APA beda democracy dan democrazy? Democracy berarti, petani-pekebun boleh jadi Gubemur, Bupati dan Walikota. Sedangkan democrazy berarti, petani pekebun boleh berbuat apa saja, kecuali jadi Gubemur, Bupati dan Walikota. Lho, kok begitu? Memang begitu. Dalam kamus bahasa Inggris John M. Echols dan Hasan Shadily, disebutkan democracy jelas artinya : demokrasi.
Tetapi democrazy? Saya telah membalik-balik kamus tersebut tiga hari tiga malam, tapi tidak ketemu. Bahkan juga dalam kamus bahasa prokem yang disusun Prathama Raharja dan Hendri Chambert-Loir terbitan Grafiti, juga tidak ditemukan istilah democrazy. Jadi democrazy terserah pembaca menerjemahkan.
Kalau menurut kaidah bahasa Inggris atau hukum MD ( menerangkan-diterangkan), maka democrazy bisa berarti : gila menghalalakan segala cara, yang hari-hari kerjanya hanya jilat dan carmuk (cari muka), tak peduli siapa kawan siapa lawan angkat atas injak bawah (belah bambu). Berbuat apa saja karena dibayar atau bila perlu membayar agar bisa menjilat. Nah gila kan?
Tapi prolog di atas mungkin hanya di “Konoha”. Di Jawa-Tengah, khususnya di Kabupaten Banyumas, mana ada yang gila-gilaan seperti itu, kalupun ada paling setengah gila.. Barangkali karena kedengarannya hampir sama, padahal kosakata ini jauh berbeda, maka democrazy dipergunakan sebagai plesetan dari democracy. Democrazy adalah demokrasi yang gila-gilaan, begitulah kira-kira. Tetapi sesungguhnya, democracy dan democrazy jelas berbeda.
Mantan Presiden Amerika-Serikat Abraham Lincoln, memberikan rumusan yang terkenal, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ( a government from the people, by the people, and for the people), artinya pemerintahan oleh mereka yang diperintah. Demokrasi kalau tidak diplesetkan, sebenamya kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi kini telah bergeser menjadi dari rakyat, oleh penguasa, dan untuk penguasa, Rakyat kini justru kehilangan hak-hak dasamya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Sebagai pemegang kedaulatan, partispasi rakyat tidak seharusnya berhenti di bilik suara. Lebih dari itu, dalam setiap tahapan kehidupan bemegara dalam skala apapun, rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi. Dinamika kehidupan demokrasi secara esensial terletak dalam partisipasi yang lebih luas dan menyeluruh.
Deliar Noer (1983) mengemukakan bahwa demokrasi sebagai dasar hidup bemegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir masyarakat memberikan ketentuan pada masalah• masalah pokok mengenai kehidupanya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Mahfud MD ( 1999), secara historis tercatat bahwa prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip hukum dalam negara-negara demokrasi modern. Jadi demokrasi dan hukum lahir dari ibu kandung yang sama sehingga sering muncul adigum bahwa demokrasi dan hukum ibarat dua sisi dari sebuah mata uang. Tidak ada demokrasi tanpa ada hukum yang tegak dan tidak ada hukum yang tegak tanpa pembangunan kehidupan politik yang demokratis
Gila-Gilaan
Demokrasi dalam Pilkada serentak digelar tanggal 27 November 2024 menjadi bom waktu bagi demokrasi kita. Demokrasi diharapakan hadir untuk menjelmakan kedaultan rakyat, justru menjadi ajang berebut pengaruh dan uang membuat orag lepas kendali, lupa diri dan tampak seperti orang gila atau setengah gila.
Memperbincangkan tentang demokrasi haruslah membicarakan juga Pilkada dan Partai Politik. Demokrasi dalam Pilkada telah banyak beredar di Google, namun mengenai figur yang dicalonkan ada terbatas jumlahnya dan kebanyakan hanya berisi info mengenai koalisi Parpol. Padahal dalam proses pencalonan Pilkada diduga kuat calon yang bersangkutan harus mendapat tiket dari Parpol untuk bisa menjadi calon kepala daerah.
Praktek jual beli dukungan seperti ini samakin gila karena memang sang calon membutuhkan suara 20 % kursi di DPRD (koalisi Parpol). Meskipun dalam kenyataanya hanya koalisi Parpol (koalisi papan nama) tetapi akar rumput (grassroot), atau kader partai yang akhirnya membelot memberikan dukungan kepada calon lain ( lapisan bawah yang menjadi target pengumpulan suara sia-sia).
Biaya belanja tiket yang dikeluarkan minmal 2 miliar untuk sebuah Parpol oleh calon inilah yang potensial menjadi penyebab korupsi. Jika terpilih, tentu saja yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi sang calon kepala daerah yang terpilih adalah untuk mengembalikan semua modal yang telah dikeluarkan dalam proses politik pencalonannya.
Kini beberapa hal yang harus diperjuangkan antara lain, memperkuat kesadaran masyarakat tentang demokrasi kerakyatan. Usaha ini dapat dilakukan dengan pendidikan politik secara luas kepada rakyat. Dengan melakukan pendidikan politik secara terus-menerus, diharapkan akan tumbuh kesadaran tegaknya demokrasi. Bahwa tidak dapat dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan, tetapi sarana untuk menjaga amanah bagi kesehateraan rakyat.
Pelajaran berarti dari fenomena ini telah disosialisakan oleh KPU mengenai pendidikan pemilih, diharapkan tumbuhnya kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dan tergugahnya sikap kritis masyarakat untuk mencegah beragam potensi kecurangan akan terjadi dalam Pilkada nanti. Hal demikian ini hendaknya melecut aktivis partai untuk benar-benar setia terhadap idelogi, platform dan moralitas politik sehingga harapan konstituen yang diemban partai dapat dicapai dan sekaligus mampu mengeluarkan daerah masing-masing dari malapetaka Kemelaratan (kemeskinan akut), KKN dan ketidakadilan yang melingkupi wajah NKRI saat ini.
Democracy dan demokrazy, diftongnya memang hampir sama, tetapi sebenamya dalam kosakata sangat jauh berbeda. Namun kalau di lapangan sekarang kedua kosa-kata ini sulit dibedakan, itu barangkali karena kita sedang mulai menikmati demokrasi sambil belajar, atau mulai balajar sambil menikmati demokrasi. Wallahu a’lam bil-shawab. [T]