MENTERi Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Pariwisata dan Ekononomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno satu nada dan satu irama tentang moratorium pembangunan hotel di Bali.
Kedua menteri itu memandang Bali sudah tidak baik-baik saja. Luhut Panjaitan sempat mengeluarkan peringatan keras agar tidak ada lagi lahan persawahan yang digunakan untuk membangun akomodasi pariwisata. Tidak ada lagi orang membuat vila di sawah. Sawah biarlah sawah, supaya Bali jadi Bali yang unik (detikbali, 3 September 2024).
Selain itu, Luhut juga meminta agar pihak imigrasi dan Kepolisian Daerah Bali lebih tegas menyikapi turis asing yang berulah di Bali. Turis yang seperti itu harus langsung dideportasi dan dimasukkan ke daftar hitam agar tidak bisa kembali ke Indonesia.
Senada dengan Luhut, Menparekraf Sandiaga Uno bakal melakukan moratorium hotel untuk menjaga kualitas pariwisata Indonesia. Menurutnya, pemerintah sedang menggodok sejumlah kebijakan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pariwisata di Tanah Air. Salah satunya penghentian konversi lahan pertanian hingga moratorium pembangunan hotel (CNBC Indonesia, 2 September 2024).
Menurut Sandiaga Uno, moratorium pembangunan hotel berdasarkan potensi kepadatan yang membuat situasi tidak aman dan tidak nyaman, khususnya di Bali Selatan. Terutama pembangunan hotel yang tidak memiliki aspek keberlanjutan serta penghentian konversi dari lahan pertanian menuju lahan komersial.
Tertinggal Kereta
Apa yang akan dilakukan Menko Marves dan Menparekraf sesungguhnya bukan barang baru. Sejak awal masyarakat, akademisi, dan pelaku pariwisata di Bali sudah mengusulkan moratorium pariwisata, termasuk pembangunan hotel dan sengkarut konversi lahan.
Gagasan kedua menteri itu merupakan kebijakan yang terlambat. Ibaratnya, Luhut dan Sandiaga tertinggal kereta cepat pariwisata. Bali dan pariwisatanya seperti kereta cepat yang berjalan tanpa masinis, zig-zag, banyak melenceng.
Sinyal dan rambu-rambu juga diabaikan kereta cepat pariwisata itu. Sementara penumpang kereta begitu berjubel. Akibatnya, pariwisata Bali menjadi sarat beban. Laju perkembangannya tak terkendali, dan dalam banyak kasus sering terjadi benturan kebijakan dan kepentingan.
Meski terlambat, kebijakan moratorium hotel dan larangan konversi lahan masih dianggap penting, karena dapat mencegah pariwisata Bali semakin porak-poranda. Kuncinya bukan ada pada kedua menteri yang sebentar lagi pensiun dari Kabinet Jokowi. Masyarakat, pemerintah daerah Bali, dan seluruh pemangku kepentingan pariwisata Bali perlu dilibatkan.
Dari Hulu ke Hilir
Memperbaiki pariwisata Bali yang kian menjurus rusak diperlukan langkah yang tepat, bukan hanya taktis semata. Kebijakan yang strategis juga perlu dirancang. Itu semua harus dimulai dari hulu, bukan mengatasi hilirnya saja.
Moratorium hotel adalah kebijakan di hilir yang dilakukan dengan keterpaksaan setelah Bali menyandang banyak masalah. Sementara kajian di hulunya tidak dilakukan sejak awal. Ini yang membuat pariwisata Bali seolah sulit untuk dibenahi.
Moratorium itu penting. Konservasi lahan pertanian juga penting. Akan tetapi lebih penting jika sebelum kebijakan itu diterapkan, dilakukan dulu kajian tentang daya dukung pariwisata Bali. Berapa sesungguhnya kemampuan Bali menerima kunjungan wisatawan dengan luas wilayahnya yang dimanfaatkan untuk bisnis pariwisata?
Berapa jumlah hotel dan vila, berapa jumlah kamar yang ideal bagi Bali? Kajian daya dukung seperti itu hingga kini belum dilakukan. Akibatnya, pembangunan hotel dan vila setiap tahun terus bertambah. Jumlah kamar hotel juga terus bertambah. Dan ketika Bali dituding overtourism, banyak pihak yang menampiknya; dengan alasan ketersediaan kamar hotel di Bali masih banyak.
