Kakek saya, almarhum Pekak Purug alias Pan Sembrog, dari Desa Senganan, Penebel, Tabanan, pernah bercerita. Bahwa sekitar satu abad lalu, atau sekitar tahun 1930, ia sering membawa beras untuk dijual ke Buleleng atau ke kota Singaraja. Jalur yang dilalui adalah jalur Desa Soka.
Jalur Desa Soka itu melewati Bukit Pohen atau Bukit Puwun, lalu tembus di Dasong, Tamblingan. Bisa juga tembus di Desa Gesing.
Artinya, sekitar satu abad lalu, perdagangan hasil pangan, terutama beras, dari Pasar Senganan, Penebel, ke kota Singaraja, Buleleng, sudah terjadi. Artinya lagi, dulu, pernah ada jalur shortcut dari Tabanan ke Buleleng.
Beras hasil dari petani di Desa Senganan dan wilayah Penebel untuk dijual di Buleleng memang sudah terjadi sejak dulu. Pada tahun 1930-an itu, kakek saya membantu menjualkan hasil petani dari Desa Senganan agar lebih cepat laku dan bernilai jual yang lebih tinggi. Karena Singaraja saat itu adalah ibukota Sunda Kecil dan menjadi kota kolonial paling ramai di Bali. Untuk itulah ia mau bersusah-payah menempuh perbukitan untuk sampai di Singaraja.
Nilai jual di Singaraja memang lebih tinggi ibandingkan dijual pada saudagar yang mengambil beras ke Desa Senganan, Pengangkutan beras ke Singaraja menggunakan bantuan transportasi berupa kuda.
Kakek saya konon punya dua ekor kuda waktu itu. Seekor kuda katanya biasa mengangkut 1,5 pikul atau sekitar 150 kilogram beras. Kakek bisa mengirim sekitar 300 klilogram beras dalam sekali jalan. Angka itu sudah terhitung banyak saat itu, apalagi saat itu kebutuhan beras per keluarga per bulan tidak begitu banyak.
Rata-rata semua keluarga saat itu masih mengkonsumsi nasi oran atau nasi yang dimasak dengan campuran beras dan bahan lain seperti umbi ketela pohon atau buah pisang yang belum matang.
Beras yang ada saat itu adalah beras merah dan beras putih atau padi tahun, yakni padi yang ditanam setahun sekali yang umurnya 6 bulan sejak disemai. Juga beras padi cicih, baik yang merah atau yang putih. Padi cicih adalah padi yang berumur 5 bulan sejak disemai. Karena saat itu bibit padi baru (PB) belum tersedia.
Saat itu belum ada yang menanam padi dengan umur 3 bulan di daerah kami. Hasil bumi selain beras yang tersedia saat itu adalah bawang putih dari Desa Babahan dan bawang merah dari Desa Senganan, juga sayur mayur, pisang, dan kacang-kacangan dari Desa Angseri, Desa Apuan, Desa Penebel dan sekitarnya.
Pasar Desa Senganan ibarat terminal dan pintu perdagangan hasil bumi Penebel dan sekitarnya untuk dijual ke Buleleng dan begitupun sebaliknya. Hal ini masih sempat saya saksikan dengan mata kepala sendiri ketika saya kecil di tahun 1980-an. Pasar Senganan begitu ramainya.
Para pedagang berjejer sepanjang jalan menuju pasar 200 meter sebelum pasar dari arah barat dan arah timur. Pasar Senganan mulai dibuka pukul 04.00 WIB (saat itu belum WITA). Saya biasa diajak nenek berangkat ke Pasar Senganan jam 2 pagi.
Ramai dan padatnya Pasar Senganan bahkan sampai jauh ke areal luar pasar. Keramaiannya seperti dua kali lipat Pasar Dauhpala saat ini, atau sekitar 4 kali lipat Pasar Tabanan saat ini.
Jalur perdagangan hasil pangan ke Buleleng melalui Senganan lebih dipilih karena jarak yang lebih dekat dan lebih mudah dilalui dibandingkan lewat Baturiti (Batu-Niti) yang lebih jauh menuju kota Singaraja dari Senganan.
Jalur Senganan dilalui lewat Desa Soka ini juga dinilai lebih mudah karena melewati Bukit Pohen atau Bukit Puwun yang tidak begitu tinggi dibandingkan lewat Gunung Batukau. Jika kita perhatikan lewat peta atau google map memang betul jalur ini seperti short-cut dari Tabanan ke Buleleng. Dari Bukit Puhun ini akan tembus di Dasong, Tamblingan. Juga bisa tembus ke Desa Gesing.
Menurut Kakek saya, lama perjalanan ditempuh sekitar 4-5 jam dengan jalan kaki sambil menuntun kuda yang memuat beras dari Desa Soka sampai di Dasong, Tamblingan. Bahkan teman kakek saya konon biasa sampai ke Pabean (Pelabuhan Buleleng) membawa barang dagangannya.
Ada banyak cerita tentang jalur perdagangan ini dari beberapa warga di Desa Senganan. Mulai dari mereka yang mendengar cerita dari kakek mereka juga dari mereka yang pernah melewati jalur ini.
Bahkan seorang warga yang sempat menempuh jalur Desa Soka, Senganan-Tabanan tembus ke Gesing, Buleleng, menceritakan keheranannya saat sampai di Gesing. Krama Gesing menyebut warga Desa Senganan adalah nyama (saudara) dan menanyakan kabar beberapa warga Desa Senganan yang konon, dulu, biasa berkunjung ke Gesing.
Sampai tahun 1991 warga Desa Soka yang suka memancing ke Danau Tamblingan masih biasa memanfaatkan jalur perdagangan ini dengan jalan kaki. Bahkan saat ini masih ada saja beberapa pendaki ataupun wisatawan yang tracking melewati jalur Senganan-Buleleng ini. Anda mau coba? [T]