SAAT KUAS di tangan I Ketut Wisana Ariyanto, kanvas lukis terasa bagaikan panggung sulap. Ilusinya membuat lukisan tampak sederhana, tetapi amat rumit bagi seorang amatir.
Pria kelahiran Gobleg, 19 Oktober 1987, itu memang tampak begitu akrab dengan kanvas, kuas, cat, palet, dan semua hal yang berkaitan dengan seni lukis lainnya—ia mengenal seni lukis sama akrabnya dengan mengenal dirinya sendiri.
Dan wajar memang, mengingat, pria yang saat ini berprofesi sebagai guru Seni Budaya di SMP Negeri 2 Banjar itu, adalah seorang sarjanan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali, dua belas tahun yang lalu.
I Ketut Wisana Ariyanto berpose di depan dua lukisan karyanya yang dipajang di Pameran Seni Rupa “Politik Titik Titik” Tatkala May May May 2023 / Foto: Dok. Tatkala.co
Ya, sekadar menengok masa lalu, Kota Singaraja, dalam hal kesenirupaan—khususnya setelah kemerdekaan—, memang menjadi tempat pertama berdirinya lembaga pendidikan formal seni rupa di Bali yang bernama sekolah Rupa Datu, sekolah seni yang berdiri pada tahun 1957.
Dari dulu, Buleleng memang memiliki banyak pelukis akademis maupun non akademis. Pelukis akademis dari Buleleng telah muncul tahun 1970-an. Ada tokoh bernama I Nyoman Tusan. Dalam katalog Suryakanta, Hardiman—tokoh pelukis akademis Undiksha, dosen Wisana Ariyanto—mengatakan bahwa I Nyoman Tusan sebagai pelukis akademis pertama di Bali.
Dan Wisana Ariyanto, pelukis generasi baru, seperti kebanyakan seniman, juga memiliki niat menggambar sejak kecil. “Niat untuk menggambar sebenarnya sudah dari kecil, tapi karena nggak ada wadah, jadi niat itu luntur,” katanya kepada Tatkala.co, Jumat (24/6/2/23) siang.
Lukisan karya I Ketut Wisana Ariyanto / Foto: Dok. Wisana Ariyanto
Guru seni budaya yang tinggal di Banjar Dinas Jembong, Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, itu mengaku mulai menekuni seni rupa sejak ia menjadi siswa di SMA Negeri 1 Singaraja. Di sekolah inilah, ia mulai menggali bakat, mengasah skill, berusaha mendekatkan diri dengan tinta, kanvas, dan teori-teori seputar lukisan. “Saya menentukan sikap ya waktu sekolah di SMANSA Singaraja, di sana saya belajar gambar teknik,” tutur Ariyanto.
Setelah tamat dari SMA tahun 2006, Ariyanto sempat ingin melanjutkan pendidikan, kuliah, dan mengambil jurusan arsitek, tetapi karena pertimbangan banyak hal, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan ke Undiksha dan memilih jurusan seni rupa. “Karena waktu itu uangnya kurang untuk masuk artisek,” katanya sambil tertawa.
Ariyanto terdaftar sebagai mahasiswa Seni Rupa, Undiksha, pada tahun 2006 dan lulus lima tahun setelahnya.
Belajar dari nol
Menjadi mahasiswa seni rupa barangkali adalah titik awal Ariyanto menjadi seperti sekarang—walaupun hal itu tentu juga dipengaruhi pengetahuan dan pengalamannya sejak kecil. Ia mengaku belajar dari nol di Undiksha. Mengingat, jurusan Pendidikan Seni Rupa ternyata tidak hanya mengajarkan mahasiswanya belajar melukis saja, tapi juga mengajarkan banyak hal tentang seni rupa. “Kami diajari tentang kayu, keramik, tekstil, kerajinan, lukisan, patung—banyak, deh,” ujarnya.
Saat menjadi mahasiswa, Ariyanto mengaku banyak belajar dari salah satu dosennya, I Wayan Sudiarta, namanya. Dosen yang mengajarinya tentang menggambar anatomi plastis, prasimologi, perencanaan pembelajaran, belajar dan pembelajaran, wawasan kependidikan, dan seminar itu, menurutnya tak hanya mampu menjadi dosen, tapi juga mampu menjadi seorang bapak, saudara, dan teman dekat.
“Saya kagum sama beliau. Selain cara mengajarnya enak, beliau juga memiliki banyak pemikiran kreatif—ide-ide kreatifnya berlimpah,” kata Ariyawan.
Pengetahun dan pengalaman selama diajar oleh Wayan Sudiarta inilah, yang menjadi bekal saat ia memutuskan menjadi seorang pendidik, guru seni budaya.
Selain banyak belajar dari dosen, Ariyanto juga banyak belajar dari teman-temannya yang berasal dari Gianyar dan Denpasar—yang notabene memang sudah dekat dengan dunia seni rupa. Tetapi, menurut Ariyanto, mereka hanya menang diteknik, soal teori, konsep dan gagasan, ia tak kalah dengan mereka.
Sejak saat itulah, Ariyanto memiliki pandangan bahwa seni rupa bukan hanya sekadar lukisan, patung, ukiran, atau sekumpulan karya yang terdapat di galeri-galeri seni, tetapi juga soal instalasi di jalan, dekorasi-dekorasi, hingga berbagai macam perabot rumah juga termasuk karya seni rupa—di Indonesia, karya seni rupa meluber saking banyaknya.
Benar, sudah sejak zaman dulu sebenarnya (tepatnya mungkin pada masa zaman batu tua Phaleolitikum), manusia pra-aksara sudah menciptakan karya seni rupa berupa kapak batu kasar—waktu itu sepertinya tubuh manusia memang tinggi-tinggi dan besar-besar.
Dalam tulisan Melihat Indonesia Melalui Seni, Feby Anggraini mengatakan: “Seiring berkembangnya waktu manusia pra-aksara mulai mengenal karya seni lukis. Mereka melukis di dinding dan langit-langit gua. Hal tersebut membuktikan bahwa perkembangan zaman juga diikuti oleh perkembangan seni rupa.”
Di negara yang kita cintai ini, seni rupa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak orang “berlomba-lomba” menciptakan karya seni rupa, mulai dari seni pahat, seni lukis, seni patung, seni kriya, hingga seni desain dan media art. Begitu pula dengan Ariyanto yang mengaku tak membatasi dirinya terhadap seni rupa.
Dan dalam hal berkesenian, pria ini memang bisa dibilang memiliki segudang pengalaman. Pada 2007, misalnya, ia ikut serta melukis bersama dalam Festival Kesenian Indonesia ke-5 di Denpasar; ikut serta dalam Bigsale art di Taman kota Singaraja, Bali; dan memamerkan karyanya dalam pameran karya mandiri HUT Gamasera ke-21 di Singaraja, Bali.
Tak sampai di situ, pada 2009, karyanya tampil dalam performance art “Apa Ini Apa Itu”di Pantai Lepang, Klungkung, Bali; pameran “Membaca Bulian”di Museum Neka, Ubud, Bali; dan melukis bersama di HUT Gamasera ke-23, Taman Kota Singaraja, Bali.
Lukisan karya I Ketut Wisana Ariyanto / Foto: Dok. Wisana Ariyanto
Pada tahun 2010, Pameran Tugas Akhir “Self-Realization” di Museum Puri Lukisan, Ratna Wartha Ubud, Bali; Pameran Eksplo[ra]si Undiksha Singaraja dan Isi Denpasar di Hanna Artspace Ubud-Bali; dan Performance art ”Valentine” di Teater Awan Fakultas Ilmu Pendidikan, Undiksha Singaraja, Bali.
Tahun 2011 sampai 2013, ia pameran bersama Kelompok Perupa Buleleng “Hitam Putih”di Eks Pelabuhan Buleleng, Singaraja, Bali, 2011; pameran bersama opening “John Hardi Art Patio” 2012 di Lovina, Buleleng-Bali; pameran partisipasi HUT Kota Singaraja tahun 2012 di eks Pelabuhan Buleleng-Bali; pameran bersama Kelompok Perupa Buleleng “Golden Point(s)”di eks Pelabuhan Buleleng Bali; Pameran bersama “Gradasi” di Art-House, Lovina, Singaraja, Bali; dan 2013, ia pameran bersama serangkaian Bulfest “Suryakanta” di rumah jabatan Bupati Buleleng.
Sedangkan pada tahun 2014, pameran bersama dosen dan alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha “Locomotion” di Museum seni Neka Ubud, Gianyar 2014; pameran bersama “Meadonan”di Lingkar Art Space 2014; pameran bersama kartun internasional di Gedung Imaco Eks Pelabuhan Buleleng 2014 Serangkaian Gerakan Peduli Sampah #2 oleh Manik Bumi Foundation.
Sementara itu, pada tahun 2016 dan 2020, ia pameran bersama mahasiswa, dosen dan alumni “Kekerabatan”di ruang pameran FBS-Undiksha dan mengikuti peragaan dan pagelaran seni virtual 2020 pada kegiatan Pesta Kesenian Bali ke-42.
Dan yang terbaru, Ariyanto memamerkan lukisannya dalam Pameran Seni Rupa “Politik Titik Titik” Tatkala May May May 2023 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja.
Pelukis naturalis
Saat diwawancarai Tatkala.co, dalam melukis, Ariyanto mengaku lebih cenderung menyukai aliran naturalis daripada aliran lain seperti misal ekspresionisme macam Affandi atau Vincent van Gogh, surealisme macam Salvador Dali dengan lukisannya “The Burning Giraffe” yang terkenal itu, atau abstrakisme macam Wassily Kandinsky.
“Saya menyukai air, batu, sungai, pemandangan. Menurutnya saya, ada sesuatu yang membuat saya tenang aja saat memandangi objek itu dan melukiskannya,” ujar Ariyanto sambil membenahi kacamatanya yang turun sampai pangkal hidung.
Sekadar informasi, naturalisme adalah aliran seni lukis yang bertemakan alam, yang penggambarannya alami atau sesuai dengan keadaan alam. Orang-orang penganut aliran ini melukis segala sesuatu yang berkaitan dengan alam nyata, sehingga perbandingan perspektif tekstur, atau warna serta gelap terang dibuat dengan seteliti mungkin—bahkan kadang lebih indah dari kenyataannya. Beberapa tokoh seniman beraliran naturalisme ialah Basuki Abdullah, Abdullah Suriosubroto, dan John Constable.
Lukisan karya I Ketut Wisana Ariyanto / Foto: Dok. Wisana Ariyanto
Berkembangnya aliran naturalisme tak lepas dari peran para pelukis yang memperkenalkannya dalam lukisannya. John Constable, seniman Inggris yang dikenal lewat lukisannya “The Hay Wain” (1821), dinilai menjadi pionir aliran ini
Mengutip situs Art in Context, lukisan itu menggambarkan gerobak kuda yang menyeberangi sungai yang dikelilingi pemandangan rumah dan pertanian. Lukisan itu juga menggambarkan detail tentang pencahayaan matahari, pepohonan, dan juga awan.
Dan Wisana Ariyanto, guru muda pelukis naturalis yang pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Seni Rupa Undiksha periode 2007/2008 dan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha periode 2008/2009 itu, pada akhirnya, kini sudah jarang melukis—walaupun beberapa kali ia masih dipercaya sebagai tim juri lomba menggambar dan mewarnai di Singaraja. “Saya sudah sibuk di sekolah,” katanya.
Meski demikian, ia mengaku, jiwa seninya tetap ada dalam tubuhnya. Ariyanto memang sudah jarang melukis, tapi semangatnya dalam berkesenian, kini ia tularkan kepada siswa-siswanya di SMP Negeri 2 Banjar. Benar, selain menjadi guru seni budaya, ia juga menjadi pembina seni rupa.[T]