KELAPA itu dipaksa lepas dari kulitnya menggunakan parang sederhana. Buah itu terbelah. Air yang ada di dalamnya berhamburan keluar, seolah bahagia terbebas dari kekangan selama ini. Setelah selesai, kelapa itu kemudian dimasukan ke dalam baskom hitam yang berisi air. Lalu dicuci hingga tidak ada lagi noda-noda yang menempel.
Kelapa yang sudah bersih dipindahkan ke dalam baskom yang masih kering, lalu diparut dengan pemarut konvensional yang terbuat dari seng sisa atap rumah—seng itu dibolongi menggunakan paku hingga muncul tonjolan-tonjolan tajam di permukaannya. Alunan tangan naik turun memaksa kelapa menjadi serpihan-serpihan putih yang lembut dan bersantan.
Kayu-kayu kering disusun ke dalam mulut tungku api. Percikan korek api membakar kumpulan kayu secara perlahan, dandang ditaruh di atas tungku lalu disusul dengan air yang dituangkan ke dalam dandang.
Di dapur sederhana dengan ukuran 3×6 itu, ditemani kepulan asap (jika tidak terbiasa berada di tempat seperti itu, maka buliran air mata akan keluar dengan sendirinya dan batuk-batuk), seorang wanita tua, Made Suwirni, sedang menyiapkan perbumbuan. Di atas cobek yang pinggirannya sudah terbelah itu, bawang merah, bawang putih, cabai, kunyit, kemiri, kencur, garam, terasi dikumpulkan menjadi satu.
“Kalau sudah lengkap bumbunya, baru dihaluskan menggunakan cobek ini,” tutur Suwirni sambil tangannya terus bergoyang untuk menghaluskan bumbu, Kamis (25/4/2024). Ia sesekali mendorong kayu bakar agar nyala api tetap terjaga.
Bandut dikukus di dandang | Foto: Agus Eka
Bumbu-bumbu yang telah hancur, dicapurkan ke dalam hasil parutan kelapa dengan ditambah penyedap rasa sebagai pelengkap. Tangan yang telah keriput itu dengan lihainya terus mencampur parutan kelapa dengan bumbu agar bisa menyatu secara sempurna dan menghasilkan cita rasa yang lezat.
Tercampurnya bumbu dengan kelapa itu menandakan proses bisa dilanjutkan ketahap berikutnya, yaitu membungkus adonan menggunakan daun talas atau keladi. Daun yang telah dibersihkan terlebih dahulu itu diisi dengan sedikit adonan kelapa yang telah bercampur dengan bumbu. Agar lebih enak lagi, bisa ditambahkan ikan teri dan irisan kecombrang.
“Sebenarnya harus isi kecobrang, tapi karena lagi tidak ada, terpaksa tidak diisi. Tergantung selera saja sebenarnya, karena kadang ada juga yang diisi dengan ikan teri,” tutur Swirni sambil membungkus adonan bandut.
Bandut merupakan salah satu jenis kuliner unik dan khas dari Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Letak geografis Pedawa yang berada di pegunungan tentu membuat banyak sekali jenis tanaman yang mampu dimanfaatkan atau diolah dengan baik oleh masyarakatnya.
Bandut adalah salah satu kreasi masyarakat Pedawa dalam memanfaatkan sajian alam yang tumbuh subur di sekitar. Namun, sampai hari ini, tidak ada yang tahu pasti tentang bagaimana sejarah lahirnya bandut ini.
“Bandut ini sudah ada dari zaman saya masih kecil dulu, sekitar tahun 70-an sudah ada. Saya juga nggak tahu pasti tentang sejarahnya bagaimana,” jelas Suwirni sambil memasukkan bandut yang telah terbungkus ke atas dandang yang telah berisi kukusan itu.
Bandut dimasak dengan cara dikukus, kurang lebih 20 menit, dengan api yang terus terjaga. Bandut sendiri biasanya dijadikan teman saat memakan nasi dan akan lebih mantap lagi jika ada sambal terasi di sampingnya.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Reporter: Gede Agus Eka Pratama
Penulis: Gede Agus Eka Pratama
Editor: Jaswanto
BACA artikel lain tentangDESA PEDAWAdi sini