SENIN Pon Pahang, 28 Oktober 2024, dalam rangka memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda, SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska) menggelar acara bincang buku karya siswa. Sebuah antologi karya 41 siswa Toska dibincangkan oleh dua guru SMA Negeri 2 Kuta Selatan, Dewa Ayu Candra Kirana dan Made Santiasa, dimoderatori oleh Made Segiri Putra. Bincang buku berlangsung dua jam itu menarik perhatian dan menggugah para siswa bertanya terkait trik dan tantangan melahirkan tulisan serta solusinya.
Bagi siswa SMA Negeri 2 Kuta Selatan, buku antologi ini adalah buku ketiga. Buku pertama berjudul “Pandemi : Antara Fakta dan Fiksi” (2021), Antologi Puisi (2022), dan “Siswa Merdeka Menulis” (2024) berkisah tentang pengalaman siswa. Bincang Buku karya siswa oleh guru adalah ciri pemerlain bagi Toska memperingati 96 Tahun Sumpah Pemuda, yang dirangkaikan dengan Lomba Membaca Berita, Lomba Bercerita, Lomba Menulis Cepen, Lomba Peragaan Busana Batik bagi para siswa, di samping Pelanikan Pengurus OSIS dan Musyawarah Perwakilan Kelas (MPK) masa bakti 2024/2025.
Acara Bincang Buku serangkaian 96 Sumpah Pemuda menarik dicermati karena beberapa alasan.
Pertama, Kebijakan Toska merelasikan Program Gelis Diksi (Gerakan Literasi bersama Pendidik dan Siswa) dengan semangat Sumpah Pemuda. Terimplisit maksud, mengambil inspirasi semangat pemuda yang berjuang dengan gigih secara literat dengan bacaan yang mahaluas sebagai bekal mewujudkan Indonesia Merdeka yang dicita-citakan bersama para kaum muda dari berbagai daerah dengan menanggalkan SARA. Melalui bacaan yang luas, para pemuda dari berbagai daerah membangun kesadaran nasionalisme secara kolektif. Ada keyakinan yang ditumbuhkan dan dibangkitkan bersama pasti bisa.
Kedua, membayangkan wajah Indonesia Emas pada 2045 saat seabad Kemerdekaan Republik Indonesia melalui aplikasi Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang di Toska disebut Gelis Diksi. Kebersamaan pendidik dan siswa dalam mengembangkan literasi akan mempercepat proses menjadi literat sebagaimana yang telah dicontohkan kaum muda tempo doeloe sebelum Indonesia Merdeka. Kaum muda tempo doeloe tidak mengenal gerakan literasi tetapi telah muncul kesadaran literasi yang terbukti dari kemampuannya merumuskan Sumpah Pemuda yang menjadi puisi kebangsaan hingga kini.
Ketiga, memanggungkan guru dan siswa dalam pergulatan akademik fase awal. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru Toska sebagai narasumber terkait produk literasi yang dihasilkan siswa. Tidak tertutup pula peluang untuk memuliakan karya siswa sebagai bahan ajar dengan bahasanya sendiri. Manfaatnya, siswa merasa dihargai dan berpeluang untuk menghasilkan narasi yang lebih bernas. Guru juga dapat berguru pada murid sekaligus ujian bagi guru sepanggung dengan siswanya disaksikan oleh siswa dari sekolah lain yang diundang (Peserta Ekstrakurikuler Jurnalistik SMAN 2 Kuta).
Mencari guru dengan kesadaran diri membincangkan karya para siswanya ternyata tidak mudah. Dari 3 guru yang saya minta menjadi pembahas secara panel, hanya dua orang yang bersedia. Mereka yang tidak bersedia beralasan belum punya pengalaman padahal saya menyiapkan panggung untuk membuat pengalaman.
Namun demikian, saya bersyukur, dua guru yang membincangkan buku ini menguasai medan literasi walaupun baru tahap awal. Setidaknya, pembahas dan moderator telah dibukukan karyanya dalam buku “Guru Merdeka Menulis” yang dibedah pada akhir Agustus 2024 menjelang Lustrum Toska. Segiri Putra yang guru Matematika berhasil menjadi moderator dengan baik dan merangsang pembahas mengeluarkan ketajaman analisisnya terhadap narasi produksi para siswa.
