itu, aah harus pergi bekerja sekitar pukul dua pagi. Hal itu bukanlah hal yang aneh bagi kami, karena ayah memang sering harus antre barang untuk dikirim ke Jawa. Kami berjaga sampai ayah pergi. Setelah itu, kami tidur bersama di kamar yang sama. Namun, perasaan cemas tetap menyergapku, seakan-akan ada hal buruk yang akan terjadi.
Belum lama kami terlelap, suara gaduh kembali terdengar dari bilik kamarku. Aku mencoba membuka mata, tetapi kelopak mataku terasa berat. Pikiranku hanya menganggap itu bayangan semata.
Namun, suara itu semakin dekat, sampai akhirnya ibu terbangun dan berteriak, “Siapa kalian?!”
Aku, kakak, dan adik langsung terbangun. Di depan kami berdiri tiga orang bertopeng dengan pakaian serba hitam.
Mereka memegang senjata tajam, dan salah satu dari mereka mengancam ibu, “Di mana kalian menyimpan emas dan barang berharga lainnya?”
Ibu menjawab dengan tegas, “Kami tak menyimpan apa pun di sini!”
“Jangan meninggikan suara, atau kau akan mati hari ini!” ancam salah satu penjahat, sembari menekan senjata di leher ibu.
Aku gemetar, namun aku tahu kami harus bertindak cerdas. “Lepaskan ibuku,” kataku sambil menunjukkan arah ke kamar, “Barang-barang berharga kami ada di kamar sebelah.”
Penjahat itu segera beralih perhatian, melepaskan ibu. Salah satu dari mereka, yang tampak lebih tenang, menyuruh kami diam agar bosnya tak marah. Kejadian itu berlangsung lama, dan pada suatu titik, kakak dan aku berusaha melawan ketika mereka hendak mengurung kami di gudang. Ini sebenarnya bagian dari strategi ibu, ia ingin kami keluar melalui jendela untuk meminta bantuan. Namun, sebelum kami sempat membuka jendela, dua penjahat sudah menarik kami kembali. Kami terlempar ke sofa.
Ibu berteriak, “Jangan sentuh anak-anakku!”
Suasana menjadi kacau, seperti adegan film laga yang sering kutonton. Tapi ini nyata. Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi, namun semua terasa semakin nyata ketika ibu dan adik terlempar ke jendela.
“Cukup!” teriak kakakku, “Kami rela dikurung di gudang asal kalian segera pergi dari sini.”
Dalam hitungan menit, kami terjebak di gudang, sementara ibu berusaha menenangkan kami dengan kata-kata lembutnya, “Semua akan segera berlalu. Ini hanya mimpi buruk.”
Aku merasa kecil dan tak berdaya. Suara keras dari penjahat yang mengancam ibu seolah merobek hatiku. Kami bertahan dalam ketakutan sampai ayam berkokok. Barulah sekitar pukul lima pagi, ibu berteriak dari ventilasi, meminta bantuan.
Tetangga yang rumahnya lumayan jauh dari kami, mendengar suara ibu. Untungnya ia sudah terbangun. Aku dengan jelas mendengar paman itu berteriak, membangunkan tetangga lainnya.
Beberapa menit kemudian, pintu itu didobrak dan aku memeluknya. Kali pertama, pagi datang bersama suara sirine polisi yang memecah keheningan, tetangga, sanak saudara mulai berkumpul, dan rumah kami menjadi sangat ramai. Ayah membatalkan perjalanannya ke Jawa setelah mendengar berita buruk itu. Para pencuri pergi, tapi ketakutan mereka tinggalkan.
****
Sejak malam itu, rumah besar ini tidak lagi terasa sebagai rumah. Setiap sudutnya menyimpan trauma, setiap dindingnya seperti berbisik pedihnya kejadian-kejadian itu. Kami tak pernah lagi tidur di kamar masing-masing, melainkan selalu berkumpul di kamar tamu. Setiap malam, aku terjaga mendengar suara-suara yang entah nyata atau hanya imajinasiku. Semua menjadi kenangan pahit, saat nenek digigit tokek, ular di dapur, gigiku yang patah, dan manusia bertopeng itu.
Beberapa hari kemudian, ibu memutuskan untuk berkonsultasi dengan seorang yang paham tata letak rumah. Menurut ahli feng shui bahwa tata rumah kami salah, pintu depan langsung menghadap gerbang, dan itu dianggap membawa sial.
“Jika kalian masih tinggal di rumah ini, kesialan dan petaka akan terus menghantui,” kata orang itu. Mitosnya, penghuni rumah seperti ini akan sering sakit, mengalami kecelakaan, dan tertimpa nasib buruk. Bapak yang awalnya skeptis, kini mulai percaya.
Kami akhirnya memutuskan untuk pindah. Rumah itu dijual, bersama segala kesialan yang pernah menyertainya. Kini, kami tinggal di rumah yang lebih sederhana, tanpa kamar tamu, hanya ruang terbuka yang nyaman. Walau kejadian itu sudah berlalu sepuluh tahun, bayangan kelamnya masih tertanam dalam ingatan kami.
****
Aku tahu, rumah itu sudah berpindah tangan, tapi bayangan tinggal di rumah itu tak pernah sepenuhnya hilang dari ingatanku. Meskipun tata letak rumah itu sudah di rubah, gerbangnya sudah dipindah di sisi kanan bangunan. Tapi, aku masih sering bertanya-tanya kepada ibu, apa setelah rumah itu berubah mereka tidak mengalami apa yang pernah kami rasakan? Mungkin petaka itu telah sirnah, seperti perkataan ahli feng shui.
Setiap kali aku melewati jalan tempat rumah itu berdiri, perasaan dingin menjalar di tubuhku. Aku hanya bisa berharap, rumah itu bisa menjadi tempat yang aman bagi penghuninya. Satu hal yang kutahu, rumah itu adalah saksi dari semua ketakutan dan trauma yang tak pernah benar-benar hilang. [T]
- BACAcerpen laindi tatkala.co