“TEMANKU yang merekam itu, Kak. Dia dah yang memviralkan,” katanya sembari tertawa. “Nanti orangnya ke sini.” Ia masih tertawa. Seolah tak mengira videonya bakal jadi seviral itu di media sosial. Ia di rumahnya sore itu, di rumah sederhana yang dikelilingi sawah dan kebun buah. Maka tak heran suasananya begitu nyaman.
Di terasnya yang cukup luas, selain meja-kursi untuk menyambut para tamu, terdapat juga beberapa perangkat Gong Kebyar. Di sana pula kadang anak-anak tetangga sekitar belajar berkesenian: menabuh dan menari.
Ia sedang duduk manis di dekat bapak yang ia banggakan. Gadis muda yang enerjik ini bercerita bahkan sebelum ditanya. Dia berbuih-buih mengisahkan kronologi ricuhnya gong mebarung di panggung HUT Kota Singaraja kemarin. Tapi ini bukan tentang itu, ini tentang dirinya, karirnya di belantika seni tari, dari sejak awal belajar sampai menjadi Duta Putri Tari Provinsi Bali. Ini tentang sosok Anita, penari muda yang viral beberapa hari yang lalu itu.
Nama lengkapnya Ni Putu Anita Sofia Veronia, biasa dipanggil Anita—dan tak sedikit yang memanggilnya Cantik. Lahir dari keluarga seniman membuat dirinya menjadi penari yang organik. Dia sudah menari sejak dalam kandungan ibunya. “Dari umur tiga atau empat tahun aku sudah belajar menari, bahkan mungkin masih dalam kandungan,” ujarnya sambil tak dapat membendung riang tawanya.
Banjar Dinas Kauh Teben, Jagaraga, sejuk sore itu. Pelataran rumah yang terasnya penuh dengan gamelan itu basah. Dua pohon rambutan yang memayunginya tampak brondol tanpa buah, tinggal daun dan rantingnya saja. Di ranting yang kering itu, dua pasang burung pingai sedang bergosip. Sedang seekor anjing jantan bernama Morgan menghampiri Anita. Dengan rasa gemas dia menonyor kepala peliharaan yang tak henti-henti menggoyangkan ekornya itu. Sepertinya mereka memang sudah bersahabat sejak kecil.
Ni Putu Anita Sofia Veronia | Foto: Hizkia
Anita berpindah tempat duduk. Kini ia duduk di kursi kayu di pelataran rumahnya. Dengan sedikit terbata ia menceritakan dirinya sendiri. Bak monolog di panggung teater, gadis kelahiran Jagaraga, 4 Desember 2000, itu seperti tak mau dijeda. Kata-kata luber dari lisannya—tak terbendung.
“Bapak dan ibu penari. Tapi sebenarnya mereka tidak memaksaku untuk jadi penari. Mungkin karena darah seniman sudah ada dalam diriku, dan itu mendorongku untuk terjun ke dunia seni. Dan tari yang pertama kali aku pelajari itu Tari Condong—tari yang mengajarkan gerak dasar tarian Bali,” tuturnya sesaat setelah membenarkan letak rambutnya.
Sejak kecil Anita sudah diajak ke mana-mana sama orang tuanya. Entah saat pentas atau mengajar tari di dalam maupun di luar desa. Sebagaimana telah disinggung di atas, Anita memang lahir dari rahim seniman. Bapaknya adalah Nyoman Arya Suriawan, tokoh seni tari dari Jagaraga yang namanya sudah mendunia.
Perlu diketahui, Nyoman Arya merupakan anak dari Ketut Tadi, anak perempuan Made Raka. Sedangkan Made Raka sendiri merupakan adik kandung dari Gde Manik, maestro karawitan dan tari yang namanya melegenda itu. Artinya, bisa dibilang, Gde Manik merupakan kumpi dari Anita. Maka wajar jika hari ini Anita termasuk seniman tari yang metaksu di Bali.
Lahir di Jagaraga merupakan suatu kebanggan bagi Anita. Bagaimana tidak, tanah subur yang bertengger di ketinggian 125 meter di atas permukaan laut itu, banyak melahirkan seniman tabuh dan tari yang namanya tak lekang oleh waktu. Di tanah inilah Anita dilahirkan dan dibesarkan. “Saya lebih banyak bersama kakek, karena bapak sama ibu kan kerja waktu itu,” aku gadis alumni SMAN 4 Singaraja itu.
Bertahun-tahun sudah Jagaraga menjadi pusat perhatian, baik dari sisi kesenian maupun sejarah pilu di masa lalu. Desa ini selalu disinggung jika berbicara tentang kegemilangan Gong Kebyar dan perlawanan di masa kolonial. Pada tahun 1848 hingga 1849, misalnya, terjadi pertempuran dahsyat di sana, antara pihak Patih Jelantik dengan penjajah Belanda.
Dan di bidang kesenian, tersebutlah nama-nama maestro karawitan dan tari dari Jagaraga, seperti I Wayan Paraupan (atau yang lebih dikenal dengan nama Pan Wandres), Pan Cening Liyana, Gde Manik, sampai Made Kranca. “Aku mendengar sosok Gde Manik dari cerita bapak,” kata Anita. Ia mengaku bahwa Gde Manik, sang kumpi, adalah idolanya. Gadis muda yang pernah menjadi Teruna-Teruni Cilik Bali 2007 itu berbinar-binar saat nama sang maestro disebut.
Pada tahun 2011, saat usianya baru menginjak 10 tahunan, Anita memberanikan diri untuk mengikuti perlombaan tari. Saat itu Anita kecil menarikan Tari Condong dan meraih juara pertama. Itu pengalaman pertamanya, dan bisa dibilang tak akan pernah ia lupakan. Dari sinilah Anita kecil mulai bermimpi menjadi penari yang bisa menarikan Tari Terunajaya—tari fenomenal yang digubah oleh Gde Manik.
Anita baru bisa menarikan Terunajaya saat duduk di bangku SMPN 3 Singaraja. Saat itu salah seorang guru memintanya untuk mengikuti lomba Tari Terunajaya. “Sejak saat itulah, dua hari sebelum lomba, bapak sama ibu melatihku. Dan itu ternyata membuahkan hasil. Aku mendapat juara satu,” kata Anita dengan senyum penuh kebanggaan.
Dari sinilah, gadis cantik lulusan S1 Jurusan Bahasa Asing, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, itu, mengawali karir profesionalnya sebagai penari.
“Aku pernah menari di Kalimantan, diundang oleh Kapolda Kalimantan Tengah. Pernah juga diajak menari ke Banyuwangi,” tutur Anita sambil mengingat-ingat masa kecilnya yang barangkali sudah lama tidak ia sambangi. Dari menari ia mendapat tambahan uang saku sekolahnya. “Lumayan, bisa nambah uang jajan,” katanya sembari tertawa.
***
Waktu melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Di sawah sebelah rumah Anita, yang baru saja selesai dibajak, segerombolan itik manila sedang berebut katak kecil yang malang. Seperti tak mau kehilangan santapan, unggas itu sampai rela memasukkan kepala ke dalam lumpur.
Alam Jagaraga tenang sore itu. Seakan ikut mendengar cerita Anita, bahkan tak seekor pingai pun bersuara. Burung-burung kecil yang sendari tadi bertengger di ranting rambutan itu kicep dan hanya menggerak-gerakkan kepalanya yang kecil pula. Morgan, si anjing jantan itu, juga memilih diam rebahan dan tak lagi menggoyangkan ekornya. Hanya angin sore yang berkesiur yang dikirimkan pepohonan buah di kebun-kebun yang subur.
Anita kembali bercerita. Pada tahun 2021, dirinya didaulat menjadi Putri Tari Provinsi Bali. Ia sudah menjadi mahasiswi di Undiksha ketika itu. Dan dia mewakili Bali dalam ajang pemilihan Putra-Putri Tari Indonesia yang saat itu digelar di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Namun, Anita belum berhasil mempersembangkan gelar juara untuk Bali. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk menjadi yang terbaik dari puluhan peserta yang dikirim dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
“Saat itu masih pandemi. Keuangan keluarga sedang minim. Tapi ibu coba-coba mengirim pesan kepada Bu Putri Koster untuk meminta bantuan. Setelah Bu Putri tahu, kami diundang ke Denpasar untuk bertemu. Jadi, karena bantuan Provinsi Bali, khususnya Bu Putri dan Pak Koster, aku bisa berangkat ke NTT untuk mewakili Bali dalam ajang Putra-Putri Tari Indonesia,” kisah Anita.
Saat itu Anita berangkat bersama I Putu Agus Rahul Khana—yang dinobatkan sebagai Duta Putra Tari Bali 2021. Namun, dua hari menjelang keberangkatan, wayah tercinta yang mengasuhnya sejak kecil, meninggal dunia. Ini membuatnya nyaris membatalkan keberangkatan. Tapi karena kedua orang tuanya, keluarga, dan teman-temannya terus memberinya semangat, jadilah Anita terbang ke Maumere—tanah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ni Putu Anita Sofia Veronia | Foto: Hizkia
“Saat ngaben itu kan harus mencari hari baik. Nah, itu seperti menunggu aku selesai kompetisi. Jadi, hari baik itu baru ketemu setelah aku seminggu di Maumere,” ujar Anita seolah masih tidak percaya dengan apa yang dia bicarakan. Meski dalam keadaan berduka, saat di Maumere, Anita merasa senang. Selain bertemu dengan banyak peserta dari berbagai provinsi, di sana dia juga belajar banyak hal, khususnya tentang kebudayaan setempat.
“Dari semua pencapaian dan pengalaman yang aku dapatkan hari ini, tak terlepas dari dukungan kedua orang tuaku. Tanpa mereka aku tidak akan menjadi seperti sekarang,” aku gadis yang pernah duduk di bangku SDN 1 Sangsit itu.
Menari bagi Anita adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya—seperti kata Paulo Coelho, “… di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada.” Dan Anita menganggap dunia seni bukan dunia bim salabim, namun lahir dari penghayatan pada proses dan berani mencoba. Menemukan guru yang tepat adalah modal yang bagus untuk menjadi seorang seniman, khususnya seniman tari. Dan Anita pernah belajar menari sampai ke Singapadu. Di sana ia belajar bersama I Nyoman Cerita, seniman tari pilih tanding yang tutup usia tiga tahun silam.
Sebagai seniman muda, Anita ingin sekali berkontribusi dalam dunia kesenian Bali. Menurutnya, peran pemuda sangat membantu dalam ekosistem kesenian. Ia sampai berpesan kepada seniman-seniman muda Buleleng dan Bali, termasuk dirinya sendiri, untuk tidak berhenti berkarya serta mau menjaga dan melestarikan kesenian Bali sampai kapan pun. “Karena kalau bukan kita siapa lagi?” tanyanya kepada diri sendiri.
Tahun ini, Anita akan menari di panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) bersama Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga. Ia akan menarikan salah satu tari kesukaannya, yaitu Tari Palawakya ciptaan sang legenda Gde Manik. Sedangkan ibunya akan menarikan Terunajaya. “Saya sangat menyukai Terunajaya dan Palawakya,” kata Anita.
***
Beberapa hari yang lalu, Anita marah-marah di sebuah video pendek yang kemudian viral di media sosial dan membuat geger dunia kesenian Bali. Sebab kemarahannya, sebagaimana semua orang tahu, adalah ketidakpuasannya dengan acara HUT Kota Singaraja yang seolah “menganaktirikan” kesenian tradisi. Malam itu jadwal Anita pentas bersama Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga yang mebarung dengan Sekaa Gong Legendaris Eka Wakya Banjar Paketan di acara penututan HUT Kota.
Namun, oleh sebab beberapa hal, Anita dan kedua sekaa memutuskan untuk tidak melanjutkan pementasan. Mereka marah kepada panitia, kepada pemerintah, dan angkat kaki sebelum menuntaskan acara mebarung. Anita kesal. Dia mengomel. Dan seorang temannya merekam lalu mengunggahnya di media sosial. Jadilah video itu viral, menyebar ke setiap tempat, membuat banyak orang geram kepada Pemerintah Buleleng. Keesokan harinya, media-media memberitakannya. Dari yang sensasional, sampai yang penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
“Aku seperti tidak sadar saat mengucapkan kata-kata itu, Kak,” kata Anita sambil tertawa. “Mungkin ada lelulur yang tidak berkenan dengan cara panitia dalam memperlakukan kami. Jadilah aku ngomong seperti itu. Haha,” sambungnya masih dengan tertawa.
Banyak orang terpantik untuk lebih peduli dengan kesenian tradisi gara-gara video Anita. Itu juga menjadi bahan evaluasi terhadap kinerja pemerintah. Dan karena video tersebut pula, Gong Kebyar kembali diperbincangkan. Nama Gde Manik dan Made Kranca disebut-sebut kembali. “Ya walaupun itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Haha,” kembali Anita tertawa.
Selain satu hak istimewa, barangkali setiap manusia juga memiliki legenda pribadi untuk diwujudkan, dan untuk itulah kita hidup di dunia. Legenda pribadi ini mengejawantah dalam antusiasme kita terhadap suatu tugas tertentu. Sedangkan tindakan adalah pikiran yang mengejawantah. Hari ini kita melihat “kemampuan untuk memilih” dan “antusiasme terhadap suatu tugas” ini dalam diri Ni Putu Anita Sofia Veronia.
Di tengah zaman yang sebagian pelakunya menginginkan apa pun yang berbau tradisi lenyap atau dilenyapkan, Anita—dan kebanyakan orang Bali lainnya tentu saja—tetap memilih untuk antusias menjaga, menjalankan, dan bahkan melestarikannya.
Anita meliuk-liuk di pelataran rumahnya. Tubuhnya yang liat condong ke samping seperti membentuk huruf “S” yang tak sempurna. Sesekali ia mengentak, tersenyum manis, dan tiba-tiba menunjukkan mimik tegas. Ia memainkan kipas dan bahunya sambil mengayun-ayunkan kedua lengan dan jari-jarinya yang lentik. Sedangkan kedua kakinya tak diam di satu tempat—kaki itu bergerak ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Anita, penari muda yang banyak prestasi itu, sedang memperlihatkan beberapa gerakan Tari Terunajaya, tarian yang ia banggakan.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole