SETELAH umat Hindu selesai menjalankan ibadah Nyepi, hujan mengguyur Buleleng sendari pagi. Saat itu pula, umat Islam sedang menunaikan ibadah sahur puasa Ramadan yang pertama tahun ini. Seperti tanda baik, pagi itu Buleleng begitu sejuk, tak panas dan gerah seperti biasanya. Namun, menjelang siang, ternyata hujan tak kunjung reda, termasuk hujan di Desa Les, Kecamatan Tejakula, di timur Buleleng sana. Padahal, hari itu, Les sedang punya gawe.
Di bibir Pantai Penyumbahan Desa Les, panggung ukuran medium teronggok dingin dengan pengeras suara yang memekakkan telinga—pengeras suara itu menyemburkan musik-musik ala diskotek. Menjelang senja, di tengah hujan lebat, orang-orang tetap saja berbondong-bondong ke sana. Mereka, sebagian besar penduduk Les, menyerbu pantai tersebut dengan bekal uang yang tak sedikit. Orang tua, remaja, anak-anak, laki-laki-perempuan, dengan pakaian terbaiknya, mengular di sepanjang pantai, seperti semut berbaris menuju gula yang manis.
Sebenarnya, sebelum Kuningan, pihak panitia sudah mendirikan panggung acara. Tapi karena hujan angin, panggung dibongkar kembali. Jadilah pagi setelah Nyepi, panggung baru didirikan lagi. Oleh sebab itu, menjelang pergantian hari, panggung baru bisa digunakan. Namun, tidak dengan tenda-tenda para penjaja makanan, mainan, dan pakaian—dan lapak judi, tentu saja. Para pemilik, si pedagang-pedang itu, membiarkannya begitu saja. Meski hujan, mereka tetap membuka barang dagangan.
Orang-orang sedang bergerombol di Les Fest Ngembak Geni 2024 di bibir Pantai Penyumbahan Desa Les | Foto: Jaswanto
Ombak bergulung-gulung menciumi bibir pantai. Perahu-perahu nelayan timbul-tenggelam. Sedang hujan masih saja tak kunjung reda. Dan orang-orang tetap saja berdatangan. Di sanalah, di Pantai Penyumbahan, Desa Les sedang menyelenggarakan program tahunan “Les Fest Ngembak Geni”. “Ini tahun kedua,” kata Ketut Kartika Yani, Ketua Panitia Les Fest, Selasa (12/3/2024) sore.
Ketut Kartika menjadi orang yang paling sibuk sore itu. Ia mondar-mandir ke sana-ke mari, memastikan rekan-rekan panitianya sudah bekerja sesuai rencana atau belum. Kadang ia terlihat tegang, namun tak jarang juga tersenyum dan tertawa lega, meski beberapa kali juga merasa kesal sendiri. “Cuacanya begini. Satu agenda terpaksa kami batalkan,” ujarnya penuh penyesalan. “Harusnya ada penampilan Baleganjur. Tapi karena hujan, kami batalkan,” katanya lagi, mengulang penyesalan yang sama.
Dalam susunan acara yang sudah direncanakan dan disepakati, pukul lima sore harusnya acara sudah dimulai. Itu jadwal anak-anak Desa Les menampilkan kebolehan mereka dalam memainkan gamelan Baleganjur. Tapi apa mau dikata, hujan sepertinya tidak mengizinkan hal itu terjadi. Maka terpaksalah pihak penyelenggara—Pemerintah Desa Les dan Karang Taruna Bhuana Lestari—membatalkannya, dan baru memulai acara setelah azan Magrib berkumandang.
“Tapi, meski begitu, antusiasme masyarakat sungguh luar biasa. Bisa dilihat sendiri, meski hujan, mereka tetap ke sini,” Kartika, yang juga sekaligus Ketua Karang Taruna Desa Les, mencoba menghibur diri. Tapi benar, sebagaimana telah disebutkan di awal, orang-orang memang tampak begitu padat—bahkan beberapa bule, orang asing itu, ikut nimbrung di sana. Jumlah mereka semakin bertambah menjelang dua gadis muda sedang bersiap menarikan Pendet. Sebentar saja panggung itu sudah menjelma menjadi cuilan donat yang dikeroyok ratusan rangrang.
Seorang gadis sedang menarikan Pendet di panggung Les Fest Ngembak Geni 2024 | Foto: Jaswanto
Les Fest Ngembak Geni tahun ini, kata Kartika, mencetak kupon (tiket masuk lokasi) sebanyak lima ribu lembar. Tiket seharga sepuluh ribu perak itu nanti akan diundi untuk memenangkan hadiah menarik yang telah disediakan panitia. Selain itu, dari hasil penjualan tiket ini pula panitia menggalang dana. “Selain dapat bantuan dari desa, kami juga menyebarkan proposal dan menjual tiket ini,” tutur Kartika. “Kami mempersiapkan ini sudah sejak Januari yang lalu,” katanya lagi.
Asal-Usul Les Fest
Dan semua ini berawal dari sebuah tradisi yang sudah lama dilakukan orang-orang Desa Les—sudah sejak dulu sekitar tahun ’70-an. Sehari setelah Nyepi, pada saat Ngembak Geni, orang-orang Les memiliki kebiasaan berbondong-bondong mengunjungi Pantai Penyumbahan. Di tengah orang-orang berkerumun itu, awalnya satu-dua pedagang mencoba peruntungan.