Setali tiga uang dengan moratorium hotel, konversi lahan juga harus dikaji dari hulunya. Jika banyak persawahan yang hilang karena bisnis pariwisata, maka pertanyaannya mengapa masyarakat menjual sawahnya? Mengapa begitu mudah Subak disulap menjadi resort pariwisata? Sejauh mana pemerintah memiliki perangkat hukum yang kuat untuk melindungi Subak?
Jika sekarang baru berpikir untuk membuat aturan konversi lahan, maka sudah terlambat. Meski aturan itu sangat penting bagi perlindungan lahan pertanian maupun perkebunan agar tidak beralih fungsi menjadi lahan pariwisata.
Mentalitas Pejabat dan Masyarakat
Kondisi pariwisata Bali yang kian parah tak terlepas dari mentalitas pejabat pusat dan daerah, serta masayarakat Bali sendiri. Ketegasan pejabat yang berwenang dalam kebijakan pembangunan pariwisata sangat diragukan. Termasuk juga keseriusan untuk menata pariwisata Bali agar lebih baik.
Betapa tidak? Bagaimana mungkin wisatawan asing bisa dengan leluasa melakukan bisnis pariwisata di Bali dalam jangka waktu lama? Bagaimana bisa wisatawan asing memiliki vila dan menjualnya dengan harga murah?
Di mana ketegasan pejabat ketika tebing kapur dikeruk untuk pembangunan vila. Mengapa setelah viral di media, baru dilakukan upaya untuk menghentikan pembangunan itu? Celakanya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sandiaga Uno baru akan mengumpulkan data-data terkait pembangunan vila itu. Selama ini ke mana saja sang menteri itu?
Apa yang dilakukan pejabat pusat dan daerah ketika 5 dari 1.595 subak di Bali hilang pada tahun 2018? Data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali sungguh menyeramkan. Masifnya pembangunan dan alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan sekitar 2.000 hektare sawah di Bali lenyap setiap tahun (detiktravel, 10 September 2024).
Konglomerat dan beberapa pejabat pusat di kementerian memiliki hotel dan vila di Bali. Harapannya, mereka memiliki prosedur perizinan pembangunan yang benar, tidak melanggar tata ruang, dan mendukung keberlanjutan lingkungan. Andai pun tidak, apakah pejabat di Bali berani membatalkan perizinan dan menghentikan proses pembangunannya?
Mentalitas masyarakat pun patut dipertanyakan. Wacana moratorium yang dilontarkan pemerintah belum tentu didukung semua masyarakat, lantaran masih ada masyarakat yang menganggap bahwa moratorium itu bertentangan dengan hak perdata masayarakat, bertentangan dengan kebebasan masyarakat untuk memanfaatkan dan menjual lahannya.
Masih ada warga yang dengan berbagai alasan menjual lahan miliknya kepada investor untuk dibangun fasilitas pariwisata. Mereka tak berpikir tentang arti penting moratorium, tak mau tahu arti penting konservasi lahan.
Bagi mereka yang penting dapat uang, bisa buat rumah mewah, beli mobil bagus; dan ketika lahan yang mereka jual berdampak buruk pada lingkungan dan pariwisata, itu bukan urusan mereka. Pun ketika lahan mereka ternyata menjadi milik bule yang berbisnis di Bali, mereka tak peduli.
Sejatinya, masalah penting terkait moratorium dan konversi lahan bukan semata tekanan terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan citra pariwisata Bali dan Indonesia di mata dunia. Ini bisa merugikan bagi industri pariwisata Indonesia, namun akan menguntungkan bagi negara lain yang menjadi kompetitor Indonesia dalam bisnis pariwisata.
Kondisi pariwisata Bali akan menjadi “bulan-bulanan” bagi negara lain untuk promosi pariwisatanya. Tampaknya betul kata pemeo, merusak lebih mudah daripada membangun. Citra pariwisata yang terlanjur buruk perlu waktu lama untuk memperbaikinya. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU