“Saya sedang menulis cerita, baru selesai beberapa paragraf tapi tiba-tiba buntu. Saya tak tahu harus dibagaimanakan lagi cerita itu. Apa yang harus saya lakukan jika hal itu terjadi?” Begitulah kira-kira pertanyaan yang sering diajukan oleh peserta dalam acara seminar-seminar kepenulisan, diskusi kepenulisan maupun sejenisnya. Pertanyaan itu terus saja berulang dan mungkin selamanya akan begitu agar dapat mengamini pepatah malu bertanya sesat di jalan. Mungkin.
Namun, jika kau benar-benar mengalami itu saat menulis sebuah cerita dan serius ingin agar bisa melanjutkan ceritamu, mungkin kau bisa ikuti cara dari Carma Citrawati ini. Penulis perempuan sastra Bali modern (SBM) yang bernama lengkap Dewa Ayu Carma Citrawati ini memiliki cara jitu jika cerita yang ia buat buntu di tengah jalan. Ia akan berhenti menulis, menutup file tulisannya lalu menonton drama Korea alias Drakor. Menonton Drakor yang sadis dengan tokoh yang memiliki kelainan, psikopat, berkeperibadian ganda, atau berkeperibadian berganda-ganda.
Katanya, setelah menonton Drakor, kepalanya akan terisi ide-ide yang ingin segera dituliskan. Maka ia pun akan kembali membuka ceritanya yang belum selesai dan suntuk di depan layar monitor dengan tangan menari-nari di atas keyboard.
Itu bukan isapan jempol semata atau sekadar obrolan ngalor ngidul, tapi serius, seserius perjuangan seorang jomblo yang berusaha menaklukkan gadis pujaannya. Dimana dari tiga buku kumpulan cerpen berbahasa Bali yang ia terbitkan—Smara Reka, Kutang Sayang Gemel Maduwi, Aud Kelor—banyak cerita di dalamnya yang terinspirasi dari Drakor.
Selain Drakor, peraih Hadiah Sastera Rancage tahun 2017 ini juga menjadikan hasil mendengarkan orang ngegibah menjadi bagian dari cerita. Potongan-potongan gibah itu diselipkan dalam cerita untuk memperkuat konflik. Karena sejatinya, menulis adalah sebuah proses ngegibah lewat tulisan yang bisa dibumbui berbagai hal hingga menjadi menarik dan seru.
Ngomong-ngomong tentang menulis khususnya SBM, Carma ternyata mulai menulis karena iming-iming nilai A dari dosennya ketika kuliah pada Jurusan Sastra Bali di Unud. Seorang dosen mata kuliah penulisan sastra menantang mahasiswanya; jika ada mahasiswa yang cerpennya bisa menembus Bali Orti (sisipan berbahasa Bali di Bali Post) maka akan langsung dapat nilai A.
Dengan semangat seorang mahasiswi yang keranjingan dapat nilai A, ia pun berjuang untuk bisa melahirkan sebuah cerpen dan dikirim dengan segera ke Bali Orti dengan harapan bisa dimuat sebelum semester itu berakhir. Maka jadilah dua buah cerpen yang salah satunya berkisah tentang cinta seorang remaja putri yang tak direstui dengan ending tertabrak mobil. Cerpen itu memang tak dimuat di Bali Orti hingga semester berakhir, namun ia tetap dapat nilai A.
Setelah perjuangan meraih nilai A berakhir, Carma malah semakin kecantol dengan dunia tulis menulis. Ia pun terus menulis dan berhasil meloloskan satu puisinya ke Bali Orti beberapa waktu setelahnya yang kemudian disusul oleh karya cerpennya. Kini ia pun memilih fokus pada dunia cerpen, karena ia merasa belum bisa ‘masiat di kalangane linggah’ untuk melahirkan sebuah novel.
Dalam menulis cerpen, kadang Carma mengalami masa ‘kene-kene gen’ karena merasa tulisannya tak ada kemajuan. Tantangan terbesar yang harus bisa ditaklukkan yakni bisa menghadirkan sesuatu yang baru pada setiap buku yang ditelorkannya. Akan terasa ada yang kurang jika buku terbarunya masih memiliki rasa yang sama dengan buku sebelumnya.
Jauh sebelum itu terjadi, ketika masih SMP, sebenarnya Carma memang sudah mulai suka membaca. Bahkan ia sangat menggilai serial Harry Potter karya JK Rowling. Yang katanya, untuk bisa membaca novel tebal dengan harga yang cukup membuat bocor kantong anak SMP itu, ia pun harus meminjamnya dari seorang teman dan rela menunggu hingga temannya selesai membaca buku favoritnya itu. Beberapa tahun kemudian, setelah membaca semua serial itu, ia pun mulai berpikir untuk membuat sebuah cerita fantasi ala Harry Potter dalam bahasa Bali dan mungkin akan segera terwujud.
Selama menulis, ada hal menarik yang pernah ia alami. Seseorang menganggap salah satu cerita yang dibuatnya mirip dengan apa yang dialami kenalannya. Orang itu dengan sekonyong-konyong menganggap cerita itu diangkat dari kisah temannya. Nyatanya, Carma menulis itu hanya sebagai sebuah karya fiksi belaka yang tak diangkat dari kisah siapa pun dan mungkin kebetulan saja sama dengan apa yang dialami kenalan orang itu. Walaupun begitu, apa pun kata orang, akan tetap merupakan sebuah kelebihan karena setidaknya ceritanya ada yang membaca.[T]
BACA JUGA: