SAYA datang mendahului malam. Memarkir motor di sebuah penginapan—cukup mewah untuk ukuran orang dusun seperti saya—di pinggir jalan tembusan Wongaya Gede, Penebel. Penginapan dan restoran memang berjajar di sana—di bahu jalan Banjar Jatiluwih. Semua menghadap langsung ke hamparan teras sawah yang memanjakan mata pelancong meskipun letaknya memunggungi Batukaru yang magis.
Hamparan hijau itulah magnet utama tempat ini. Seperti tersihir, orang-orang datang ke Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, dengan mata terbelalak.
Batukaru tak lagi tampak. Hanya bayangan hitam di balik kabut sore hari. Gunung purba itu berdiri di belakang pagar hotel dan restoran. Udara di sini tentu saja lebih dingin daripada Buleleng bagian utara. Tapi seorang perempuan bule berkulit pucat yang melintas di depan penginapan merasa cukup memakai kaos tanpa lengan. Saya, orang dataran rendah, bahkan merasa jaket saja tak cukup membendung gigil yang kian menusuk.
Di penginapan, saya bertemu I Wayan Agus Saputra—saya memanggilnya Pak Agus, petani yang menjabat sebagai Kawil Banjar Gunung Sari, Desa Jatiluwih, sekaligus dipercaya Perbekel Jatiluwih untuk menjadi sosok Daya Desa di sana. Bersama Pak Agus, saya membicarakan banyak hal tentang desa yang teras sawahnya ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tahun 2012 itu. “Untuk lebih jelas, besok kita lanjut di lapangan, ya!” ujar lelaki tinggi-gagah tapi bersuara lembut itu.
Sawah berjenjang di Jatiluwih | Foto: Jaswanto
Jatiluwih adalah zamrud dalam bentuk yang lain. Sebagaimana bait puisi Ubud (1963) Isma Sawitri, “Yang emas adalah padi…”, bagi orang Jatiluwih, padi adalah segala-galanya. Mereka menganggap padi bukan sekadar makanan penghilang lapar, lebih daripada itu, sebagaimana petani-petani desa lain di Bali, padi adalah Dewi dengan “D” besar.
Pada pagi menjelang siang, Agus mengajak saya berkunjung ke rumah I Ketut Nurata, petani sekaligus pengurus subak di Gunung Sari. Di rumah sederhana di pinggir jalan utama Jatiluwih inilah, saya melihat alat-alat pertanian tradisional yang digunakan petani Jatiluwih, dulu.
Pak Tut, begitu lelaki enam puluh tahun itu akrab dipanggil, tak sekadar menunjukkan, tapi juga menjelaskan nama dan fungsi masing-masing alat. Ia menyebut tenggala, tetekan, singkal, penguruk, uga,dan lampit—nama-nama asing yang kali pertama saya dengar. “Itu semua alat untuk membajak sawah,” jelas Pak Tut. “Di depan itu kalau mau lihat,” sambungnya sambil menunjuk alat-alat bajak yang teronggok di pekarangan rumahnya.
Di pekarangan itu, terdapat dua jenis tenggala dan lampit. Di kampung saya, tenggala disebut luku. Sedangkan lampit dinamai garu. Tenggala berfungsi untuk membalik tanah supaya gembur. Alat ini terdiri dari singkal (besi tajam untuk memotong, membalikkan, dan memecah tanah serta membenamkan sisa-sisa tanaman), tetekan (badan tenggala), penguruk (pegangan tenggala), dan uga (terbuat dari kayu yang dipasang di leher sapi dan diikat di ujung badan tenggala—di kampung saya disebut rakitan).
Uga di rumah Ketut Nurata | Foto: Heri
“Kalau lampit fungsinya untuk meratakan tanah setelah digemburkan pakai tenggala,” terang Ketut Nurata. Di Jatiluwih, sebagaimana di tempat-tempat lain, alat-alat tradisional ini sudah ditinggalkan, tak lagi digunakan. Semua petani sudah beralih ke pembajak mesin berbahan bakar solar yang bersuara bising. “Sekitar tahun 2010-an,” sahut Agus memberi keterangan kapan petani Jatiluwih mulai meninggalkan tenggala dan lampit. “Tapi saya petani Jatiluwih terakhir yang punya traktor,” timpal Nurata sembari tertawa.