Namun, seiring zaman, para pedagang bertambah banyak, Ngembak Geni semakin meriah. Orang-orang tak sekadar ke pantai, tapi juga berbelanja. Layaknya hari raya Idulfitri, selain berias, mereka juga mengenakan pakaian terbaik—kalau bisa terbaru. Dan tak cukup sehari, perayaan ini digelar dua hari berturut-turut. Barangkali, mungkin karena hanya terjadi setahun sekali.
Selang panjang waktu berganti, seiring pergantian pemimpin Desa Les, pada tahun 2019, Pemerintah Les berinisiatif mengelola tradisi tersebut menjadi sebuah festival rakyat. Namun, karena Pandemi Covid-19 tiba-tiba meluluhlantakkan tatatan, program tersebut baru terealisasi tahun lalu, pada 2023. Jadilah Les Fest Ngembak Geni terselenggara.
Tetapi, Les Fest pertama kali tidak diselenggarakan di Pantai Penyumbahan, namun di tempat lain. Tapi karena masyarakat sudah terbiasa mengunjungi Pantai Penyumbahan, kasak-kusuk pun terjadi. Akibatnya, seperti terjadi dua kelompok keramaian yang terjadi bersamaan. Namun, atas dasar kebiasaan, pada tahun ini, dan mungkin tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Desa Les memutuskan Pantai Penyumbahan sebagai tempat satu-satunya Les Fest diselenggarakan.
Pedagang sedang dikerumuni orang-orang di Les Fest Ngembak Geni 2024 | Foto: Jaswanto
Empat paragraf di atas adalah keterangan dari Perbekel Desa Les, Gede Adi Wistara, saat ditemui di vila miliknya di kawasan Pantai Kura-Kura Desa Les sebelum Les Fest Ngembak Geni dimulai, Selasa (12/3/2024) sore.
Saat itu, Kepala Desa muda itu sedang bersantai sambil menunggu tamu undangannya. Ia mengatakan, tradisi mengunjungi pantai saat Ngembak Geni adalah warisan tetua terdahulu. “Supaya lebih inovatif, saya mengemas tradisi ini menjadi lebih kekinian dan terencana. Desa kami kan juga punya kesenian. Nah, di festival inilah kami tampilkan beberapa,” tutur Pak Mekel.
Selain sebagai ajang apresiasi seni, Les Fest juga digunakan sebagai tempat pemetaan jenis-jenis kuliner yang dijajakan di sana, dari yang tradisional sampai yang modern—bahkan mungkin sampai yang post-modern sekali pun. “Ini sejalan dengan program yang digaungkan pemerintah di mana-mana, yakni peningkatan UMKM. Setiap setahun sekali, pedagang selalu memadati pantai tempat orang-orang berkumpul itu,” ujar Kepala Desa alumni Universitas Atmajaya, Yogyakarta, itu.
Kini, Ngembak Geni—meminjam kata Pak Mekel Les—“tak lagi monoton seperti dulu”; orang-orang tak hanya datang ke pantai sekadar duduk-duduk, ngobrol, atau belanja, tapi juga bisa menikmati musik dan pertunjukan seni dan budaya. Dalam konteks ini, secara tidak langsung, Les Fest juga bisa dikatakan sebagai ajang pendidikan dalam pengenalan kekayaan atau potensi Desa Les kepada generasi muda. Mereka menjadi tahu bahwa Desa Les memiliki kesenian dan kebudayaan ini-itu, dan kuliner, dan produk UMKM ini-itu juga.
Suasana keramaian di depan panggung Les Fest Ngembak Geni 2024 | Foto: Jaswanto
“Ini juga bertujuan untuk menghidupkan wisata desa dan mengenalkan produk-produk lokal Desa Les, seperti garam, minyak kelapa, arak, dll, ” ujar Pak Mekel. Sore makin basah. Hujan masih saja tumpah seperti wahana air di pekan raya. Dan laut terus saja bergemuruh. Tapi orang-orang masih berdatangan, malah bertambah semakin banyak. Mereka berduyun-duyun dari segala arah. Ada yang turun dari bukit-bukit yang jauh, ada pula yang berasal dari luar desa. Mereka berkerumun seperti laron di musim hujan.
Les Fest 2024, harinya orang-orang Les itu, mendatangkan pemusik yang sedang hits saat ini, Bagus Wirata dan Jun Bintang. Kedua pemusik yang terkenal di Bali itu, tampil bersama debur ombak, perahu nelayan, pasir dan batu, nyiur, dan ratusan penggemarnya. Ini adalah hari di mana uang hasil panen dibelanjakan, baju baru dikenakan, segala kudapan diperjual-belikan, mainan anak-anak dipamerkan, dan nasib diundi di papan judi.
Sungguh “pesta” rakyat yang meriah. Puluhan pedagang makanan, mainan, dan pakaian, laris terjual. Ekonomi berputar begitu cepat melalui transaksi bakso, mi ayam, sate, sosis, daster, celana dalam, permainan anak-anak, bola adil, dan masih banyak lagi. Ini memang benar-benar sebuah “pesta”. Dan sebagaimana pesta pada umumnya, ini memang harus dirayakan. Bukan begitu, Pak Mekel?[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana