HAJATAN BESAR pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia akan segera dimulai. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 menjadi momentum untuk memilih para pemimpin yang akan menentukan masa depan bangsa. Kampanye sebagai ajang pengenalan calon pemimpin menjadi tahapan Pemilu yang menarik perhatian.
Para pemilih akan disuguhkan kampanye yang tentu saja berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya. Bagi pemilih pemula, kampanye Pemilu kali ini akan menjadi momentum politik yang ditunggu. Apalagi Pemilu legislatif diwarnai dengan banyaknya partai politik (Parpol) yang mengusung artis dan selibritis sebagai calon wakil rakyat. Pemilu akan menjadi ajang pertarungan politik yang penuh hiburan.
Pemilu tahun 2024 nanti juga akan sangat berbeda dari Pemilu saat rezim Orde Baru berkuasa. Rakyat memiliki kebebasan untuk memilih tanpa intervensi dan intimidasi penguasa. Hal ini akan berpengaruh pada strategi kampanye yang lebih persuasif, tak lagi koersif.
Kampanye Pemilu untuk calon presiden (Capres) dan calon anggota legislatif (Caleg) boleh jadi akan diwarnai dengan tawaran visi dan misi. Namun tidak tertutup kemungkinan juga, kampanye akan menyuguhkan tebar pesona yang belum tentu mempesona. Juga tebar janji yang belum tentu ditepati.
Strategi kampanye menjadi penting, karena berkaitan dengan upaya persuasif untuk membujuk pemilih. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Kesalahan dalam merancang strategi kampanye bukan malah mendapat simpati, tetapi justru antipati dari pemilih.
Strategi Persuasi
Persuasi pada hakikatnya merupakan kegiatan psikologis untuk mempengaruhi pendapat, sikap, dan tingkah laku seseorang. Persuasi dilakukan dengan pendekatan emosional, tidak menggunakan cara-cara paksaan, kekerasan, maupun teror.
Demikianlah selayaknya kampanye Pemilu. Para pemilih yang mendapatkan persuasi akan menerima apa yang disampaikan kandidat dengan senang, sukarela, tanpa keterpaksaan atau ketakutan. Kegiatan kampanye yang persuasif akan diawali dengan adanya atensi terhadap program kampanye, hingga aksi berupa mencoblos nomor kandidat.
Carl I Hovland, cs (1953) sudah lama merumuskan metode persuasi. Beberapa metode itu dapat digunakan untuk mencermati kemungkinan strategi kampanye Capres dan Caleg. Metode partisipasi akan banyak dilakukan para calon dalam kampanye.
Cara persuasi ini dengan mengikutsertakan banyak orang dalam suatu kegiatan untuk menumbuhkan perhatian. Panen bersama, lari pagi bersama, kerja bakti, dan joget bersama adalah metode persuasi dalam bentuk partisipasi.
Metode asosiasi merupakan persuasi dengan menyajikan gagasan dikaitkan dengan satu peristiwa yang sedang menjadi perhatian publik. Jangan heran jika nanti ada Capres dan Caleg yang bicara tentang kemandirian dan ketahanan pangan sambil memberi bantuan kepada petani yang sawahnya terendam banjir.
Metode Pay off Idea kemungkinan besar akan digunakan oleh seluruh calon dalam Pemilu. Harapan dan janji merupakan bagian dari metode ini. Tak peduli apakah harapan dan jani saat kampanye akan dipenuhi.
Jika gagasan berpeluang untuk diwujudkan, maka janji sekadar pemanis saat kampanye. Nyatanya rakyat juga senang mendapatkan harapan dan janji. Seolah lupa, bahwa pada Pemilu sebelumnya janji itu juga pernah terucap oleh para kandidat.
Kandidat yang berjanji untuk memberantas korupsi, bisa saja jadi tersangka korupsi. Dan rakyat seolah tak peduli ketika kandidat mantan koruptor itu kembali tampil dalam panggung Pemilu.
Bahkan kadang janji itu tak terkait dengan upaya membangun bangsa dan negara ke depan. Pemilu masih lama digelar, namun salah satu Ketua Umum Parpol menyatakan, jika ia menjadi Presiden, konser Coldplay akan digratiskan.
Icing Device dalam kampanye digunakan untuk menghias tampilan kandidat ketika bertemu dengan rakyat. Metode ini dilakukan untuk membangkitkan emosi khalayak. Komunikasi persuasi kadang tidak cukup hanya dengan menampilkan data dan fakta.
Capres dan Caleg perlu menunjukkan raut muka sedih saat berkunjung ke rumah warga yang miskin. Wajah marah juga diperlukan ketika menyaksikan rakyat diperlakukan tidak adil.
Begitu pula pujian kandidat kepada masyarakat yang berprestasi merupakan bumbu dalam komunikasi persuasif. Tentu saja semua itu harus dilakukan dengan tulus, tanpa gimmick; bukan bagian dari proyek pencitraan.
Ragam Citra
Capres dan Caleg sesungguhnya sedang “menjual” diri dan partai pengusungnya. Setiap calon dalam dirinya melekat citra (image), positif maupun negatif, baik dan buruk, merakyat atau elitis. Citra positif akan menguntungkan kandidat. Citra negatif dapat membuat suara kandidat terpuruk.
Mengelola citra bukanlah pekerjaan mudah. Situasi negatif yang dirasakan orang lain kadang menjadi kendala. Meminjam pendapat Frank Jefkins (1995), empat situasi negatif perlu dicermati para kandidat.
Permusuhan, prasangka, ketidakpedulian, dan ketidaktahuan dari pemilih adalah faktor yang sering menjadi kendala dalam meraup suara. Upaya yang harus dilakukan tentu saja dengan menarik simpati, menumbuhkan penerimaan, membangkitkan minat, dan memberikan pengetahuan yang tepat kepada pemilih.
Mewujudkan upaya itu juga tidak gampang. Setiap kandidat memiliki ragam citra yang berbeda. Ada Capres atau Caleg yang memiliki citra bayangan (mirror image) yang begitu kuat. Padahal citra jenis ini tidak selalu tepat. Kandidat membayangkan dirinya selalu positif dan terlalu hebat dibandingkan kandidat lain.
Selain itu ada juga citra saat ini (current image) yang dimiliki para pemilih. Citra ini merupakan pandangan orang lain tentang kandidat. Biasanya ragam citra ini tidak memadai dan cenderung negatif. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi dari pemilih tentang sosok kandidat.
Oleh sebab itu diperlukan kampanye yang lebih informatif terkait profil kandidat. Diperlukan strategi komunikasi kampanye yang baik agar diperoleh citra yang diharapkan kandidat (wish image). Jangan sampai citra bayangan dan citra yang berlaku saat ini lebih dominan melekat pada diri kandidat.
Patut diwaspadai oleh para Capres dan Caleg adalah munculnya citra majemuk (multiple image). Citra ini dapat berkaitan dengan gambaran pemilih tentang partai pengusung, perilaku tim sukses, atau karena penampilan calon yang kurang meyakinkan.
Mengatasi citra majemuk, partai politik maupun para calon kadang melakukan upaya proyek pencitraan (imaging project). Hal-hal buruk yang berkaitan dengan partai maupun calon dipoles agar tampak lebih baik. Padahal pemolesan citra yang berlebihan justru akan menghasilkan pencitraan yang negatif.
Mendapatkan partai dan calon yang jujur apa adanya dalam Pemilu memang agak sulit. Semua berlomba membangun citra. Betapapun, pencitraan dalam jangka pendek akan membuat segalanya tak seindah warna aslinya. Dan dalam jangka panjang akan menghasilkan kekecewaan tak berkesudahan.[T]