Namun, menurut Nurata, hasil bajakan traktor tidak lebih bagus daripada tenggala dan lampit yang menggunakan tenaga sapi sebagai penggeraknya. Kalau begitu, kenapa petani beralih alat, Pak Tut? “Traktor lebih efisien, lebih cepat bekerja, dan tidak memiliki pantangan hari,” jawabnya.
Ya, di Jatiluwih, ada beberapa hari yang tak memperbolehkan petani membajak menggunakan sapi. Tak terang betul apa alasannya, tapi yang jelas, jika ada petani yang sengaja maupun tidak sengaja membajak di hari pantangan, akan terjadi hal-hal buruk yang menimpa sapi-sapi mereka. “Tak sedikit sapi yang mati karena membajak pada hari-hari itu,” kata Nurata.
Jatiluwih masih saja sejuk meski matahari tepat berada di atas kepala. Di desa ini, udara terasa seperti pagi setiap saat, tak gerah sebagaimana Denpasar atau kota-kota besar di Indonesia. Parit-parit deras mengalir, bening seperti kaca, dari hulu menuju ke sawah-sawah bagian hilir. Rombongan turis berambut pirang dan berkulit pucat melintas. Satu di antara mereka bertubuh tinggi sekali. Sambil jalan, mereka berbincang dengan bahasa yang tak saya pahami.
Meski menjadi tujuan para pelancong, sepanjang jalan Gunung Sari-Jatiluwih, aroma kotoran sapi menguar menusuk hidung. Bukan sebuah masalah, tapi justru berkah bagi para turis yang seumur hidupnya hanya mencium bau parfum yang harum. Bukankah suasana semacam ini yang disukai para bule?
Tenggala di rumah Ketut Nurata | Foto: Heri
Ketut Nurata menunjukkan kepada saya sebuah alat yang ia gunakan untuk memanen padi. Namanya anggapan (di Jawa disebut ani-ani atau ketam). Sebab seluruh petani di Jatiluwih masih menanam varietas padi Bali (padi lokal), padi merah cendana, maka proses panen masih menggunakan anggapan. “Di sini belum ada mesin yang bisa menggantikannya,” ujar Agus.
Kebanyakan petani sudah meninggalkan padi Bali dengan berbagai alasan, memang. Maka tak heran, di beberapa daerah, padi Bali hanya sekadar memorabilia yang ngendon di kepala orang-orang tua. Padi Bali, sekali lagi di beberapa daerah di Bali, hari ini, hanya semacam tinggalan masa lalu yang cukup dilestarikan dan dijaga beberapa petani saja. Tak perlu banyak, yang penting ada sebagai pelajaran, sebagai penanda, bahwa Bali juga (pernah) punya varietas padi sendiri. Tapi di Tabanan, varietas padi ini masih lestari di daerah Jatiluwih, Wongaya Gede, Senganan, dan sekitarnya.
***
Meninggalkan rumah Nurata yang terletak di samping lahan sawahnya, kami bergerak menuju Pura Ulun Swi Candikuning yang berada di hulu mata air di Banjar Gunung Sari. Nurata meminjamkan selendang kepada saya. “Pakai ini!” pintanya. Saya melingkarkannya di pinggang dan menali-simpulkannya. Kami memasuki pura kecil yang dikelilingi hutan dan sawah. Di belakang pura inilah, terdapat sumber mata air yang diyakini bersumber dari Danau Tamblingan. “Orang sini menyebutnya klebusan lis,” terang Nurata.
Pura Ulun Swi Candikuning termasuk pura tua di Jatiluwih. Di dalam pura terdapat empat pelinggih; Pelinggih Ageng, Pelinggih Batu Aus, Pelinggih Ratu Nyoman, dan Pelinggih Bhatara Sri, serta Gedong Simpen yang dinaungi pohon pule besar dan tua. “Pura ini memiliki hubungan dengan Puri Tabanan,” kata Nurata.
Bagi warga Banjar Gunung Sari, pura ini sangat penting. Di pura inilah, untuk urusan pertanian, mereka menghaturkan sembah kepada Tuhan. Dan dari lima telabah (saluran alir) yang mengalir dari hulu sampai hilir di Gunung Sari, salah satunya bersumber dari klebusan lis yang berada di belakang pelinggih-pelinggih Pura Ulun Swi Candikuning. “Air Telabah Tua itu bersumber dari sini,” ujar Agus. Mendengar itu, Nurata mengiyakan.
Kawasan Pura Ulun Swi Candikuning | Foto: Heri
Selain Telabah Tua yang disebut Agus, di Gunung Sari juga ada Telabah Anyar, Telabah Pasut, Telabah Bhat Gedong, dan Telabah Pangkung. Di semua telabah mengalir air yang bening dan jernih—bahkan beberapa bisa langsung diminum. Di Telabah Bhat Gedong, misalnya, menurut Ketut Nuarta Jaya, mantan BPD Jatiluwih tahun 2000-an, orang-orang yang melakukan penelitian air di telabah tersebut sering meminum airnya tanpa saringan alias langsung.
“Orang-orang Jakarta, turis, tim UNESCO, mereka langsung meminumnya,” katanya dengan penuh kebanggaan. Lelaki tua dengan tatapan was-was bak petarung ini tampak serius dengan kata-katanya. Dalam setiap perkataan, ia selalu menyelipkan kata “daripada”—seperti Soharto, sang penguasa Orde Baru.
Saluran irigasi Bhet Gedong, sebagaimana tertulis dalam “Kegiatan Pendataan dan Pemetaan di Kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) di Desa Jatiluwih” yang diterbitkan di laman Direktorat Jendral Kebudayaan pada 2019, sebelumnya hanya berupa sebuah gundukan bebatuan. Di sekitar Bhet Gedong terdapat beberapa mata air berbentuk sebuah kolam. “Di sana ada 33 sumber air,” aku Nuarta Jaya.
Pada tahun 2011, kolam Bhet Gedong direnovasi dengan membuat strukrur kolam permanen. Renovasi tersebut bersamaan dengan saluran irigasi dan jalan setapak yang ada di subak Gunung Sari. Di tengah-tengah kolam dibangun sebuah pura kecil dengan tiga buah pelinggih dan masyarakat menyebutnya Pura Tirta Bhet Gedong. Pura kecil yang dikelilingi sawah ini, menurut Nuarta Jaya, hanya disungsung oleh empat KK, termasuk keluarganya. “Ini pura keluarga, diwariskan secara turun-temurun,” jelasnya.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, kolonial Belanda sempat membangun kolam pemandian di sekitar pura tersebut. Letaknya tepat berada di sebelah barat mata air Bhet Gedong, yang sekarang sudah dialihfungsikan sebagai persawahan. Saluran irigasi Bhet Gedong termasuk inventaris cagar budaya UNESCO: 4/14-2/STR/5. “Di sana juga sering dijadikan tempat melukat daripada banyak orang. Bahkan tiga kali saya menjumpai airnya berbau sangat harum,” kata Nurata Jaya sangat meyakinkan.
Meski berpotensi menjadi wisata spiritual, Nuarta, yang juga pemilik usaha penggilingan padi itu, tak mau menjadikan kawasan Pura Tirta Bhet Gedong sebagai tempat wisata. Katanya itu sudah amanah dari leluhurnya—dan itu ia lakukan juga untuk menjaga kelestarian dan kesakralan tempat tersebut.
Pura Tirta Bhet Gedong Gunung Sari | Foto: Jaswanto
Memiliki lanskap yang menakjubkan, sawah-sawah berteras, sumber air melimpah, dan tanah subur, Jatiluwih sempurna bagai lukisan Hindia Molek—gambaran haru-biru orang Eropa tentang eksotisme Timur—meskipun kabel-kabel listrik semrawut di atasnya. Kabel-kabel itu seperti garis yang tak sepatutnya ada dalam lukisan Sang Seniman Agung.
Saat saya menginjakkan kaki di Jatiluwih dan menginap selama tiga hari di sana, padi-padi cendana sudah mulai berbuah. Beberapa petak malah sudah menguning, seminggu lagi siap dipanen. Padi-padi di sini, sebagaimana telah disinggung di atas, diperlakukan layaknya dewa—seperti kata Fatris MF dalam catatan perjalanannya di Ciptagelar, kampung kuno setengah urban, “Padi tak semata mengusir lapar, tetapi juga memikat mitos.”
Padi, sejak belasan ribu tahun lalu telah tumbuh di lahan-lahan subur Asia, memang. Tumbuhan yang kini memasok perut lebih separuh warga bumi itu, di Asia Tenggara, tulis Fatris menukil sejarawan Anthony Reid, adalah bahan makan yang paling pokok. Mungkin ada makanan pokok yang lebih tua, semacam umbi-umbian atau biji-bijian lain. Tapi, pada abad ke-15, padi telah menjadi tanaman yang lebih disukai dan bisa tumbuh subur di kawasan ini.
Beras merupakan komoditas terbesar di Asia Tenggara, dan Tabanan berkembang jadi salah satu produsen utamanya. Kita memang tidak berhasil mengetahui apa pun mengenai orang-orang yang pertama kali menemukan padi, kata Fatris, juga bagaimana rumput liar ini kemudian menjadi begitu jinak sehingga bisa dibudidayakan manusia. Tapi “jinakkah” padi kini bagi kita?
“Produksinya nyaris tak bisa dijinakkan. Rencana-rencana swasembada bisa ambruk oleh wabah dan bencana—dan akibatnya bisa fatal secara politis. Beras adalah topik yang hangat saban tahun, apalagi di musim kampanye saat para politisi berkoar soal perut rakyat yang lapar. Memastikan produksi beras adalah tanggung jawab negara, dan beban itu diletakkan pada pundak kaum petani di desa-desa,” kata Fatris lagi.
Di Jatiluwih tak semua padi dapat “dijinakkan”. Beberapa petak sawah hanya dipenuhi rumput-belukar. Padi tumbuh, tapi gagal panen. Tikus menyerangnya. Dan petani percaya ada yang salah dalam proses ritualnya.
Padi menguning di Jatiluwih | Foto: Jaswanto
“Kami percaya pemilik sawah melakukan kesalahan. Apa itu? Kami tidak tahu. Lihat, sungguh aneh, di sekitarnya padi tumbuh subur, hanya padi di sawah itu saja yang dimakan tikus dan gagal panen,” kata Agus, mencoba meyakinkan saya bahwa itu bukan hanya sekadar ulah tikus, tapi ada soal lain yang menyebabkannya.
***
Petani Jatiluwih tak boleh sembarangan dalam membajak sawah, menanam, dan memanen padi. Mereka memiliki aturan dan kepercayaan yang sudah dianut sejak berabad-abad silam. “Sebelum menanam, memanen, sampai mengolah padi, ada lima belas rangkaian upacara yang harus kami lakukan,” kata I Wayan Mustra, Pekaseh Subak Jatiluwih, yang saya temui di rumahnya di Banjar Gunung Sari. Petani Jatiluwih masih teguh menjalankan ritus-ritus tersebut.
Pemimpin subak—organisasi masyarakat petani yang khusus mengatur sistem pengairan sawah—yang menyandang gelar sarjana hukum itu, bercerita banyak tentang ritus dalam proses sebelum menanam sampai mengolah hasil panen. “Upacara pertama disebut Magpag Toya.” Gerimis baru saja reda saat Jro Mustra menyebut ritus pertama dalam upacara pertanian. Jatiluwih kuyup dan udara semakin dingin. Saya merapatkan jaket.
Mapag atau Magpag Toya adalah upacara menjemput kedatangan air menjelang proses menggarap sawah. Ritus ini dilaksanakan secara kolektif oleh pakasehan (krama) subak dengan tujuan memohon kepada Tuhan—yang bermanifestasi sebagai air (Dewa Wisnu)—agar subak tidak sampai kekeringan. Krama Subak Jatiluwih, setelah upacara, gotong royong membersihkan saluran irigasi—orang Jatiluwih menyebutnya telabah—sebelum beranjak ke upacara yang kedua, yaitu Ngendagin, ritus yang digelar saat tanah mulai diolah.
“Ngendagin itu proses menyalurkan air dari temuku (tanggul kecil) ke sawah dengan menyuguhkan segehan nasi pancung. Upacara ini dilakukan di sawah paling hulu, untuk memohon keselamatan saat mengolah sawah,” terang Jro Mustra.
Malam mendaulat langit Jatiluwih. Sepi. Jro Mustra meyebut satu per satu upacara pertanian di Subak Jatiluwih yang sudah dilakukan secara turun-temurun itu. Setelah Ngendagin, kata Jro Mustra, selanjutnya adalah Mewinih/Ngurit (proses menyemai bibit padi), Ngerasakin (upacara yang dilaksanakan pada saat padi berumur 12 hari), Nuasen (dilaksanakan pada saat penanaman padi), Ngerestiti (dilakukan saat padi berumur satu setengah bulan setelah dipindah-tanamkan ke lahan yang lebih luas).
“Setelah upacara tersebut, kami melakukan proses penyepian di subak selama tiga hari atau yang disebut dengan Nyepi Subak,” kata Jro Mustra. Nyepi adalah jeda. Selama tiga hari setelah Ngerestiti, petani di kawasan Subak Jatiluwih tidak akan melakukan aktivitas apa pun di sawah—bahkan sekadar menginjak pematang pun tidak.
Namun, tak seperti dulu, khususnya di Banjar Jatiluwih, yang notabene pusat pariwisata di wilayah tersebut, Nyepi Subak tak benar-benar sepi. Di jalur-jalur tracking yang membelah sawah, kadang masih ada pelancong yang berkeliaran. “Tapi itu tidak masalah. Yang penting dia tidak melakukan aktivitas di sawah,” ujar Jro Mustra. Tapi bukankah jalur tracking itu masih di kawasan persawahan, Pak Jro? Tak ada satu bintang pun terlihat. Kabut tebal menyelimuti desa yang bertengger di ketinggian 500-1500 meter di atas permukaan laut itu.
Tak sampai di situ, ritus selanjutnya, saat padi berumur tiga bulan, petani Jatiluwih menggelar upacara Ngerainin dengan tujuan supaya padi terhindar dari hama. Lalu Ngabe Asem, upacara pada saat padi mulai bunting. Dilanjut Mesabo/Ngusaba, ritus yang diselenggarakan pada saat padi mulai mengguning.
Nyaup, upacara yang dilakukan dengan menghaturkan banten di sawah. Dalam kegiatan ini, warga subak yang membuat Dewa Nini (perwujudan Dewi Sri) tidak boleh berbicara. Dewa Nini terbuat dari 66 helai padi yang dibagi menjadi dua, masing-masing 33 helai sebagai simbol lanang dan wadon. Sedangkan di area sawah disengker atau dipagari dengan kain kasa (kain putih).
Lalu Nyangket, ritus yang dilakukan dengan menghaturkan soda rayunan yang dilakukan berbarengan pada saat Nyaup atau esok harinya. Nganyarin, kegiatan memanen padi. Sebelum kegiatan ini dilakukan, terlebih dahulu menghaturkan soda rayunan yang dilakukan oleh pemilik sawah. Mantenin, upacara setelah padi disimpan di lumbung dan menghaturkan jajan khas Jatiluwih yang disebut “jajan sabun”.
Lumbung-lumbung tua di salah satu rumah warga di Gunung Sari | Foto: Jaswanto
Baru Ngutang tain asap, ritus menurunkan beberapa helai padi dari lumbung yang selanjutkan akan ditumbuk dan sebagian berasnya dimasak dan sebagian lagi disimpan di penyimpanan beras. Sedangkan untuk sekamnya dibakar kemudian abunya dihanyutkan di saluran irigasi sawah terdekat. “Menurunkan padi dari lumbung juga ada aturannya,” tegas Jro Mustra.
Warga Subak Jatiluwih percaya ada hari-hari yang harus dihindari pada saat menurunkan padi dari lumbung, seperti waraspati (Kamis) hari pada saat Nuasen dan Mantenin, umanis, wuku watugunung (dewa runtuh), dan wuku wayang. “Jika ada petani Jatiluwih yang sengaja maupun tidak sengaja menurunkan padi pada hari-hari itu, maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” kata Mustra. Saya merapatkan jaket, sekali lagi.
***
Agus mengajak saya ke rumahnya. Di sana kami duduk-duduk, merokok, ngopi, dan ngobrol. Di kawasan rumahnya yang bagus, dua lantai, terdapat beberapa lumbung padi. Hampir di setiap rumah di Jatiluwih memiliki lumbung, memang. Lumbung-lumbung itu bertiang empat, ada pula yang bertiang enam. Saya terbelalak saat I Made Murdiana menyebut biaya yang dihabiskan untuk membuat satu lumbung bertiang empat. “Lima puluh juta,” katanya datar.
Di kawasan rumah keluarga besar Murdiana, kalau saya tidak salah ingat dan salah hitung, terdapat delapan lumbung tua yang masih kokoh berdiri. Menurut lelaki paruh baya berbadan dempal itu, lumbung biasanya terbuat dari kayu kaliasem, langki, gempinis, peradah, dan kayu-kayu kuat lainnya. “Ini saja umurnya sudah ratusan tahun,” kata Murdiana lagi sambil menujuk satu lumbung di depannya.
Di bawah lumbung tersebut, terdapat dua lesung batu berbentuk setengah lonjong dan lesung kayu yang panjang yang bagian sisinya sudah rompal dilalap rayap. Di sana pula, lu atau alu, kayu penumbuk lesung, tergeletak merana—alat untuk menutu padi ini sudah lama ditinggalkan sejak mesin penggiling masuk Jatiluwih.
“Lesung (kayu) panjang hanya digunakan pada saat upacara Ngaben saja sekarang. Orang-orang sini (Jatiluwih) menyebutnya ngoncang—tradisi memukul lesung yang dilakukan oleh minimal enam orang perempuan,” terang Murdiana.
Sebelum meninggalkan Jatiluwih, kurang lengkap rasanya kalau belum mencoba teh beras merah yang diolah secara tradisional. Agus mengajak saya berhenti di sebuah warung di pinggir jalan yang, sekali lagi, menghadap hamparan sawah yang berjenjang. Di warung bernama Warung Krisna inilah, saya menikmati segelas teh beras merah yang gurih dan manis
“Beras ini saya sangrai kurang lebih lima belas menit,” ujar Wayan Semara Jaya, pemilik Warung Krisna. Teh beras merah, sejak tahun 2000-an, memang menjadi sajian yang selalu diburu pelancong saat ke Jatiluwih.
Duduk merenung di bawah lumbung sambil memandang padi-padi dan menikmati teh beras merah di Warung Krisna, saat seorang turis perempuan tua melintas, saya justru membayangkan tanah-tanah di kampung saya yang masif dialihfungsikan.
“Menjadi petani itu sangat susah,” tiba-tiba Agus berteori tentang bertani. Meskipun masih teguh menjaga dan melestarikan lahan pertanian, tapi kekhawatiran petani Jatiluwih tak dapat disembunyikan. Khawatir tentang apa? Entahlah.
Sementara saya diam mematung, udara, padi, dan segala yang ada di sekitarnya meredup dalam sapuan kabut yang putih. Di kejauhan, orang-orang masih saja berjalan menyusuri pematang, seperti tak ada habisnya.[T]