Hari itu sedang marak dan panasnya isu soal tindakan presiden Prancis Emmanuel Marcon, tapi sepertinya saya tidak akan ikut ambil bagian soal keributan itu. Sebab saya sangat sadar bahwa itu sudah ada yang menanganinya, jangankan hal yang membuat ribut dunia, hal yang membuat ribut di rumah saja saya yakin orang tua kita tidak akan tinggal diam.
Maka saya memilih untuk menepi dan mencoba berjarak dengan isu itu, meskipun sesekali terlintas tetapi saya tetap memaksakan kehendak untuk menepi. Bukan berarti saya tidak peduli dan itu menjadi tidak penting bagi saya. Itu sangat penting, tapi hal yang lebih penting adalah sudah sampai di mana diri ini? Dan bagaimana lingkungan saat ini yang ditempati? Apakah ada sesuatu yang baik atau buruk yang bisa dijadikan lebih berarti untuk berpijak ke depan?
Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri pulang ke kampung halaman sekalipun mengikuti kegiatan yang memang kebetulan dilaksanakan di Singaraja, kampung halaman saya. Ketika saya pulang memang tujuan saya bukan untuk berlibur dan lari dari kegiatan-kegiatan di Denpasar. Tapi memang ada kegiatan yang sedang dilaksanakan di Singaraja. Jadi kesadaran saya berangkat menuju Singaraja memang untuk kegiatan tersebut. Saya lepaskan segala rasa kerinduan terhadap kampung, bau masakan bibik saya, atau nikmatnya bermalas-malasan di warung sekitar kampung.
Dalam perjalanan menuju Singaraja justru bayangan yang terbesit dalam pikiran adalah bangunan-bangunan tua sepanjang kampung, masjid-masjid yang berdekatan, serta masakan-masakan enak yang sering menjadi jajan langganan ketika pulang. Memang bahwa manusia tidak akan pernah lepas oleh rumahnya sendiri. Akhirnya ketika sampai di kampung hal yang pertama saya ingin lakukan adalah singgah ke rumah dan makan masakan keluarga. Setelah itu pergi ke tempat kegiatan yang dituju. Kebetulan waktu itu ada pentas Monolog dan Musikalisasi Puisi oleh Komunitas Mahima yang dalam rangka Workshop Penulisan Seni Pertunjukan yang dilaksanakan oleh Cush-Cush Gallery.
Setelah usai menonton pementasan rasa lelah pasti jelas ada dalam tubuh sebab dalam perjalanan panjang dari Denpasar, kemudian langsung singgah ke tempat tujuan. Meski menyempatkan diri singgah di rumah untuk sekedar makan, tapi lelah tetaplah lelah. Akhirnya setelah berbincang-bincang sebentar, dan hari sudah larut malam sudah waktunya tubuh untuk istirahat.
Saat itu, 31 Oktober 2020, saya mendengar kabar bahwa Masjid di kampung saya yaitu Masjid Agung Jami’, sedang melaksanakan Bazzar di sekitaran halaman masjid. Khusus untuk ibu-ibu yang memang mempunyai hobi dalam hal berdagang, tapi pikiran malah melompat ke persoalan lain. Saya malah memikirkan ini masjid sebenarnya tempat apa, semua hal rasanya belakangan ini dilakukan. Entah itu kegiatan keagamaan termasuk sholat, pengajian bahkan sampai kegiatan mengajar karate setiap minggu pagi di halaman masjid, makan-makan bersama, lomba 17 Agustus dan sekarang bazzar. Yang tentunya tiap pribadi seseorang mempunyai bayangan sendiri soal bazzar. Tentu banyak kegiatan di dalamnya, dan memang menimbulkan keramaian masyarakat. Tetapi, karena ini dilakukanya di masjid dan di kampung akhirnya memang yang hadir adalah masyarakat sekitar kampung, walaupun mungkin ada beberapa dari luar kampung yang mengetahuinya dari media sosial.
Pikiran saya masih terbayang sebenarnya bagaimana penggunaan masjid ini pada esensinya, dan apakah ada keuntungan yang didapat dari hal-hal yang dilakukan di sekitaran masjid? Terlepas itu dari segi materi, tentu saya rasa ada hal yang lebih dari sekedar materi. Dan mungkin hasil yang keuntungan yang didapatkan dari penjualan bazzar itu untuk diinfaqan ke masjid juga sebagian. Saya akhirnya curiga bahwa jangan-jangan sebenarnya yang diharapkan dari penyelenggara bazzar justru bukan soal keuntungan, tetapi hal lain yang saya katakan tadi. Meskipun saya tidak pernah bertanya langsung kepada penyelenggara tujuanya apa. Tapi saya mencoba menginterpretasikan kegiatan tersebut berdampak kemana dengan pendapat saya pribadi. Karena ini terjadi di kampung saya sendiri, tentu saya harus sadar akan hal yang sedang terjadi.
Bahwa ada hal yang saya kira menuju pada tujuan lain soal bagaimana merubah pola pikir masyarakat soal masjid, dan bagaimana sebagai masyarakat seharusnya mengambil sikap soal masjid sebagai objek dan tempat yang semata-mata tidak dipergunakan pada ranah umumnya. Biasanya masjid memang digunakan untuk hal keagamaan yang saya pikir itu begitu suci, harus lepas dari realitas dunia, harus kosong dari segalanya. Tetapi ketika melihat realitas yang baru saya lihat di masjid saya, akhirnya ada kesadaran untuk berpikir ulang dan mempertanyakan kembali kemungkinan dari sebagaimana luas masjid ini berguna untuk masyarakat dan sejauh mana? Karena saya kira masjid memiliki potensi yang sangat besar dalam menggerakan banyak massa khususnya masyarakat sekitar yang pasti mempunyai rasa memiliki yang lebih, apalagi terhadap masjid di sekitar lingkunganya. Dan kemudian bagaimana caranya untuk membangun kesadaran kepada masyarakat untuk mencintai atau peduli kepada masjid yang ada di kampungnya sendiri.
Saya ingin bercerita sedikit. Dulu, sewaktu kecil masjid adalah hal yang menyenangkan. Karena selain saya masih kecil dan tentu pikiran hanya bermain dan bermain tak jarang akhirnya saya dan teman-teman sering bermain di masjid, entah itu waktu sholat atau setelah sholat. Akun-akun lucu di instagram sering mengatakan sering terjadi adanya perang sarung ketika malam Ramadhan, dulu memang sempat saya rasakan sewaktu kecil. Masjid menjadi tempat yang menyenangkan dan banyak kegiatan lain biasanya di hari-hari besar. Dulu saya ingat ada tradisi Maulid Nabi di kampung saya dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, saya ingat waktu kecil dulu tiap kali ada acara Maulid Nabi kampung saya menjadi ramai, bahkan ramainya hampir seperti hari raya. Ada beberapa acara yang dilakukan, seperti mengarak pajegan telur keliling kota dan dibarengi mengarak peserta khitan atau sunat menggunakan dokar atau delman. Setelah itu ada pentas-pentas tradisi bela diri seperti pencak silat atau musik tradisional lainya.
Kemudian setelah beberapa waktu dan tahun berganti hal tersebut seakan menjadi biasa saja dan menghilang perlahan. Mungkin karena waktu itu saya masih kecil dan memilih menumbuhkan diri di pondok pesantren hal itu tidak pernah saya rasakan lagi dan hilangnyapun menjadi hal yang biasa saja. Kampung terlihat sunyi, masjid begitu sunyi tak ada kegiatan apapun kecuali di waktu sholat. Mungkin di tahun-tahun pertama saya rasa itu biasa saja, tapi bagaimana masyarakat lain memandangnya? Saya tidak mengerti pasti apa yang melatarbelakangi segala itu sirna perlahan. Apakah itu representasi dari orang-orang yang mengurusi masjid atau yang dikenal sebagai takmir? Atau mungkin memang masyarakat sendiri yang merasa lelah melakukanya? Atau saya sendiri mungkin yang terlalu berlebihan dalam mengenang masa kecil dan menganggap ini sangat penting? Atau ini memang benar-benar penting diingat?
Balik lagi ke waktu hari ini, ketika masjid di kampung saya semacam membangun hal yang semata-mata bukan untuk kepentingan masjidnya saja, tapi sadar juga akan potensi masyarakatnya. Dan bagaimana masyarakat secara sadar atau tidak sadar dibangun untuk mencintai masjid yang ada di sekitarnya, dengan kegiatan-kegiatan yang mudah dilakukan dan tidak berat untuk pikiran. Karena saya rasa kegiatan-kegiatan seperti ini lebih berpotensi untuk membangun komunikasi antar masyarakat lainya sehingga menimbulkan pola berpikir dan rasa memiliki bersama yang semakin tinggi. Walaupun memang budaya seperti ini akan lama sekali terbangun dan lambat disadarinya oleh seluruh masyarakat lain. Atau malah tidak ada yang menyadari, tetapi masyarakat senang saja melakukan hal-hal seperti ini karena ringan dan ruangan yang tercipta dari kegiatan ini-pun lebih fresh ketimbang pengajian yang lebih formal. Saya bukan menyalahkan bahwa pengajian itu tidak penting, artinya kegiatan-kegiatan ini menjadi semacam penyeimbang untuk membangun masyrakat secara tidak langsung. Ketika pengajian itu menjadi formal dan lebih tertuju mengajarkan untuk kaidah-kaidah agama, dan kegiatan-kegiatan ini pun menjadi nilai lebih karena yang dibangun di dalamnya adalah komunikasi antara masyarakat, yang saya yakini bahwa komunikasi mampu membangun keterikatan antar masyarakat yang lebih kuat. Sehingga rasa gotong royong itu terbangun sendirinya. Akhirnya nanti ketika dalam waktu yang dikehendaki masyarakat sudah terbiasa menghadapi hal-hal kebersamaan. Artinya dalam acara seperti ini yang terbangun adalah semacam pelatihan kegiatan antar masyarakat tentang bagaimana mengelola organisasi masyarakat secara teratur dan tepat. Sehingga kemudian masyarakat sendiri yang memiliki kesadaran untuk ambil bagian dalam suatu pekerjaan.
Pencapaianya-pun tidak hanya kesiapan masyarakatnya saja yang tercapai, tapi aspek-aspek lainya saya rasa akan ikut terbangun alami. Baik dari aspek ekonomi dan sosialnya pasti akan ikut serta. Tidak bisa menciptakan suatu lingkungan masayrakat yang baik jika memang tidak dengan sadar membangunya sendiri. Dan tentu harus melihat serta membaca bagaimana setiap potensi lokal yang ada di lingkungan tersebut harus juga dimanfaatkan. Dengan begitu masyarakat ringan tangan mengerjakanya karena dibidangnya dan akhirnya berdampak hingga ke luar kampungnya. Maka hal-hal yang besar tercipta dari hal-hal sederhana dan ringan, tidak bisa semata-mata begitu saja melomat dan mangajak masyarakat mengambil bagian dalam membangun lingkungan tapi tidak ada proses membaca gejala serta potensi kemungkinan lainnya. Sebab ada kecendrungan biasanya kenapa masyarakat tidak mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkunganya sendiri, itu saya rasa karena beberapa masyarakat tersebut merasa tidak mengetahui apa yang sekiranya dapat dikerjakan dengan potensi yang dia punya. Karena saya sebagai kaum muda-muda sering merasakan seperti itu. Atau kadang juga ada semacam rasa berjarak antara satu kelompok dengan kelompok lainya. Dan ini pun akhirnya menjadi suatu hal yang patut dipikirkan kembali. Bagaimana cara menjembatani setiap individu atau organisasi-organisasi yang ada dalam lingkungan masyarakat tersebut. Maka saya rasa kegiatan-kegiatan inipun secara tidak langsung dapat menjadi salah satu jembatan.
Saya membayangkan nanti bagaiman semisal bahwa yang dulu terjadi di masa kecil saya, betapa gembiranya berjalan-jalan keliling kota menggunakan baju koko terbagus di lemari. Betapa nikmatnya makan telur rebus bersama teman-teman. Dan hiasan telurnya dibawa pulang lalu digantung di kamar sebagai penanda bahwa hari indah dan menyenangkan itu baru saja dilewati sebagai anak-anak kampung kecil. Saya mengharapkan hal semacam itu terjadi, kebersamaan dan komunikasi antar masyrakat terbangun dan tidak ada semacam berjarak satu sama lain. Masyarkat membaur menjadi satu untuk perayaan bersama. Kemudian saya melihat bagaimana anak-anak kecil yang bahagia seumuran saya dulu, berlari-lari kecil dengan teman sebayanya dan mengabadikan mereka ke dalam foto dan menulisnya kelak. Bercerita soal bagaimana zaman berganti dan peradaban itu selalu berjalan dengan regenerasi yang dengan sadar harus dibangun sejak dini. Tentu ini menjadi tanggung jawab bersama sebagai masyarakat. Sebagai penutup, bolehkah saya mengatakan jika ingin melihat lingkungan masyarakat Islam, maka lihat kehidupan Masjid yang ada di lingkungan tersebut. Salam. [T]