Fotografer Gung Ama memamerkan karya foto dengan tajuk “SWA’RAGA” SOLO PHOTOGRAPHY EXHIBITION pada 15-17 Oktober 2021 di Tempo Dulu Kopi, Area Warung Celagi Kesiman, Denpasar, Bali. Pameran dikuratori Bayu Pramana dan dibuka Popo Danes
Swa’Raga adalah sebuah penemuan ideologi jati diri fotografer Gung Ama, kemandirian yang lepas dari segala beban hegemoni, dominasi dan strukturisasi. Proses perjalanan menggali jati diri sejati yang dijalani dengan passion, totalitas, komitmen tiada batas serta kebebasan pikiran dari keterikatan.
Orang yang mampu menemukan Swa’Raga dalam hidupnya, dipastikan akan menemukan kebahagian sejati dalam hidup. Tidak perlu menunggu berpindah pada alam kematian untuk menemui Swa’raga. Fotografi sebagai sebuah medium seni menjadi salah satu penguat kesadaran hidup dalam pencapaian kesadaran diri yang berbudaya menggapai Swa’Raga versi Gung Ama.
Fotografi bagi Gung Ama menjadi sarana komunikasi untuk mengekspresikan ide dan kesan estetiknya. Ekspresi tersebut tertuang dalam proses eksperimen yang panjang dan penuh dengan kejutan kejutan sensasi jiwa. Sensasi yang tidak semata menjadi kepuasan diri namun secara kreatif dapat menjadi pelepas dahaga dari sosok Gung Ama dalam menemukan ideologi diri.
Swa’Raga secara konsisten mengakumulasi proses pencapaian fotografi alternatif karya Gung Ama, ditengah badai teknologi fotografi digital yang setiap hari menawarkan kemudahan fitur baru, seniman fotografi makin kehilangan identitas, jati diri dan pencapaian berkarya. Seluruh pencapaian seolah telah dituntaskan oleh mesin bernama kamera digital beserta piranti pengolahnya. Tiada lagi sentuhan “emosional” dalam proses berkarya fotografi yang kiranya dapat dilakukan fotografer kini dalam dunia digital.
Menurut prinsip Gung Ama, sebuah kreasi tidak boleh bergantung hanya pada satu elemen teknis, melainkan harus dapat dikembangkan dari kreasi dalam diri dengan berbagai medium tidak terbatas. Bertolak dari pandangan tersebut, Gung Ama secara ideologi (dan mungkin juga) finansial tidak tertarik mengadopsi teknologi digital terlalu massif dalam berkarya seni fotografi. Elaborasi awal dimulai dengan rekonstruksi foto bergaya Bali masa lampau yang terekam kuat dalam memori kolektif penikmat fotografi kolonial.
Dengan brand “Rekonstuksi Bali 1930”, lewat karyanya mengadopsi gaya berfoto tempo dulu Gung Ama seolah mengajak model foto dan penikmat fotonya bertamasya dalam mesin waktu kembali dalam suasana Bali di awal abad keduapuluh. Style foto yang dipopulerkan kembali oleh Gung Ama tersebut kemudian memberi alternatif visual baru pada industri fotografi di Bali khususnya pada foto Pre-Wedding.
Foto yang dihasilkan lewat komparasi visual masa lalu dan situasi terkini menjelaskan konteks budaya ilustrasi yang muncul sebagai penanda visual konstruksi peradaban masa lalu dan acuan materi visual rekonstruksi pusaka Bali di masa kini. Muncul banyak karya fotografi di Bali yang kemudian mengikuti acuan gaya foto yang dikembangkan oleh Gung Ama tersebut.
Riset visual yang matang tidak hanya lewat medium foto hitam putih, elemen lokasi pemotretan, termasuk juga gaya berpakaian di masa lalu menjadi pertimbangan yang matang. Bahkan, keseriusan dalam detail tata busana Bali menelorkan peluang kreasi baru yang dikolaborasikan bersama Ayu Suma sang istri. Tidak hanya sampai disini, kamera digital yang dirasanya tidak dapat mengakomodasi pikiran kreatifnya yang tanpa batas, Gung Ama mencoba bereksperimen kreatif lebih menantang dengan “mainan” baru bernama Afghan box Camera.
Swa’Raga menampilkan serangkaian karya foto hasil penjelajahan teknis Gung Ama dengan ekperimen kamera kotak kayu bernama Afghan Camera, sebuah medium kamera kotak kayu yang populer digunakan sebagai kamera instan dengan nama “Kamraa-e-faoree” alias kamera instan di Afghanistan sekitar tahun 1920an.
Dalam kotak kedap sinar tersebut, lensa memproyeksikan imaji langsung ke lembaran kertas ber-emulsi dalam hitungan detik. Proses yang tidak semudah membaca dan mengatur light meter pada kamera modern, melainkan membutuhkan akurasi penghitungan intensitas cahaya yang tepat dan waktu pencahayaan yang tepat pula untuk menghindari under exposure ataupun over exposure.
Pasca proses eksposur, kertas yang telah disinari tersebut langsung diolah pada “proses” di dalam ruangan badan kamera yang dirancang memiliki dua bagian cairan kimia, yaitu developer untuk pengembang gambar dan fixer untuk memastikan pencahayaan terhenti sehingga terwujud gambar yang permanen.
Dari langkah tersebut muncullah gambar negatif pada kertas yang sejurus dalam tahapan penyinaran kedua, gambar negatif diproyeksikan kembali dalam kamera afghan hingga menghasilkan gambar positif. Sebagian dari negatif juga dikembangkan menjadi gambar positif lewat teknik cyanotype, sebuah medium cetak alternatif yang bernuansa kebiruan. Gung Ama juga piawai mencetak alih media foto pada beberapa material alternatif seperti kayu, batu dan logam yang juga akan ditampilkan pada rangkaian pameran ini.
34 karya yang ditampilkan Gung Ama seolah lepas dari suasana hingar bingar fotografi, jauh dari warna, jauh dari dominasi teknis semata dan yang terpenting jauh dari intervensi orang orang yang tampil di rekam fotografisnya. Hal yang sangat jarang terjadi dalam riuh fotografi digital dan pola pikir narsis via sosial media.
Mereka seolah takluk kepada kamera kotak kayu Gung Ama yang justru mendikte bahwa mereka masuk ke situasi fotografi seabad setengah lalu yang membutuhkan model foto dalam diam beberapa detik hingga menit. Hanyut dalam balutan wastra dan gaya busana Bali masa lalu yang menegaskan perpindahan jaman.
Gung Ama sadar betul untuk mencitrakan gambar visual yang mengekspresikan keunikan visual serta keunikan individual dari subyek foto yang beragam. Sehingga muncul sisi kualitas serta Taksu misterius yang menyelimuti setiap lembar foto. Foto-foto retrospektif tersebut menjadi ciri khas yang sangat mudah dikenali sebagai bagian dari dimensi visual Gung Ama.
Sepintas seluruh karya terlihat sangat sederhana dan biasa dalam kacamata fotografi digital, namun hal sederhana tersebut tergolong membutuhkan konsentrasi, kesabaran serta kehati-hatian dalam tahapan demi tahap prosesnya. Tidak banyak orang memiliki ketekunan seperti Gung Ama yang selalu “Gudip” tak pernah bisa diam, tak pernah berada dalam titik puas dan berhenti pada satu pencapaian, menggapai Swa’Raga. [T][***/Rls]