Dewa Ayu Candra Kirana yang guru Bahasa Indonesia juga berhasil mengulik karya para siswa dengan pendekatan pragmatik. Ia menekankan seorang penulis diharapkan mampu menyampaikan pesan sesuai dengan maksud penulisnya. Maka, penulis perlu membangun dialog dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain sebagai pembaca awal bagi teks yang dibuat. “Suruh teman lain membaca tulisan yang kita buat untuk menilainya. Bila perlu lebih dari satu orang untuk menanggapinya. Dari situ akan diperoleh masukan dan penilaian, layak tidaknya tulisan itu tayang secara on line atau cetak”, demikian kata Candra Kirana yang mengaku segera menerbitkan novel dan telah melahirkan 5 cerpen.
Pengakuan Candra Kirana ini memberikan vibrasi positip bagi tumbuh suburnya semangat Gelis Diksi di Toska. Kemampuannya menulis Cerpen dan Novel berelasi dengan darah seni yang mengalirkan jiwa Candra Kirana hingga berhasil melahirkan Tari Ambar Sisya dan Tari Jagat Nusantara sebagai produk Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) dalam tema keanekaragamana budaya. Baik produk tulisan dan tari sesungguhnya adalah karya seni yang mensyaratkan adanya komposisi. Ibarat seni fotografi, memenuhi semua bidang secara simetris berkeseimbangan yang mengesankan hubungan harmonis secara artistik.
Model demikian pula yang ditangkap Made Santiasa yang mencoba membaca karya pengalaman siswa Toska dari sudut pandang seni lukis. Seperti halnya, seni fotografi, sebuah lukisan yang baik perlu komposisi yang simetris agar tampak estetis selain perpaduan warna yang menarik sesuai dengan karakter yang digambarkan. Oleh karena itu, pilihan tema dalam lukisan, mirip dengan pilihan tema dalam tulisan. Seorang pelukis bisa meringkas isi teks dengan sebuah lukisan yang indah berdasarkan interpretasi secara subjektif, tentunya. Itulah yang memberikan ruang gerak apresiasi secara demokratis. Jadi, baik menulis maupun melukis, adalah latihan membangun semangat demokrasi dengan warna perbedaan yang tidak perlu dipertentangkan, tetapi ditempatkan secara proporsional memberikan warna keindahan yang mencerahkan.
“Tulisan yang baik memenuhi kaidah-kaidah seni pada umumnya. Karena menulis pada hakikatnya adalah seni menuangkan ide bermodalkan kelincahan gerak memainkan kata-kata. Ibarat penari, ia menguasai medan yang mampu memukau penonton tanpa meninggalkan penari sebelum tarian berakhir. Begitu pula tulisan yang baik, mampu menggugah pembacanya suntuk menyelesaikan membaca sampai tuntas,” demikian Santiasa menggugah siswa yang bersemangat menyimak dari awal sampai akhir.
Acara bincang buku ini mendapat tanggapan beragam dari para siswa sebagai bentuk apresiasi terhadap produk Program Gelis Diksi Toska. Ada yang menyebut buku “Siswa Merdeka Menulis” ini keren dan menarik dengan isi beragam. Toska patut bersyukur punya Program Gelis Diksi yang melahirkan sejumlah buku dalam usia lima tahun. Di sini yang menulis buku adalah Kepala Sekolah, guru, dan siswa. Literasi bukan dalam umbaran kata-kata pemanis bibir untuk mendapatkan follower demi power. Literasi diwujudkan dalam bangunan Candi Bahasa sebagai monumen abadi, sebagai mana disebutkan peribahasa, harimau mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama karena karyanya.
Dalam konteks ini pantas diapresiasi puisi Wiji Thukul berjudul “puisi untuk adik” dalam Kumpulan Nyanyian Akar Rumput (2019). Bait terakhir puisinya begini ;
apakah nasib kita akan terus seperti
sepeda rongsokan karatan itu ?
o… tidak, dik
kita harus membaca lagi
agar bisa menuliskan isi kepala
dan memahami dunia
Begitulah Wiji Thukul yang dinyatakan hilang pada akhir Orde Baru sampai kini belum ditemukan tetapi namanya abadi dan terus diapresiasi karya puisinya sebagai cermin zaman. “Tanpa menulis, kau akan hilang dari pusaran sejarah,” tulis Pramudya Ananta Toer. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT