INDONESIA didapuk sebagai tuan rumah ajang internasional dan Bali ditunjuk sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan. Perhelatan World Water Forum ke-10 menambah deretan forum internasional yang pernah terselenggara di Bali. Akankah forum internasional ini akan memberi dampak nyata bagi masyarakat Bali, atau justru masyarakat Bali hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri?
Forum internasional yang digelar oleh World Water Council (WWC) tersebut menjadi sebuah ajang yang membahas isu-isu air, khususnya merumuskan kebijakan tata kelola air dan sanitasi dunia. Konon, forum ini hadir dalam rangka mencari solusi atas meningkatnya kebutuhan air global, namun di satu sisi akses terhadap air yang berkualitas dan berkelanjutan justru semakin sulit.
Manuskrip Kuno Bali Melihat Air
Bali sungguh beruntung karena dianugerahkan begitu banyak teks-teks kuno yang membicarakan soal pemuliaan air. Artinya sejak masa kerajaan, air telah mendapat perhatian khusus oleh seluruh komponen di Bali. Salah satu warisan leluhur yang sampai hari ini masih diakui keberadaannya adalah subak.
Subak sebagai salah satu warisan dunia yang diakui oleh UNESCO adalah salah satu bukti bahwa Bali memiliki sistem pengelolaan air yang mutakhir dan masih relevan sampai hari ini. Selain subak, salah satu manuskrip banyak dibahas di dalam buku ini adalah teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Dalam teks ini terdapat satu konsep tata kelola ekosistem, yakni sad krti yang diartikan sebagai enam tindakan memuliakan alam semesta. Konsep sad krti terdiri dari giri krti, wana krti, sagara krti, ranu krti, swi krti, dan jagat krti. Mengingat salah satu fokus Indonesia di ajang ini adalah pemeliharaan dan pengelolaan air danau, maka konsep ranu krti menjadi salah satu konsep yang relevan diaplikasikan dan diusulkan.
Menjaga kelestarian danau adalah poin penting dalam konsep ranu krti, mengingat hal tersebut adalahupaya menjaga kehidupan seluruh mahluk hidup. Danau dipercaya sebagai penyebab keteduhan hujan, mengalirkan air dalam jangka panjang, serta membawa amerta bagi segala jenis tumbuh-tumbuhan yang ditanam. Jika diibaratkan dengan anatomi tubuh manusia, danau adalah jantung yang bertugas memompa darah ke seluruh bagian tubuh agar seluruh organ dapat bekerja sesuai dengan fungsinya.
Catur Danu: Ibu Bali
Bali sendiri memiliki 4 (empat) danau yang menjadi kawasan resapan air dan sekaligus menjadi sumber kehidupan bagi sebagian besar Pulau Bali. Empat danau tersebut sering juga disebut sebagai Catur Danu. Empat danau tersebut meliputi, Danau Batur, Danau Buyan, Danau Bratan, dan Danau Tamblingan.
Dalam teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, Catur Danu adalah konsep untuk memuliakan keberadaan danau. Dalam teks tersebut dikisahkan bahwa Bhatara Guru menggelar yoga, dari yoga tersebut muncullah gundukan tanah yang semakin tinggi dan kemudian menjadi sebuah gunung. Setelah itu, Bhatara Girinata dan Bhatari Giriputri kembali melakukan yoga untuk menciptakan Catur Danu di Pulau Bali.
Oleh Bhatara Girinata dan Bhatari Giriputri ditugaskanlah empat dewi yang merupakan Sanak Bhatari Giriputri. Empat dewi tersebut, yakni Bhatari Uma berstana di Danau Batur, Bhatari Gangga berstana di Danau Buyan, Bhatari Laksmi berstana di Danau Bratan, dan Bhatari Gori berstana di Danau Tamblingan.
Melalui Konsep Catur Danu yang merupakan kahyangan bagi Catur Dewi menunjukkan bahwa keempat danau di Bali ditempatkan selayaknya seorang ibu yang memberi kehidupan bagi anak-anaknya—dalam hal ini adalah mahluk hidup di kawasan hilir.
Konektivitas Hulu-Teben
Hubungan antara masyarakat di kawasan hulu (baca: pemelihara dan penjaga kawasan danau) dengan masyarakat di kawasan hilir (baca: penerima manfaat) menjadi penting untuk dirawat. Dalam tulisan ini akan diurai secara ringkas hubungan antara masyarakat hulu-teben di kawasan Danau Tamblingan.
Masyarakat Catur Desa Adat Tamblingan (Munduk, Goblek, Gesing, dan Umajero) adalah pangempon yang bertugas untuk menjaga dan memelihara wilayah sumber air di kawasan Danau Tamblingan, tidak terkecuali Alas Merta Jati. Bagi masyarakat setempat, air adalah media untuk menyucikan segala hal yang kotor. Oleh karena itu, proses pensakralan selalu dilaksanakan.
Prosesi Mapag Bhatara Penghulu adalah prosesi penyucian dengan melaksanakan melasti ke Pura Labuan Aji. Prosesi ini adalah bagian dari rangkaian panjang Alilitan Karya. Dua tujuan utama dari prosesi ini, membersihkan alam dan manusia dari hal-hal buruk, serta berbagi kesejahteraan. Masyarakat Catur Desa Adat Tamblingan berjalan sejauh 21 km selama proses melasti tersebut.
Sepanjang perjalanan ini prosesi umpan balik terjadi. Seluruh masyarakat yang dilalui dalam prosesi Mapag Bhatara Penghulu ke Pura Labuan Aji, menghaturkan sembah bakti dan menyuguhkan makanan dan minuman kepada pengiring Ida Bhatara Penghulu. Menariknya lagi, setelah tiga hari Ida Bhatara Penghulu di Segara Pura Labuan Aji untuk melarung kekotoran, pada tengah malam Ida Bhatara Penghulu kembali dengan mengambil rute berbeda. Hal ini diyakini dapat menyebarluaskan kesejahteraan yang dibawa dari aliran Danau Tamblingan.
Konsep yang telah diuraikan sebelumnya, seharusnya dapat diterapkan di dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di Bali. Kawasan hilir seperti, Denpasar, Badung Gianyar, Klungkung, dan Karangasem dapat memberi insentif terhadap kawasan hulu dalam rangka menjaga, memelihara, dan melaksanakan ritus-ritus pemuliaan air yang tidak sedikit membutuhkan biaya.
Riwayat Air Bali Kini
Kosmologi dan ritus dalam berbagai manuskrip yang diwariskan tidak akan bertahan lama apabila tidak ada aksi nyata sebagai penunjang. Nyatanya, tata kelola air yang buruk justru mendatangkan berbagai bencana alam di Bali. Layaknya rutinitas, banjir dan tanah longsor selalu datang tatkala di musim penghujam. Tidak jarang, di beberapa daerah justru mengalami kekeringan di kala musim kemarau.
Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem adalah tempat yang 180 derajat berbeda dengan hingar bingar di Bali wilayah selatan. Keberlimpahan air tidak dirasakan oleh warga di desa ini. Kesulitan mengakses air kerap kali dialami oleh warga Desa Ban. Dalam sebuah cerita yang diakses di salah satu media jurnalisme warga di Bali, di sebuah sekolah di Desa Ban hanya memiliki satu pipa penyaluran air, itu pun menetesnya tidak jauh.
Sekitar tahun 2017, saya bersama teman-teman FPMHD-Unud dan KMHD Stikom Bali melaksanakan pengabdian masyarakat di Desa Ban. Bersama dengan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD), kami membangun jejaring saluran air menggunakan pipa-pipa yang kami bawa dari Denpasar. Tentu apa yang kami lakukan belum menyelesaikan persoalan masyarakat di sana, perlu keseriusan pemerintah setempat untuk menanggulangi masalah tersebut.
Bicara soal air, saya teringat dengan tulisan I Ngurah Suryawan berjudul “Subak Nyebak yang Antah Berantah”. Hingga kini subak selalu dibanggakan oleh masyarakat Bali dan dunia, tapi siapa yang peduli bahwa petani kini semakin sulit untuk mempertahankan sawahnya?
Laporan Mongabay dalam I Ngurah Suryawan menjelaskan bahwa para petani subak di Jatiluwih tidak lagi bisa bertahan hanya dengan bermodalkan sawah di kawasan terasering. Nyatanya, kini petani telah berusaha untuk mengais remah-remah pariwisata dari datangnya wisatawan untuk menikmati pemandangan dari sawah-sawah yang mereka rawat. Bahkan, para petani harus membuat pintu dan jeruji besi agar pematang sawah tidak dirusak oleh wisatawan.
Bicara air adalah bicara soal kepiluan sekaligus ironi bagi Bali. Romantisasi terhadap suksesnya Bali mengelola air semakin terwujud dengan diunggahnya pelbagai sumber air melimpah di Bali. Lantas bagaimana nasib warga Desa Ban misalnya yang sampai detik ini masih kesulitan mengakses air bersih dan berkualitas?
Kembali ke pertanyaan awal. Seberapa besar kebermanfaatan World Water Forum ke-10 bagi masyarakat Bali, setidaknya bagi warga Desa Ban? Atau mungkinkah masyarakat Bali hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri? Semoga saja tidak. [T]
Baca artikel lain dari penulis TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA