Sudah setengah jam hujan. Got sempit di kiri kanan jalan Dewi Sri sedikit lagi meluap. Genangan mulai terlihat di beberapa titik badan jalan. Angin merontokkan bunga-bunga jepun di halaman. Riuh benturan hujan dari atap seng rumah tetangga menyempurnakan ketidaknyamanan suasana.
Hujan belum reda. Jam dinding di kamar I Gede Sudibya : pukul sebelas malam. Beralas dua bantal, ia bersandar pada kepala dipan. Sebuah buku tentang bonsai, dibacanya kembali. Halaman demi halaman dicermati. Sesekali memperbaiki posisi kaca mata yang melorot ke ujung hidung.
….Seni bonsai, pertama kali muncul di daratan China pada masa pemerintahan dinasti Tsin (265 – 420). Penjing, sebutan waktu itu, digemari oleh para pejabat kerajaan. Pada masa dinasti Yuan (1280 – 1368) biksu Jepang yang belajar agama Buddha di China pulang ke negerinya membawa miniatur tanaman sebagai cinderamata. Mereka mengagumi keunikan pohon kerdil tersebut. Mereka pun tertarik mempelajari bahkan menciptakan kreasi baru, mengadaptasi lingkungan dan budaya Jepang. Seni bonsai terus berkembang, menyebar ke seantero dunia. Istilah bonsai sendiri merujuk kepada bahasa Jepang. Bon artinya wadah atau pot dan sai artinya tanaman….
“Aaahem…” Sudibya refleks menutup mulutnya dengan buku ketika tiba-tiba menguap. Lebih dari sekali ia melakukannya. Awalnya bertahan tapi kantuk terus menyerang. Buku di taruh sembarang, menimpa kamus tebal Indonesia-Perancis.
Pagi, matahari terhalang awan. Dari atas dak rumah, bertelanjang dada, Sudibya memandang sawah sekitar. Hanya beberapa petak tersisa dari kepungan perumahan. Seorang petani sedang menyabit rumput liar. Membersihkan gulma, merapikan sisi pematang. Dekat pohon pandan, seorang petani lain mencuci kaki di sungai dangkal. Airnya keruh.
Plak! Seekor nyamuk mati seketika. Darah segar membekas pada sisik ular dengan semburan api dari mulutnya. Tatto naga yang dibuatnya di Kuta tahun lalu itu, hanya menyisakan sedikit ruang di dadanya yang bidang. Dengungan nyamuk lain pun senyap bersamaan dengan bunyi tepokan di pipi kanan. Sudibya bergegas turun.
Ketika tersiar virus corona berjangkit di Wuhan, China, Sudibya tak menggubris sama sekali. Berita biasa, pikirnya. Ia yakin tak melebihi flu burung sebelumnya. Kalau pun ada yang terkejut pasti hanya sesasat dan hilang seiring waktu. Tergeser berita kenaikan harga sembako, demo mahasiswa, kecelakaan tol, kebakaran pemukiman padat, penggusuran rumah liar, isu politik, kasus narkoba atau pejabat apes yang tertangkap tangan KPK.
Wuhan, ribuan kilometer jauhnya, mustahil sampai ke Indonesia. Apalagi berkembang opini bahwa virus itu tak bertahan di wilayah beriklim tropis. Plonglah hatinya. Tak ada yang perlu dicemaskan. Sampai suatu hari, bapak Presiden atas nama pemerintah, mengkonfirmasi pertama kali adanya dua orang warga Depok, positif terjangkit. Sudibya tak sepenuhnya percaya.
Kemudian, waktu berjalan lambat sementara kecemasan berkembang biak dengan cepat. Situasi mulai runyam. Pertemuan bisnis dijadwal ulang. Transaksi ekonomi tersendat. Interaksi sosial tersekat. Aktivitas adat, seni budaya rehat. Atas nama protokol kesehatan, social distancing diberlakukan. Pemakaian masker diwajibkan. Orang-orang menjauhi ruang publik.
Ambulans lalu lalang. Raungan sirene seperti rintihan panjang ketidakberdayaan. Wisma atlet di ibu kota, kapasitas ribuan kamar, dialihfungsikan menjadi ruang isolasi. Beberapa rumah sakit rujukan tak mencukupi. Ruang IGD sesak, pasien mengular hingga gerbang depan. Paramedis berjibaku, berhari-hari terpisah keluarga demi kemanusiaan. Namun terlalu banyak harapan pasien kandas, berakhir sia-sia. Tak sedikit pula paramedis gugur dalam tugas.
Kabar duka susul menyusul mengguncang batin. Sekarang teman sekolah, besok teman kerja, lusa mungkin kerabat atau tetangga dekat menjadi korban. Ratusan ribu bahkan jutaan orang berbaris dalam antrian panjang menunggu dijemput maut. Duh, elegi ini sungguh tak terbendung!
Koran maupun media daring intens mewartakan tragedi lintas negara ini dengan segala problematikanya. Medsos simpang siur. Tak jelas batasan antara informasi valid dan opini. Silang pendapat ahli virologi di layar televisi kadang menimbulkan persepsi keliru di masyarakat. Perlu tidaknya lock down menjadi isu penting dan perdebatan panjang.
Di sisi lain, pembaharuan data Satgas Covid-19 tentang jumlah korban, meningkat drastis dalam hitungan jam. Breaking News sebuah televisi berita nasional ini, memaksa Sudibya menarik napas lebih panjang.Keraguannya lesap tak berbekas. Bulu tengkuknya meremang.
Tiupan suling bambu dari komposisi musik etnik Morning Happines-nya Gus Teja terdengar rancak. Volume suara dibesarkan lagi sebelum Sudibya menyisir rambut bergelombangnya di depan cermin. Merapikan krah kemeja batik warna biru berlogo perusahaan tour and travel. Parfum maskulin, pemberian seorang turis wanita, disemprotkan ke leher dan dada.
Sebagai pemandu wisata, khusus turis Eropa, Sudibya adalah sosok friendly. Menjunjung tinggi etos kerja. Tak pernah sekali pun ia mendapat teguran dari atasan kantor atau komplain langsung dari turis. Sebuah rumah bergaya minimalis di Batubulan-Gianyar adalah buah ketekunan yang telah dipetiknya.
Pandemi menjadi-jadi. Mutasi virus memunculkan varian baru lebih ganas. Kegentingan ini memaksa pemerintah menutup Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai untuk rute mancanegara. Dampaknya, begitu banyak jadwal perjalanan harus dicoret. Grafik kunjungan wisatawan ke Bali menurun tajam bahkan ke titik nadir. Denyut nadi pariwisata di pulau berjuluk seribu pura ini melemah. Mati suri.
Gebyar live music dari bar tepi pantai tak lagi menyaingi gemuruh ombak. Irama blues dari tiupan saksofon lenyap dalam sepinya malam. Hunian hotel berbintang, kelas melati hingga penginapan nihil. Galeri besar kolaps. Deretan art shops dan pasar seni sepi pembeli. Mereka menyerah, tak sanggup memperpanjang kontrak apalagi menggaji karyawan. Debu-debu jalanan semakin tebal menutupi plang toko mereka.
Pagi lenggang di kawasan Nusa Dua. Sudibya menuruni anak tangga sambil melirik meja-meja kosong. Beberapa perangkat komputer teronggok di pojokan. Di atas dispenser posisi galon air mineral miring, kosong. Hatinya gamang. Kecemasan terbaca jelas di wajahnya. Masa bakti lima belas tahun, ternyata tak cukup mumpuni untuk membela ketika manajemen merumahkan dirinya. Predikat karyawan teladan yang pernah disandang tak sanggup menyelamatkan karir dan masa depan. Getir. Ia meninggalkan gedung berlantai tiga itu tanpa menoleh lagi.
Enam bulan awal, berstatus pengangguran. Kebutuhan sehari-hari Sudibya : makan, listrik, air dan pulsa masih terpenuhi. Tentu saja dengan menguras saldo rekening. Sedikit demi sedikit hingga sisa sedikit. “Naskeleng covid! Hantu sialan!” sumpah serapah Sudibya sambil membanting remote control televisi ke lantai. Baru saja tersiar adanya kelangkaan oksigen tabung dan negosiasi alot pembelian vaksin oleh pemerintah.
Jenuh. Sudibya menyibukan diri bertanam bonsai. Asam Jawa adalah pohon pertama yang dimiliki. Pohon berlingkar batang sepuluh sentimeter dan tinggi empat puluh sentimeter itu, dibelinya dengan harga miring dari seorang teman di Denpasar. Anting putri ukuran mame, serut dan waru menambah jumlah tanamannya. Ia mulai memberanikan diri melakukan pengawatan sekaligus penekukan, membentuk gerak dasar. Daun dipruning terlebih dahulu agar alur batang dan cabang terlihat jelas. Memilih cabang pertama, kedua, ketiga dan kemungkinan letak mahkota dengan memotong cabang-cabang mubazir. Sebagai pemula, ia memerlukan waktu agak lama untuk menyelesaikan waru bergaya informal ; tegak berliku.
Menikmati hobi baru, sebuah laptop ia relakan berpindah tangan demi menambah koleksi. Beberapa bahan bonsai kembali dibeli : cemara sinensis, amplas, sancang, santigi, lohansung, hokiantea. Jenis beringin kimeng, elegan, dan iprik berjejer rapi di dak terbuka atas rumah.
Gunting pruning mulai lincah di tangannya. Sedikit membungkuk dipungutnya serekan daun sekaligus merapikan permukaan media tanam. Kadang memperbaiki arah tekukan cabang yang dianggapnya kurang pas.
Menyeruput kopi, ia duduk di tumpukan batako. Asap rokok mengepul dari mulut membentuk bulatan-bulatan kecil di udara. Pandangannya kini fokus pada sebuah pohon dalam pot keramik segi empat. Ia bangkit, mendekat.
Iprik pucuk merah! Setiap memandangi, ingatan Sudibya terbawa ke dalam hutan tandus di kaki Gunung Agung, di mana perburuan dimulai. Waktu itu dari desa Dukuh, Karangasem, tanah kelahirannya, ia menyusur jalan berpasir di antara deretan jati putih. Sendiri.
Matahari persis di atas kepala. Sebatang iprik yang tumbuh di bebatuan menghentikan langkahnya. Tinggi pohon kurang dari satu meter, akar gantung menjuntai. Batangnya, meski tak besar tapi karakter tuanya sudah muncul. Sudibya tertarik. Dan, ia memutuskan untuk mendongkel.
Lelah. Sambil istirahat disantapnya bekal di ransel : buah lontar. Satu hal yang tak mungkin ia lewatkan setiap pulang. Isi buah bertekstur lunak, warna putih pucat mirip kolang-kaling, memang kegemarannya sejak kecil. Dulu, sering menikmati bersama teman-teman. Bersenda gurau di bawah pohonnya. Air buahnya manis. Kenangannya pun manis.
Sandikala. Sebelum pamit, kembali ke Batubulan, Sudibya kusuk bersila di pelataran Sanggah(1) ditemani ibunya. Wanita sepuh yang selalu bersyukur. Tak lelah memohon agar luput dari gering agung(2). Astungkara(3) hingga saat ini, anaknya terbebas dari paparan virus mematikan itu. Panca sembah(4) berakhir dengan parama santi(5). Sudibya mengusap titik air yang meleleh di sudut matanya. Percikan tirta(6) dari ibunya diminum tiga kali. Percikan berikutnya dibasuhkan merata ke wajah. Kesejukan menjalar ke pori-pori kulit. Harum cendana terus menguar dari dupa yang terbakar.
Langit Batubulan mendung. Angin meniup kencang garis polisi yang baru saja terpasang, melingkari jejeran bonsai. Kelihan banjar(7) dan beberapa pecalang(8) di halaman, bicara setengah berbisik. Mereka saling pandang tak mengerti. “Rumah adalah penjara”, demikian status terakhir yang dibaca polisi di akun facebook Sudibya. Polisi menemukan handphone hitam itu di atas serakan pupuk penyubur daun. Di dekat tumpukan batako, seorang petugas Inafis mengendus bibir gelas. Agak ragu, diulanginya lagi lalu manggut-manggut. Gelas beserta ampas kopi buru-buru dimasukkan ke kantong plastik dan diberi kode. Di pinggir jalan, ambulans parkir dengan kondisi mesin menyala. ***
Keterangan :
- Sanggah = tempat persembahyangan keluarga.
- Gering agung = wabah penyakit yang berdampak luas dan susah obatnya.
- Astungkara = puji syukur.
- Panca sembah = tahapan persembahyangan.
- Parama santi = doa penutup.
- Tirta = air yang telah melalui proses penyucian dengan doa.
- Kelihan banjar = kepala lingkungan.
- Pecalang = petugas keamanan adat.