AKHIR-AKHIR ini ramai pemberitaan di media tentang upaya perjuangan masyarakat adat di Papua mempertahankan hutan mereka. Bagi masyarakat tersebut, hutan adalah kehidupan, mereka bahkan menyebutkan tidak perlu uang untuk hidup asal hutannya lestari.
Semua anggota masyarakat boleh memanfaatkan hasil dari hutan tanpa harus memilikinya secara pribadi. Bahan makanan berupa buah-buahan, daun-daunan, umbi-umbian, ikan, binatang dan lainnya bisa diambil bebas.
Banyak masyarakat adat yang masih hidup dengan konsep kepemilikan bersama semacam itu. Ini sering disebut sebagai ‘the commons.‘ Melihat hal ini, saya teringat dengan pengalaman dua tahun lalu saat menemani anak-anak mahasiswa Prodi Arsitektur Warmadewa melakukan kegiatan Merdeka Belajar di sebuah desa di pedalaman NTT.
Akhir tahun 2022, tetapnya 3 Desember 2022, saya berkunjung ke NTT untuk melihat mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan di Dusun Menelima, Desa Kamanasa, NTT.
Banyak hal baru yang bisa kita lihat sedang berlangsung di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Timor Leste ini. Pembangunan sedang giat dilaksanakan dan membawa banyak perubahan. Pembangunan-pembangunan ini tentu diharapkan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pemandangan di Dusun menelima, NTT | Foto: Gede Maha Putra
Bandara El Tari kini terlihat lebih mentereng. Sekeluar dari pesawat masuk lorong garbarata, kita menyaksikan sosok terminal dengan atap menjulang terinspirasi rumah Sumba. Struktur baja menyangga elemen paling dominan dari bangunan terminal tersebut.
Di dalam, bagian interior dihiasai dengan beberapa gambar rumah-rumah dan pertunjukan tradisional khas masyarakat NTT. Sebuah ruangan bertulisan ‘International Terminal’ nampak lengang, belum berfungsi. Rantai terpasang di depan lorongnya.
Sejak beberapa tahun ini, Kawasan Indonesia bagian Timur berbenah. Pariwisata terlihat menjadi salah satu sumber pendapatan yang sedang dibidik. Bandara El Tari, dengan terminal internasionalnya, bersiap menyambut rencana tersebut.
Salah satu destinasi paling terkenal di region ini tentu saja adalah Labuhan Bajo, Pulau Komodo dan desa-desa tradisional seperti Wae Rebo. Di Pulau Timor memang tidak banyak obyek, tetapi bisa menjadi hub bagi yang ingin mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan di atas.
Selain pariwisata, Gubernur NTT sedang giat membangun lahan pertanian guna meningkatkan produksi jagung. Peternakan sapi juga menjadi upaya lain untuk meningkatkan performa ekonomi wilayah ini mengingat luasnya padang rumput yang masih tersedia. Modal-modal besar tentu dibutuhkan untuk membangun infrastruktur yang mendukung rencana-rencana tersebut.
Bangunan tradisional di Menelima | Foto: Gede Maha Putra
Jauh dari Kota Kupang, 7-8 jam berkendara, saya menyaksikan hal yang lain. Ini adalah daerah yang mungkin kurang menarik dari sisi wisata dan tidak menguntungkan jika dikembangkan untuk pertanian dan peternakan dengan berbagai alasan termasuk infrastruktur transportasi. Di sini, kitab bisa lebih jernih melihat perubahan kehidupan yang sedang terjadi. Daerah ini adalah Dusun Manelima di Kabupaten Kamanasa.
Transformasi sedang terjadi di masyarakat. Rumah-rumah baru beratap seng gelombang dengan dinding batako dan semen terlihat dominan di antara bangunan-bangunan adat beratap daun palem setempat, bertiang kayu dengan dinding juga dari bahan sama.
Di kampung ini, mahasiswa menghabiskan waktu selama 4 bulan terakhir belajar soal kehidupan masyarakat tradisional termasuk membuat sebuah bangunan adat bersama warga. Kelompok masyarakat adat masih memegang tradisi di tengah gempuran perubahan yang sedang mengintai.
Saat saya tiba, bangunan sudah hampir jadi lengkap dengan atap. Hanya perlu dirapikan di beberapa bagiannya.
Dalam proses pembangunannya, berbagai ritual harus dilewati. Di awal pembangunan, upacara digelar saat memancangkan dua tiang utama bangunan. Keduanya mewakili leluhur laki dan perempuan yang membuat kehidupan di bumi bisa terjadi.
Memancangkan tiang berarti harus membuat lubang di tanah dan ritual ini dipercaya sebagai permohonan ampun karena sudah lancang membuat struktur di atas tanah dan sekaligus mendoakan agar tiang yang dipancang serta rumah yang dibangun nanti akan bisa berhubungan harmonis dengan tempatnya serta manusia penghuninya. Ini adalah simbol dari upaya untuk menjalin hubungan antara manusia dengan rumah yang akan dihuninya dengan tanah dimana bangunan akan berdiri.
Bangunan dan pohon-pohon di Dusun Menelima | Foto: Gede Maha Putra
Bangunan membutuhkan material-material kayu, bambu dan juga daun gewang, sejenis palem setempat mirip lontar tapi dengan batang pohon pendek. Untuk mengumpulkan material, upacara juga mesti dilakukan. Ini dilakukan karena masyarakat masih sangat percaya bahwa ada kekuatan besar yang menjadi pemilik sejati dari bahan-bahan tersebut.
Ibu Bumi adalah sang pemilik yang murah hati. Siapapun boleh mengambil bahan-bahan tersebut dari hutan yang dikelola secara adat. Ini adalah kepemilikan bersama sehingga selain pemanfaatannya, maka kelestariannya juga harus dijaga untuk menjamin bahwa generasi penerus tidak akan kekurangan material-material alami tersebut.
Untuk mengerjakan rumah, pertolongan kerabat dan tetangga dibutuhkan. Untuk menghadirkan orang dalam jumlah besar maka ijin semesta juga dibutuhkan agar semua mau mengerjakan bangunan dengan ikhlas sehingga ritual juga diperlukan.
Kehadiran masyarakat turut menjadi mekanisme kontrol atas penggunaan sumber daya alam yang dipakai dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena merekalah yang memotong, membersihkan, mengangkut material ke lokasi pembangunan serta mengerjakannya hingga terwujud sebuah rumah. Keterlibatan masyarakat ini membentuk demokrasi, karena keputusan tentang seberapa banyak material yang dapat dimanfaatkan diambil bersama-sama.
Giovanna Ricoveri dalam bukunya berjudul ‘Nature for Sale‘ mengobservasi bahwa pandangan yang melihat bumi dan segala isinya sebagai terra mater (ibu bumi) dianut oleh masyarakat tradisional yang menghuni berbagai belahan dunia yang berbeda-beda.
Penghormatan terhadap bumi dilakukan dengan hanya mengambil secukupnya atas apa yang dibutuhkan. Proses pengambilan juga dilakukan dengan hati-hati, kadang diiringi rasa bersalah sehingga harus dilakukan dengan ritual permohonan ampun. Masyarakat menerima pemberian alam dengan penuh syukur dan menjaga sumber daya melalui gaya hidup yang berkelanjutan.
Sumber daya yang ada di muka bumi tidak bisa dimiliki secara perorangan tetapi harus dimanfaatkan secara komunal karena merupakan kepemilikan bersama.
Konsep kepemilikan bersama, atau the commons, mewujudkan hubungan sosial berdasarkan partisipasi demokratis. Anggota masyarakat saling bekerjasama dalam menjaga ketersediaannya karena memiliki ketergantungan yang setara atas sumber daya alam. Pengambilan dan pemanfaatan atas the commons memiliki prinsip yang jelas yang dihasilkan dari sistem pengambilan keputusan bersama.
Selain kepemilikan bersama, ada pula pandangan kepemilikan kolektif. Meskipun secara prinsip hampir sama, pemikiran yang kedua ini membatasi penggunaan atas sumber alam hanya berlaku pada anggota kelompok yang bersepakat saja. Jika ada anggota masyarakat yang bukan bagian dari kelompok, maka harus meminta ijin sebelum menggunakan sumber daya yang bersifat kepemilikan kolektif ini.
Pada masyarakat tradisional di Bali, misalnya, keputusan soal sawah mana yang akan mendapat air seberapa banyak, pada waktu kapan dan seberapa lama diatur oleh anggota satuan petani yang disebut subak. Air tidak boleh dimiliki atau dimonopoli. Dalam masyarakat tradisional lain, aturan-aturan tentang pohon mana yang bisa ditebang, untuk kegunaan apa, dan pada hari apa juga diatur.
Di Kamanasa, mahasiswa melaporkan bahwa ada ritual yang harus dilakukan sebelum masyarakat mengambil rotan dan juga daun nipah di hutan. Pengaturan-pengaturan ini adalah refleksi dari pandangan masyarakat atas apa yang dimaksud sebagai kepemilikan bersama sekaligus mencerminkan cara pandang terra mater, ibu bumi sebagai pemilik hakiki alam semesta.
Hingga akhir abad ke-18, kontrol masyarakat atas milik bersama masih merupakan metode pemerintahan dan kepemilikan yang lumrah, bahkan di Eropa. Masyarakat berpandangan bahwa milik bersama sangat penting untuk masa depan bersama dan penciptaan demokrasi bumi di mana hak atas kelangsungan hidup semua spesies dan semua orang dilindungi.
Revolusi industri yang didukung oleh pandangan liberal dan dukungan kapitalisme mengubah pandangan tentang kepemilikan bersama. Dalam cara kerja kapital yang bertugas menciptakan keuntungan melalui kompetisi, pandangan ini dianggap tidak lagi relevan. Konsep kepemilikan bersama bahkan bertentangan dengan individualisme yang didorong oleh kapitalisme.
Untuk memenuhi ambisi kapital yang dituntut untuk memproduksi sebanyak-banyaknya komoditas, hak-hak pribadi atas sumber daya alam mulai dikenal. Ini membentuk kompetisi yang berujung pada mekanisme pasar.
Mesin-mesin hasil temuan mutakhir membutuhkan sumber daya alam agar bisa terus melipatgandakan kapital. Penguasa-penguasa dari belahan utara lalu bergerak ke selatan, ke daerah-daerah Asia, Afrika, Amerika Latin hingga Australia. Mereka melakukan invasi. Tanah-tanah yang tadinya merupakan terra mater, ibu bumi milik bersama, dilihat sebagai lahan kosong yang bisa dibagi-bagi menjadi kepemilikan personal.
Tanah-tanah yang tadinya tanpa batas lalu didemarkasi, dibagi-bagi di antara sesama bangsa kulit putih. Hutan-hutan berubah menjadi lahan-lahan pertanian yang menghasilkan jenis pohon tertentu. Lahan pertanian monokultur tersebut dieksploitasi untuk memproduksi bahan baku bagi mesin-mesin industri yang menghasilkan produk yang laku di pasar internasional.
Rakusnya kapital yang dituntut untuk terus menduplikasi diri membuat lahan harus terus dipaksa menghasilkan komoditas.
Meski kolonialisme telah berakhir, cara pandang kapitalistik dan liberal terus berjalan menggurita menguasai dunia. Liberalisme bahkan kini menjadi satu-satunya azas yang eksis pasca runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet. Praktek-praktek pemanfaatan alam yang kapitalistik kini diambilalih oleh sekelompok orang yang sebagian di antaranya mampu mempengaruhi keputusan politik.
Warga Dusun Menelima | Foto: Gede Maha Putra
Pemerintah yang mendukung cara kerja pengusaha dalam berkompetisi bisa jadi akan turut serta campur tangan dalam pemanfaatan sumber alam. Ini mengancam pandangan Terra Mater.
Sejak masa kolonial, tanah Timor telah dibagi dua. Bagian timur dikuasai oleh Bangsa Portugis sementara Bangsa Belanda menguasai wilayah barat. Kini, setelah kolonialisme berakhir, Tanah Timor ‘terpisah’ secara adminsitrasi menjadi Timor Leste dan bagian yang ada di bawah Republik Indonesia. Keluarga dan kelompok yang tadinya bebas bergerak di atas tanah kapur tersebut kini terpisah secara adminsitrasi karena menjadi warga dari negara yang tidak sama.
Salah satu kepala suku yang saya jumpai bercerita, dahulu leluhurnya ada di satu kawasan di wilayah yang sekarang menjadi Timor Leste. Mereka pindah akibat upaya perluasan wilayah yang dilakukan oleh Bangsa Portugis. Orang-orang tersebut masih bebas dengan leluasa bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain karena tidak ada demarkasi dan kepemilikan personal atas lahan.
Kapital kini sedang masuk ke pelosok-pelosok lahan melalui berbagai saluran. Pertanian lahan kering kini segera didominasi jagung. Hutan-hutan berkarakter rustic berubah menjadi monokultur melayani kebutuhan industri nasional bahkan mungkin juga internasional.
Hal yang sedang direncanakan matang adalah industri pariwisata. Ya, ini akan menjadi pintu masuk bagi kapitalisme dan juga mungkin liberalisme. Kedua hal ini bisa jadi akan mentransformasi dengan sangat cepat pandangan masyarakat lokal, merubah posisi bumi dari terra mater menjadi terra nullius (tanah kosong yang siap dibagi-bagi).
Pemandangan alami di Dusun menelima | Foto: Gede Maha Putra
Nanti, suatu saat kita mungkin tidak lagi menyaksikan ritual yang merupakan perwujudan penghormatan masyarakat terhadap ibu bumi. Lahan yang semula merupakan kepemilikan bersama berubah menjadi komoditas yang berperan sebagai alat produksi.
Sebagai alat produksi, ia harus berproduksi seperti mesin. Jikapun masih ada, ritual -ritual adat mungkin akan dilihat sebagai adat kebiasaan yang dilabeli dengan kata-kata fancy ‘local wisdom’. Atau, jika lebih parah, menjadi atraksi bagi wisatawan. Maknanya? Menguap tergantikan oleh barang-barang yang bisa diproduksi massal.
Perjuangan kelompok masyarakat adat atas lahan hutan yang sedang ramai di media dalam beberapa hari ini adalah perang ideologi, perbedaan pandangan dalam melihat bumi dan seisinya. [T]
- BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA